17. Asa dan Gelisah

3.9K 327 15
                                    


 Revan

Sudah seminggu sejak hari di mana aku mengatakan akan menjauh, dan aku benar-benar melakukannya.

Aku bersikap seolah tidak pernah mengenalnya. Interaksi kami hanyalah saling sapa seperti yang kulakukan pada guru lainnya.

Pernah dengar taktik tarik ulur? Ya, itulah yang sedang kulakukan. Berlaku seolah akan pergi, padahal hanya menunggu waktu untuk menyerang kembali.

Oh, ayolah! Kalian tidak benar-benar menganggap aku sebagai pecundang menyedihkan yang akan menyerah semudah itu, kan?

Aku hanya ingin tau bagaimana reaksi Indira saat mendengar bahwa aku sudah menyerah. And see, waktu itu wajahnya pucat pasi, pasti kaget setengah mati mendapati aku akan pergi.

Licik? Tidak, itu namanya cerdik!

Aku sudah pernah bilang akan melakukan apa pun untuk mendapatkan cintaku kembali, kan?

Jika dia tidak bisa didesak, maka inilah cara yang kupilih. Pura-pura menjauh, dan dia yang akan datang mengejarku.

Mungkin aku terlalu percaya diri. Tapi kebanyakan perempuan memiliki sifat seperti itu. Menjauh jika terlalu gencar di dekati, tapi galau saat ditinggal pergi.

Dan aku memang benar. Perempuan memang seperti itu. Terbukti dari apa yang belakangan ini terjadi.

Jika biasanya Indira tidak ingin melihatku, akhir-akhir ini justru kerap kali aku memergokinya menatapku dari jauh.

Seperti yang saat ini terjadi. Indira sedang melirikku dari sudut matanya. Jangan bilang aku ke-ge-er-an. Revano Mukti Abraham adalah pria berinsting kuat, jadi aku akan langsung tahu jika ada yang diam-diam memperhatikan, tanpa melihat secara langsung. Ya, ya.. kebanyakan orang memiliki insting seperti ini, bukan aku saja.

Meja kami bersebelahan di baris paling belakang, dan itu benar-benar sebuah keuntungan. Tidak akan ada yang sadar bahwa diam-diam aku suka memperhatikan pacar ketua yayasan mereka, bahkan Indira sendiri.

Gadis itu tidak berubah, masih akan hanyut dalam dunia lain jika ada buku di tangannya. Seratus persen berbeda dariku.

Saat itulah ide jail melintas di pikiranku, jika selama beberapa hari ini aku hanya pura-pura tidak peduli jika dia memandangku dalam diam, maka sekarang aku akan mengejutkannya.

Setelah menghitung sampai tiga dalam hati, aku menolehkan kepala ke arahnya, dan secara refleks dia meraih buku yang ada di sebelah tangannya. Membuka asal, lalu membacanya dengan jarak dekat. Membuat wajahnya tertutup buku itu.

Aku tersenyum lebar. Benar bukan? Dia tidak akan gelagapan begitu jika tidak sedang memperhatikanku.

***

Sore ini udara terasa begitu panas. Ah, ralat. Setiap hari Surabaya selalu panas, tapi hari ini adalah yang terpanas. Untungnya ruangan pribadi Andri ber-AC.

Aku sedang menemani Andri yang sok sibuk di meja sana. Padahal yang dia lakukan hanya memeriksa atau menandatangani apa yang diserahkan bawahannya.

Dari tadi aku jadi kacang di sini. Ngomong sendiri tanpa ada yang menanggapi. Entah telinganya bermasalah atau dia hanya malas mendengarkan ocehanku yang katanya unfaedah.

Padahal yang kubicarakan sangat jauh dari kata nggak berguna, aku sedang menyusun rencana untuk kembali meraih Indira. Tapi dia begitu lempeng, menatapku seolah aku orang aneh yang berbicara menggunakan bahasa planet lain.

Jangan tertawa! Tapi aku benar-benar kesal dengan Indira. Jelas sekali dia masih sering diam-diam memandangku. Artinya, dia masih peduli padaku, kan? Dia pasti masih ada rasa padaku!

Lajur Rasa - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang