Lukisan selalu memiliki daya tarik sendiri bagi si Pemuda yang sebantiasa duduk tenang di dekat jendela, memandangi goresan penuh perhitungan sang pelukis. Menikmati sekaligus memuji dalam diam bagaimana manusia dapat membuat mahakarya yang mengagumkan.Hampir menyerupai Sang Pecipta yang kesempurnaannya sendiri tidak perlu dipertanyakan.
Dia memejamkan mata, menggumamkan alunan musik klasik memenuhi tempat kecil yang memberi kenyamanan, seolah memeluk setiap pengunjung yang menghampiri guna melepas penat. Melupakan sesaat peliknya masalah duniawi. Mencari kebahagiaan fana.
"Apakah Tuan senang memotret?"
Obsidian kelabu itu bergerak, mengerjap, lantas menoleh untuk menabrakkan bola mata bulat itu dengan seorang gadis yang melemparkan senyum manis. Rambut panjangnya bergerak selagi dia membungkuk untuk meletakkan secangkir kopi hangat, mengepulkan asap sekaligus aroma menggoda.
Respon itu terhenti sepintas di udara, terhalang satu senyum sebagai balasan. "Apakah aku terlihat setua itu?" Dia membenarkan posisi duduknya, meletakkan kedua tangan di atas meja marmer, terkekeh.
"Ah, maafkan saya," ujar sang gadis tulus. Menyampirkan senyum bersalah yang memancar di kedua mata. Membuat pemuda itu dengan sigap menggeleng, mengibaskan tangan di udara sekaligus memintanya untuk bersikap lebih santai.
"Tenang saja, kau bukan orang pertama yang berkata demikian." Dengan gerakkan anggun yang sulit disebutkan, dia mengangkat cangkir perlahan, menghirup aroma yang perlahan memenuhi indra penciuman. "Apa kau suka memotret?"
Pertanyaan pertama yang membuat gadis itu tetap berada di dekat pemuda ini untuk beberapa saat.
Gadis itu dengan keraguan, mengangguk. "Hanya sebagai hobi."
"Sayang sekali," balas pemuda itu sembari meletakkan kembali cangkir ke atas meja. Mempelajari ekspresi yang diberikan lawan bicara. Kening mengerut penuh pertanyaan bersama bibir yang tertarik membentuk senyum simpul. Manusia memang menarik. Penuh hal yang mengejutkan, selalu berubah, selalu berevolusi menjadi suatu hal baru.
Meragu, gadis itu menarik napas. "Apa," ucapnya penuh kehati-hatian. Seolah setiap kata yang dilontarkan dapat menjadi sesuatu yang berbahaya seandainya salah berucap. Dan, bekerja di kafe selama lebih dari dua tahun cukup banyak memberinya pengetahuan. "Ada hal lain yang dapat saya bantu, Tuan?"
"Cukup panggil aku dengan nama, Kim Taehyung."
Kedutan di wajah tampan itu tidak terlewat begitu saja ketika dia menyebutkan namanya, seolah dua kata tadi merupakan hal asing. Sesuatu yang ganjil. Dan tidak lazim keluar dari bibir merah pucat itu.
"Baik, Tuan Kim, kalau ada sesuatu yang Anda butuhkan, Anda dapat memanggil saya."
Pemuda bernama Taehyung itu menghela napas, melepaskan tawa lelah kecil. Satu hal yang tidak pernah lepas dari sifat manusia ialah keras kepala. Hal yang menuntun mereka pada kehancuran sekaligus kemurkaan para dewa. "Taehyung, sebut saja namaku."
Gadis itu menipiskan bibir, memandangi pelanggannya yang satu ini. "Tuan Taehyung, kalau begitu saya permisi."
Ada sesuatu yang berbeda ketika gadis itu menyebutkan namanya, dia sedikit banyak menyukai aksen yang digunakan. Tidak kental dan terlalu jelas, tetapi masih dapat disadari jika kau sudah berkelana terlalu lama, bepergian selama hampir separuh waktu hidupmu.
"Bolehkah aku menghubungimu setelah ini?" Dia menggoyangkan sedikit cangkir putih diikuti senyum kecil, membuat sang lawan membalas senyum serupa. Mengangguk kemudian menghilang. Lenyap ditelan keheningan. Meninggalkan Taehyung dengan secangkir kopi, pikirannya, serta kamera tua yang terletak di sisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret 彡K. Taehyung
Fanfiction[1/1] Satu potret rupa, dibayar dengan segenggam memori. Taehyung sudah berputar pada lingkaran terkutuk itu terlalu lama. Menginginkan kebebasan. Dan, ambisi itu kian membuncah ketika dirinya bertemu dengan rekan lama di sebuah kafe.