02| Berdarah

30.7K 2.3K 4
                                    

"Kenapa?" Suara Mas Akbar terdengar tak tertarik dengan pembicaraan ini. Aku duduk di atas kasur sambil memilin ujung dasterku.

"Pulang..."

"Ini bukan giliranmu, Mia," aku sekarang ingin berteriak. Malam ini memang giliran Mbak Shanas, Istri pertama suamiku. Tapi aku tidak bisa menahan rasa aneh yang terus menggerogoti perutku. Dari tadi perutku mulas, memang sudah tidak ada darah, tapi rasanya melilit.

"Siapa, Mas?" Suara Mbak Shanas terdengar mendekat, aku membuang napas, entah kenapa aku malah ingin menangis. Apa salahnya sih dia pulang? Aku hanya mau setidaknya kalau aku mati malam ini atau terjadi sesuatu pada bayiku, ada seseorang yang menemaniku atau melihatku. Ya, setidaknya aku tidak mati membusuk dalam dua hari kedepan.

"Mia, ada lagi?" Mas Akbar berdehem. Aku menggeleng samar menahan isakanku. Aku sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Setelah menutup panggilan, aku langsung berbaring. Air mataku jatuh, dan aku menangis lagi.

Tidak ada yang salah denganku, hanya tiba-tiba aku teringat Bapak dan Ibu di hari rumahku kebakaran. Tidak ada yang menolong mereka saat itu, mereka berteriak pun tak ada yang dengar. Apa akan terjadi hal yang sama padaku?

Aku menghapus air mata. Tidak ada api, Mia. Jangan membesar-besarkan masalah.

***

Hari itu aku dan adikku Tri berjualan di trotoar. Aku berjualan kue, sedang adikku menjajakan tisu bagi pengemudi yang membutuhkan. Kami melakukan itu setiap pagi bersama orang-orang dari desa kami. Beberapa di antara mereka menjual roti dan air dingin. Ada juga rokok dan kerupuk sagu.

Kami berjualan sampai menjelang magrib. Jualan tisu Tri laku semua, sedang kueku tersisa dua. Sengaja aku menyisakannya, untuk kuberikan kepada adikku yang dari tadi tak mengonsumsi apa pun.

Kami berjalan menapaki gang kecil yang akan mengantarkan kami ke ladang. Orang tuaku meminjam tanah dari orang kota, Pak Tantono namanya. Beliau sangat baik pada Bapak, bahkan sudah hampir sepuluh tahun tanah itu kami garap menjadi pepohonan pisang.

Biasanya ketika pulang dengan jualan hampir habis, kami akan berlomba lari ke rumah. Tak bisa dibayangkan bagaimana wajah bahagia Ibu melihat kue buatannya dibeli orang. Adikku sangat bersemangat.

Tapi hari itu berbeda. Kepulan asap dan kobaran api menyambut kami. Ladangku jauh dari desa. Tapi kobaran api setidaknya menimbulkan Asap yang tinggi, menarik perhatian warga untuk menolong.

Aku berteriak memanggil nama Bapak dan Ibu dengan panik. Adikku menangis. Kami mencari keduanya namun tak menemukan apa pun. Rumah dari bilah bambu itu hampir roboh, ketika akhirnya Tri meminta bantuan ke desa. Kepalang tanggung, Api melahap semuanya.

Ya, termasuk Ibu Bapak. Sejak itu, aku tak punya selera hidup. Aku hanya berusaha menghidupi adikku. Dia satu-satunya yang kupunya.

Dua tahun sudah kepergian mereka, saat itu tiba, adikku dinyatakan lemah jantung. Aku tidak bisa menyangkal betapa sempurna hidupku lagi.

Akhirnya, aku dipertemukan pemilik ladang yang Bapak pinjam. Kata warga, beliau sudah mencari kami sejak lama. Aku memang membawa adikku jauh dari ladang, tidak mau menatap tempat itu lebih lama. Kami menjadi takut api dan mudah panik. Hidup kami tidak begitu terlantar, kami tinggal di mesjid, membersihkan di sana.

Sudah kubilang, pak Tantono namanya. Dia mau membiayai hidup adikku di rumah sakit. Dia juga mau memberi ku tempat tinggal. Dia benar-benar baik.

Suatu ketika aku ditawari menikah. Anaknya sudah menikah hampir enam tahun, namun kandungan istrinya dinyatakan bermasalah oleh Dokter. Pak Tantono dan Bu Venya mau menikahkanku dengan anaknya.

Aku hampir dua bulan dibunuh pemikiran itu. Tapi setelah mengingat jasa mereka kepada orang tua dan adikku, aku membuang rasa tidak terimaku.

Kami menikah sekitar empat bulan lalu. Mas Akbar. Dia pria yang baik, tidak banyak mengganggu ku, istrinya juga jauh lebih baik. Mbak Shanas tidak pernah memperlakukan ku buruk. Meski perbedaan usia kami 6 tahun, tapi dia selalu berusaha mengimbangiku, menjelaskan bagaimana Mas Akbar padaku.

Aku berbaring miring, menyeka keringat ku. Aku terbangun di tengah malam dalam keadaan kepanasan. Segera kulepas selimut yang menggerogotiku. Ku kibaskan rambutku ke atas, tapi masih panas. Aku pun bangun dan mencepol rambutku.

Ketika mau tidur lagi, kurasakan kemaluanku becek. Aku menyalakan lampu dan melihat kasurku sudah berdarah. Aku gemetar bukan main. Air mataku meluncur, tanganku mengusap perutku. Segera kuraih ponsel, mendial nomor Mas Akbar.

Dua tiga panggilan dan dia tidak menjawab. Aku baru sadar kalau dia sama sekali tak bisa dibangunkan kalau sedang berurusan dengan kasur.

Tapi kuharap Mbak Shanas mendengar panggilanku. Hingga terhitung lima kali aku menelpon, tidak satupun terlewat. Apa Mbak Shanas tidak mendengar? Atau memang mereka sengaja tuli? Entah kenapa aku kesal. Perasaanku sudah tidak enak.

Tanpa pikir panjang, aku berjalan tertatih ke lemari, mengganti baju dan mengambil beberapa lembar uang yang tempo hari diberikan Mas Akbar.

Aku berjalan sendiri di tengah malam dengan tangan menangkup perut. Aku tidak merasa nyeri sama sekali, tapi hatiku gundah, kehamilanku masih sangat muda. Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan bayiku?

Aku sesegukan di tengah jalan, sampai akhirnya aku menyetop taksi seperti yang dilakukan di film-film. Aku meminta diantarkan ke rumah sakit, lalu di sinilah aku.

Terbaring lemah dengan posisi terlentang. Sebuah cairan mengalir di pergelangan tanganku. Ini pertama kalinya aku diinfus. Pertama kalinya pula aku merasa sangat sulit bergerak karena kateter dipasangkan padaku agar aku tidak perlu pulang balik toilet.

Kata dokter yang berjaga, aku mengalami pendarahan dan untuk menyetopnya, aku tidak boleh bergerak banyak kecuali berbaring terlentang dengan bantal mengganjal pinggang.

Sudah hampir dini hari ketika aku diminta suster untuk mengisi biodata. Suster itu membantuku mengisinya, aku cukup menyebutnya. Setelah meminta tolong mengurus administrasi, aku kemudian dipindahkan di ruang rawat.

Mataku terpejam. Berat sekali rasanya ditatap aneh oleh suster yang membantuku, seolah aku adalah manusia paling mengkasihankan karena dalam kondisi begini pun aku harus melakukannya seorang diri.

Mas Akbar bahkan belum menelponku kembali. Aku menutup mata, berusaha tidur walau rasanya tidak bisa.

Tapi ya, hebat sekali. Saat aku terbangun, Mama mertuaku sudah di depanku. Beliau menggunakan pakaian merah menyala, seolah mencerminkan perasaannya saat ini.

"Kamu sudah bangun?" Mama bergerak mendekatiku.

"Air," aku tidak bisa mengatakan apa pun selain air, karena aku kehausan. Mama dengan telaten mengambilkan air mineral dalam botol, lalu dia memasangkan sedotan di sana. Aku menghisapnya sampai seperempat, lalu pelan-pelan mulai bernapas lega.

"Mama kenapa ada di sini?"

"Harusnya Mama yang tanya, kamu kenapa ada di sini?" Suara Mama menggelegar, aku ingin beringsut ketakutan jadinya.

"Mama ditelpon rumah sakit, rasanya Mama mau meledak saat itu juga. Kamu kenapa ga nelpon Mama, Mia?" Ya, aku memang mengisi nomor mertuaku di kolom wali penanggung jawab, tidak berani menulis nama Mas Akbar.

"Mia ga sempat, Ma. Mia bangun udah berdarah, Mia berusaha telpon Mas Akbar, tapi ga diangkat." Air mataku tanpa dibuat-buat keluar juga. "Mia kepalang takut, Ma. Mia takut bayi Mia kenapa-napa. Jalanlah Mia keluar kompleks, Mia dapat taksi dan minta diantar ke sini," jelasku panjang lebar dengan nyali yang hampir ciut.

Mama nyaris menjawab sebelum pintu ruangan terbuka, menampilkan sosok pria dengan pakaian tidurnya yang berantakan. Bisa kutebak tidurnya enak sekali semalam. Aku mau menangis mengingatnya.

***

Made With Love,

Searth

SECOND WIFE (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang