-¦- -¦- -¦- 44 -¦- -¦- -¦-

29 3 0
                                    

Seperti biasa, Fifi datang ke sekolah tidak terlalu mepet. Bersama barang-barang sekolahnya yang tentu saja berbeda dari anak murid lain. Maksudnya, banyaknya barang yang dia bawa. Tas sekolahnya saja entah berapa beratnya itu. Rasanya seperti mengendong batu. Padahal isinya wajar, buku cetak, buku tulis, tempat pensil kecuali bekal minumnya yang lumayan besar itu.

Tapi, hanya air putih. Lagi pula tidak seberat itu. Walaupun dia buang airnya tetap saja tasnya masih berat. Dia terkadang suka bingung, kenapa dia berbeda dari anak-anak lain. Kenapa hanya tasnya yang berat. Sedangkan anak murid lain. Huft! Seperti awan. Terserah, orang bilang pelajar yang tasnya berat itu orang yang rajin atau pintar. Jangan cap hal itu padanya, dia tidak sepintar itu. Dan dia tidak serajin itu.

Dia hanya rajin mengkhayal.

Bukan hanya tasnya. Baru saja dia memasuki kawasan sekolah. Dia sudah mendapat panggilan oleh guru Matematika. Mengarahkannya ke ruang guru, memintanya membawakan buku anak-anak kelas. Memang ada pelajaran menghitung itu nanti siang. Makanya selain buku yang sudah di tahan selama tiga hari itu kembali, tugas baru juga ikut terbawa. Sekaligus pesan jika tugas ini harus selesai ketika pelajaran di mulai. Fifi hanya bisa mengiyakan kemudian keluar dari ruang guru yang masih sepi itu. Berharap saja dia tidak di ceramahi anak-anak karena sudah menyodorkan tugas yang mereka benci di pagi hari.

Dia juga mencibir singkat. Bukan karena tugasnya. Dia suka menghitung, matematika bisa dia ikuti walau kadang tertinggal. Yang dia komentari adalah kenapa harus dia yang menjadi tumbal. Sudah lelah membawa banyak buku, ujung-ujungnya nanti anak kelas akan protes padanya. Benar-benar.

Fifi berjalan santai, menyusuri lorong sekolah yang masih lumayan sepi. Berbelok ke arah perpustakaan. Melanjutkan perjalanan lurus ke depan yang di sana tidak jauh kelasnya sudah terlihat. Namun, tiba-tiba dari arah belakang. Entah setan apa yang merasuki salah satu laki-laki itu. Dia menabraknya dengan nafsu sekali. Semua bukunya terjatuh.

"Aduh! Heh! Anjir banget lo! Berantakan nih," omel Fifi.

Laki-laki itu tetap berlari, tersenyum tanpa berdosa. "Sorry, Fi!"

Fifi ingat, dia itu Bagas dari kelas yang sama dengan Acha. Dia tidak heran. Laki-laki itu memang semberono. "Dasar lo! Woi Bagas! Ketemu gue tampol lo, ya!"

"Iya, maap!"

Dia menghentikan aksi protesnya. Suaranya tidak ada di dengar oleh laki-laki yang satu itu. Dia saja sudah pergi jauh. Entah mau kemana dia pagi-pagi begini sudah berlari dan menyebabkan korban. Fifi dengan cepat membereskan buku-buku milik teman kelasnya bersama decakannya itu. Menumpuknya menjadi satu. Dia sudah berjanji, kalau nanti bertemu dengan Bagas dia pasti memberikan hal yang setimpal padanya.

Baru lima buku yang di tumpuk, mendadak ada satu tangan ikut membantunya membereskan buku. Dia mendongak, itu Wahyu. Masih mengendong tas di pundaknya. Sama sepertinya, dia baru sampai di sekolah. Mereka membereskan buku untuk beberapa detik. Menumpuk semua menjadi satu. Ketika Fifi berniat membawanya kembali. Laki-laki itu lebih cepat merebut semua bukunya. Mengatakan jika dia bersedia membawa ke kelas.

"Em! Maka---"

Belum sempat berterima kasih. Wahyu lebih cepat pergi dari hadapannya. Berjalan membawa semua buku-buku itu. Meninggalkan dirinya dengan wajah bingung sekali. Tapi rasa sedih dan kecewa juga ikut muncul. Sesaat dia tidak tahu apa yang terjadi. Tapi akhirnya dia sadar. Dia tahu ada apa dengan sikapnya itu.

'Pasti karena kemarin,'

-¦- -¦- -¦- -¦- -¦- -¦- -¦-

"Fi!"

"Mm?"

"Ada pesen dari Bagas," kata Acha.

Fifi melirik. "Apaan?"

How To Meet You [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang