*piip* *piip*"Ya?".
"Aku menggangumu?".
"Hmn. Tidak papa. Ingin bercerita sesuatu?".
"Can.....".
"Hmn?".
"Can..... aku merindukanmu".
"......................".
"Baby?".
*tuuut* *tuuuut*
"Huft.....". Tin menghela panjang malam itu.
Lagi lagi can menghentikannya untuk mengutarakan betapa kini dia merindukan suaminya itu.
Malam itu adalah malam ke 21 dia tidur tanpa can disisinya.
Tin tidak menyangka bahwa hal kecil yang dia lakukan berdampak begitu besar pada psikologi can.
Tin nampaknya lupa bahwa suaminya yang polos itu sangat serius ketika dia mengambil keputusan untuk menjaga jarak dengan seseorang.
Tin sudah terbiasa dengan can nya yang ceria dan polos. Dia lupa bahwa senyuman bukanlah indakator seseorang stabil secara psikologis.
Can memang kuat dan tahan banting. Tin tau dan bisa melihat itu.
Tapi ada satu hal yang menjadi titik lemah dan trauma yang lama can kubur tak ingin diingatnya.
Tak diinginkan oleh orang tercintanya adalah hal yang sangat menakutkan dalam hidupnya dan tindakan tin membuka luka lama yang tak pernah sembuh dari hidup can.
Can menyimpan dan menutupi luka itu sangat dalam hingga tak satupun orang tau.
"Jika aku tidak bisa melupakannya maka aku akan berpura pura lupa". Pikir can kecil ketika itu. Ketika dia menyerah dan sadar tidak ada yang akan datang untuknya.
*********
*3 minggu sebelumnya*
*brak!*
Can berlari keluar dari mobil taxi memeluk mochi yang sudah menangis kencang hingga menarik perhatian semua orang.
Tangisan mochi begitu kuat hingga orang orang berpikiran bahwa can telah menyakiti bayi cantik itu didalam pelukannya.
Can berlari, terus berlari tanpa tujuan dan berakhir disuatu taman dan terduduk ditanah memeluk mochi.
"Tin jahat..... tin juga.... tin jahat.... tin seperti mama. Tin jahat.... tin seperti nenek dan papa.". Can bergumam nyaris berbisik.
Matanya nampak tak fokus seakan pikirannya tak ada ditempat itu.
"Hey!. Apa kau baik baik saja?". Tegur seseorang yang merasa curiga dengan tingkah laku can.
"Tidak. Aku tidak tau". Jawab can tidak jelas.
"Oi...!.Kau menyakiti bayi itu. Apa itu bayimu?". Tanya pria itu mencoba mengambil mochi.
"Pergi!!!". Can meneriaki pria itu hingga membuat pria itu terkaget.
Teriakan can tadi membuat mochi menangis semakin kencang, membuat can panik hingga dia nyaris menjatuhkan mochi dari gendongannya.
*grab!*
Sesosok pria tinggi dan tegap dengan cepat menyergap pinggang dan tangan can yang kembali mencoba berdiri.
Dia memeluk keduanya erat didalam pelukan eratnya.
"Tenanglah....". Ucapnya mengelus punggung berkeringat can. "Tarik napas dan hembuskan perlahan".
Dia membimbing can agar kembali tenang.