***
Waktu terus bergulir hari berganti hari dan kelulusan sudah aku dapatkan seminggu yang lalu, hati ini berat ingin menagih janji yang pernah Reno katakan dahulu padaku. Bagaimana mungkin aku menanyakan kepastian cinta ini, malu rasanya untuk memulai akan semua rasa yang tak kunjung sempurna tanpa ada ikatan yang pasti dari seorang kekasih.Dret-dret!
'Suara handphone-ku bergetar dengan notifikasi BBM yang muncul di layar kaca, dengan sigap aku mengambil dan menatap pesan tersebut dari siapa. Setelah aku membuka handphone-ku, ternyata itu pesan dari kekasihku yang ingin mengajak untuk pergi jalan-jalan ke sebuah taman dekat kota, rasanya ingin menolak akan tetapi, tak mungkin karena aku sudah hampir satu minggu tak berjumpa padanya.
Rasa rindu menyergap diri ini seolah berada jauh dengannya bertahun-tahun lamanya, aku pun membalas pesan darinya dan ikut untuk pergi berdua bersama di taman kota. Langkah kaki membawa diri untuk segera mandi dan bersiap-siap. Selang beberapa jam akhirnya aku selesai juga dan menunggu kedatangan Reno di depan rumah, kala itu aku tak melihat ayah di rumah sehingga aku bisa pergi bersama Reno berdua.
Ten-ten!
Suara clarkson mobil Reno telah sampai di depan rumahku dengan menemui ibu aku meminta izin untuk pergi bersama kekasihku.
"Bu ... Rena pergi dulu ya, keluar bersama Reno," ucapku sembari berharap mendapat izin keluar dari Ibuku.
"Hati-hati Ren, jangan pulang malam-malam!" jawab Ibu.
"Iya, Bu, Assalammualaikum."
"Waalaikumsallam."
Aku segera menuju mobil bersama Reno, Ibuku adalah orang yang sangat pengertian padaku dan restu telah aku dapatkan darinya. Akan tetapi, ayah tak pernah merestui hubungan aku kepada Reno entah apa masalahnya yang membuat ayah menjadi keras kepala pada hubunganku dan Reno. Kini yang bisa aku lakukan adalah menjalani saja apa yang telah ada dan sebisa mungkin aku akan terus merayu ayah untuk mendapatkan restu darinya.
Sesekali aku melirik ke arah kekasihku yang sedang menyetir mobilnya menuju taman kota, aku yang kala itu masih bingung harus memulai ungkapan tersebut membuat hati terasa terbelenggu oleh rasa dilema. Tetapi aku harus mengatakan semuanya sebelum aku terlalu jauh melangkah dalam dunia percintaan ini,
"Sayang," ucapku merayu.
"Hmmmm ... ada apa?" tanyanya.
"Aku kapan dong kamu lamar? Kamu sudah berjanji untuk melamarku selepas lulus ujian," tanyaku sembari merundukkan kepala.
"Emang kamu sudah siap?" tanya Reno lagi.
Aku semakin bingung harus menjawab apa kali ini, sepertinya tubuhku telah dihujani dengan getaran batu krikil yang sangat deras. Aku bungkam kali ini tak satu kata pun mampu untuk kujawab sembari memastikan dari permintaanku tadi.
"A—ku ... aku siap," ucapku dengan nada suara yang sangat lembut.
"Coba ulang Sayang!" jawabnya.
"Aku siap loh, Sayang."
Aku mengulangi jawaban dengan nada suara yang keras tetapi, dia hanya diam seribu bahasa sembari menatap ke arah depan dan begitu fokus menyetir. Tak lama akhirnya kami berhenti di sebuah toko perhiasan yang letaknya sedikit jauh dari taman kota tempat yang akan kami tuju.
"Loh kok, kesini?" tanyaku bingung.
"Lah tadi katanya minta di lamarkan? ya ayo turun pilih cincinnya."
Aku tak mampu menjawab lagi dan entah kekuatan apa yang membawa kaki ini untuk ikut bersamanya masuk ke dalam toko perhiasan tersebut. Kedua bola mataku nanar setelah melihat banyak sekali cincin yang sangat indah dengan berbagai model dan permata yang berkilau.
"Kamu suka yang mana," ucap Reno sembari menggandeng tangan kananku.
"Yang ini bagus, aku suka permata putih itu!" jawabku sambil menatap ke arah cincin yang berada di dalam lemari kaca.
"Mbak ... cincin ini lihat!"
"Oh iya Mas," jawab penjual cincin tersebut.
"Ini cincinnya Mas, produk kami yang paling laris dan hanya tersisa satu pasang saja ini, Mas," ucap Mbak penjual cincin.
"Gimana Sayang. Kamu suka?" tanya Reno padaku yang telah kehabisan kata-kata.
"Suka sekali," jawabku singkat.
"Bungkus dengan box merahnya ya, Mbak," ucap Reno.
Setelah membayar cincin tersebut aku memeluk box berisi cincin tersebut dan masuk ke dalam mobil. Aku masih tak mampu berkata-kata, terkejut dan seolah tak percaya bahwa kekasihku sampai seperti ini melakukan perjuangan demi cinta kami berdua.
"Nanti malam aku akan datang ke rumahmu untuk meminta doa serta restu kepada kedua orangtuamu," ucap Reno padaku.
"Ta—tapi kalau mereka tidak merestui lagi bagaimana? Aku takut!" jawabku.
"Kita coba dulu ya, Sayang, jangan menyerah," jawab Reno menguatkan cinta dan perasaan ini.
***
Setelah lama diperjalanan kami sampai juga di taman pinggir kota, dan hal yang biasa kami lakukan adalah makan buah dan jagung rebus yang kala itu sudah ada sejak siang sampai malam hari. Aku masih menggenggam cincin yang saat itu telah di beli Reno untuk melamarku nanti malam dihadapan kedua orangtuaku. Aku merasa tidak yakin akan hal ini, akan tetapi sebisa mungkin aku berpikir sedikit lebih positif untuk mendapatkan restu dari kedua orangtuaku.Hari ini adalah merupakan hari paling bahagia sepanjang aku hidup dan merupakan hari paling sedih juga, dimana aku bingung dan selalu memikirkan apa yang akan terjadi nantinya jika ayahku tak merestui hubungan kami berdua. Aku sangat kasihan pada Reno yang sudah berjuang sangat jauh seperti ini padaku, rasanya tak mungkin aku mengkhianati semua perjuangan yang telah ia lakukan padaku untuk membuktikan cintanya itu.
POV Reno
***
Aku harus bisa mendapatkan restu itu secepatnya dan membawa Rena pergi untuk menemaniku dalam hidup ini, tak mungkin jika hubungan kami hanyalah sebagai pelukis dosa saja tanpa ada ikatan yang halal dan menuju hidup yang sempurna. Apa pun yang terjadi nanti malam mungkin itu adalah yang terbaik untukku dan juga untuk Rena, dimana restu adalah hal yang paling utama dalam mencapai sebuah kebahagiaan hidup.Memang dulu aku pernah di tolak untuk menjadi menantu ayah dari Rena akan tetapi, itu'kan ketika aku masih SMA dan belum tahu bekerja dan mencari uang. Ayah Rena takut kalau anaknya akan terlantar jika aku terlalu jauh menjalani kehidupan asmara, yang terpenting adalah niat dalam hati ini untuk tetap positif menuju hubungan yang direstui oleh Allah.
Wajah Rena yang sangat tampak seperti orang bingung pasti dia juga memimirkan hal yang sama padaku, mencoba untuk tetap tersenyum walau pikiran tak tentu arah menembus batas sebuah peristiwa. Aku dapat melihat dari gelagatnya yang sangat aneh dan membuat diri ini bertanya-tanya, akan tetapi aku sudah tahu jawabannya tanpa dia memberikan sebuah ungkapan kata sesungguhnya.
Aku mulai bisa merasakan apa yang Rena rasakan, ikatan percintaan yang sudah tiga tahun terjalin membuatku pasih dalam menerka apa yang ada dalam jalan pikirannya. Meski ia tersenyum ceria tetapi, pasti tengah memikirkan hal yang sama denganku juga.
"Sayang ... jagungnya enak ya, manis," ucap Rena sembari memberikan gigitan jagung itu ke arah mulutku.
"Manis, seperti kamu manisnya," jawabku sambil menggombalnya.
"Ih, apaan sih. Bener deh, ini manis banget."
"Iya-iya manis kok'kan aku juga makan ini," jawabku dengan menatap datar ke arah wajahnya.
"Oh, iya. Hehehe ..."
"Enggak lucu. Jangan ketawa," ucapku lagi.
'Rena hanya mengejek dengan menjulurkan lidahnya padaku.'
'Dasar wanita membuatku tak mampu untuk berbuat apa-apa lagi, celotehku dalam hati.'
KAMU SEDANG MEMBACA
DIKUBUR DI HARI ACARA SESERAHAN (TELAH TERBIT)
Action( Telah terbit sebagian part sudah dihapus ) Telah dipandang dari sudut kacamata paling buram akan sebuah kebahagiaan yang terpenting dalam sebuah kehidupan. Harta menjadikan tolak ukur dari setiap pandangan seseorang yang hanya mendikte Tuhan denga...