Bab 8 Awal Peperangan

120 16 1
                                    

Sekar pulang sambil menungangi Naga putihnya menuju Istana Mandalawangi dengan cepat.

"Tetaplah berada disini!" ucapnya menyuruh naganya itu tetap berada diluar istana, Sekar pun berlari dengan tergesa-gesa ke arah Pendopo dan Cendhana raras namun ia tidak menemukan siapapun disana baik itu para petinggi dan ayahnya.

"Kemana semua orang?" Tanyanya kebingungan, kemudian dia berlari menuju kamar mencari ayahnya. Tiba-tiba diperjalanan ada seseorang yang memanggilnya dari belakang lantas sekar pun menoleh.

"Paman Adikarya"
"Untunglah gusti putri sudah datang, para prajurit hampir saja berangkat ke Hutan larangan"
"Dimana Patih Adhinata?" Ucap Sekar dengan nada khawatir.
"Gusti tidak perlu khawatir, beliau sedang dirawat oleh tabib kerajaan. Sepertinya gusti juga harus diobati" ucap Adikarya setelah melihat lengan Sekar terluka.

*******

Setelah Sekar diobati oleh tabib kerajaan, sekar merasa heran kemana romonya pergi ditengah malam begini. Lantas ia pun bertanya pada Senopati Adikarya yang masih berdiri disana memperhatikannya.

"Dimana gusti prabu?

"Itu..."ucapnya sambil memandang ke arah lain, Sekar mengerutkan dahinya dan berdiri
"Jawab pertanyaanku paman?"
"Maafkan hamba gusti, tapi gusti putri harus berada di dalam istana, ini adalah perintah dari gusti prabu" ucapnya kemudian menyuruh beberapa prajurit menangkap Sekar dan membawanya ke kamar.
"Lepaskan aku!"
"Ini demi keselamatan gusti"
"Aku tidak mau, lepaskan aku!"
"

Cepat bawa dia!" Perintah Adikarya kepada para prajurit.

Tabib yang melihat Sekar dibawa paksa oleh dua prajurit hanya bisa terdiam dan menyaksikan saja.

Prajurit itu memegang tangan Sekar dan menariknya secara paksa menuju kamarnya dan menguncinya didalam sana.

"Buka, buka pintunya. Adikarya buka pintunya!" gandah Sekar beberapa kali lalu mendorong dengan bahu dan menendangnya.
"Jaga kamar gusti putri, jangan sampai ada yang masuk ataupun membukanya tanpa sepengetahuanku, sampai aku sendiri yang membukanya"
"Sendiko gusti senopati" angguk kedua prajurit itu mengerti.
"Buka pintunya Adikarya, Adikarya!" Teriak Sekar sambil mencoba membuka pintu itu beberapa kali dengan kekuatannya namun tetap saja ia tidak berhasil membukanya. Tampaknya ada sebuah mantra perisai yang dipasang diluar pintunya sehingga sekar tidak dapat membukanya.

"Apa yang telah terjadi saat aku pergi dari istana ini?" Ucapnya penasaran sambil menyandarkan kepalanya, kemudian matanya tertuju pada jendela kamarnya.

Sekar berencana hendak meloloskan diri lewat jendela itu, dengan wajah tersenyum kemudian ia menyibak kedua tirai itu dengan kedua tangannya. Tiba-tiba...

"Aah" jerit Sekar kesakitan memegang tangannya akibat sengatan panas dari jendela itu yang sepertinya juga telah dimantrai oleh Senopati Adikarya sebelum ia kembali.
"Bagaimana ini tidak ada jalan keluar bagiku untuk lolos dari tempat ini, sebenarnya apa yang telah disembunyikan oleh Paman Adikarya dan dimana romo ditengah malam-malam begini?"
"Apa telah terjadi sesuatu?" ucapnya penasaran sehingga membuat Sekar berjalan mondar-mandir di kamarnya dengan perasaan gelisah.

Sedangkan Prabu Blantara bertarung sengitnya dengan tiga raja yang merupakan musuh lamanya di wilayah Parahyangan. Salah satunya adalah Raja Macan kombang penguasa di Gunung Burangrang dan yang kedua adalah Petapa gagal Si Batarakarang, mumi kecil pemakan darah dengan taring runcingnya dan rambut serta kukunya yang panjang dan yang terakhir adalah Raja Barong Harimau belang kuning Daksinarga yang terusir dari tanahnya, ketiga-tiganya sangat membenci Prabu Blantara wangi lantaran menyimpan dendam kepadanya.

Takdir Dewi SekarwangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang