Part 15 { Mendatangi Ijab Kabul }

24 5 0
                                    

POV Rena
***
Waktu demi waktu terus berganti dan hari ini adalah tepat dimana aku akan melangsungkan pernikahanku dengan Rendy, pria yang telah dijodohkan Ayah apadaku. Dengan bangun lebih awal aku kembali merenung serta dilema yang menyergap tubuh secara tiba-tiba, entah apa yang merasuki Ayahku sehingga mau memusnahkan pilihan anaknya demi keputusannya yang sepihak itu.

Terjebak dalam sebuah rasa dan terseret alunan takdir Tuhan yang jelas-jelas dia adalah bukan pilihanku selama hidup, mungkin dengan menuruti apa kata Ayahku ini bisa membawa ke dalam hidup yang lebih indah nantinya. Harapanku sebagai pengikut sebagai anak yang berbakti kepada kedua orangtua.

Tampak jelas dari kemarin bahwa di rumah sudah ramai orang-orang yang memasak makanan untuk resepsi pernikahanku, mereka melintas kesana kemari sembari untuk memberikan yang terbaik agar acara berjalan sebagai mana mestinya. Setelah selesai mandi akhirnya seorang pelukis tata rias di atas wajah datang dan menemuiku yang masih mendekam di dalam ruang kamar.

Tok-tok-tok!

"Sebentar," kataku dengan suara yang lembut.

Krek ....

"Neng, kamu sudah siap untuk didandani sekarang?" tanya perias pengantin pria yang rada sedikit banci dengan tingkahnya yang gemulai tersebut.

"Hmmm ... sudah nih, mulai saja, Mbak!" balasku dengan suara yang sangat lirih.

"Oke ... sebelum dirias aku ambil foto kamu dulu ya, Mbak," katanya lagi.

Tanpa membalas suara apa pun dia mengambil fotoku dengan menggunakan handphone-nya. Kala itu aku tak mau berkata banyak, karena debaran jantung begitu kencangnya berdetak dan tak mau berhenti sembari menanti ikrar ikatan sebuah pernikahan.

"Neng ... Neng, kok bengong begitu sih?" tanyanya sambil menatap wajahku tajam.

"Eng—enggak, kok, aku hanya takut saja," jawabku singkat.

"Aku tahu kenapa kamu takut, pasti kamu dijodohkan keluargamu 'kan?" tanyanya lagi sembari memegang kuas bedak.

Sontak aku merunduk dan meneteskan air mata yang mengalir sangat deras, tiba-tiba kepalaku pusing dan tak mampu berbuat apa-apa. Aku hanya pasrah dan menetap datar ke arah lemari kaca yang sedang berada dihadapanku.

"Sabar, Neng, kamu yang kuat Sayang mbak tahu apa yang kamu rasakan sekarang," ucap perias pengantin tersebut.

"Sudah Mbak, rias saja. Kuat enggak kuat aku akan menjalani hari ini yang merupakan mimpi buruk seumur hidupku tengah berlangsung sekarang," jawabku dengan menghapus air mata yang mengalir deras.

"Ucapkan basmalah, Neng, saya suka dengan sikap kamu yang mencoba ikhlas dan pasrah akan takdir kehidupan ini."

Aku menatap datar wajah perias tersebut yang bisa membaca isi hatiku saat ini, mungkin ini adalah sebuah ketetapan yang harus aku terima dan jalani. Untuk berbuat yang lebih lagi aku tak mampu mencoba untuk menikmati jalan hidup yang tak kuinginkan, demi bahagia kedua orangtuaku.

Perias tersebut melukis di atas wajah ini yang tengah mengkerut dengan mata mulai memerah akibat tangis yang pecah ketika ribuan pertanyaan yang datang darinya, dengan merias wajah sesekali aku menoleh ke arahnya dan melihat kedua matanya juga. Dia sepertinya sedih akan pernyataan yang saat ini kukatakan, tampak jelas bola matanya berkaca-kaca sembari mengusap kuas berlapis bedak di atas wajah dengan ribuan rasa kekecewaan.

Setelah lama berdandan dengan menghabiskan waktu dalam ruang kamar akhirnya aku selesai juga untuk urusan make-up, dengan sigap aku bangkit dari tempat duduk dan melangkah menuju ke arah lemari. Kedua tangan mengambil gaun putih yang telah aku beli beberapa hari lalu di toko pakaian pengantin, dengan di bantu perias tersebut, aku memakai gaun dan mengancingkan resleting belakang sendirian.

Ketika aku berkaca dengan gaun tersebut serta wajah yang telah di poles bedak selesai sudah keindahaan wajah yang begitu mempesona dengan aura sebagai pengantin terpaksa menikah, kekecewaan yang keluar dengan sendirinya membuat perias tersebut meneteskan air matanya.

"Kamu cantik, Neng, seperti bidadari yang turun dari kayangan," ucapnya merayuku dengan busana gaun putih.

"Tetapi ... indahnya gaun ini tak seindah jalan kehidupan yang sekarang aku alami, Mbak!" jawabku sambil memutar-mutarkan badan.

"Neng ... hatimu sangat mulia, dengan menuruti perjodohan orangtuamu dan tak membuat mereka sakit hati. Saya doa'kan agar kelak kamu hidup bahagia dan langgeng. Aminnnn," ucapnya lagi.

"Terima kasih, Mbak," jawabku singkat.

Suara berisik yang datang dari arah luar ruang kamar membuatku semakin merasa takut dan gemetar, aku pun keluar dalam ruang kamar sembari mengangkat gaun putih menuju tempat ijab kabul yang di sana sudah ada mempelai calon imamku beserta Pak penghulu yang akan menikahkan aku dengan Rendy hari ini.

Dengan berjalan anggun aku membuang tatapan menuju arah bawah lantai sembari menyimpan rasa sakit ini serta kekecewaan yang menyergap tubuh seketika, semua mata tertuju padaku dan para tamu yang hadir menatap tajam diri ini sembari kagum akan kecantikan dengan pesona yang menebar di sepanjang jalan.

Setelah sampai di tempat duduk aku pun bersanding dengan Rendy sembari menanti ikrar sebuah kata ikatan resmi pernikahan suami istri.

"Saya nikahkan engkau Ananda Rendy bin Rizal Maulana dengan Rena binti Sarifuddin serta emas kawin dan seperangkat alat shalat dibayar tunai," ucap Pak penghulu.

"Saya terima nikahnya dan kawinnya Rena binti Sarifuddin dengan emas kawin dan seperangkat alat shalat dibayar tunai," jawab Rendy.

"Bagaimana saksi?" tanya Pak penghulu sambil menoleh kanan dan kiri ke arah dua saksi yang duduk di sana.

Ketika itu tiba-tiba aku melihat Reno berdiri tepat di depan pintu rumah dengan membawa sebuah bungkusan kado yang sangat besar, kehadirannya menggegerkan seisi rumah serta tamu yang ada di luar ruangan. Sontak saksi dan Pak penghulu berhenti berucap lagi, semua tatap mata mengarah menuju wajah Reno yang menetekan air mata.

"Itu Reno, bukan?" tanya para tamu.

"Iya itu ... Reno dan aku tahu kekasih Rena adalah dia dari dulu," ucap para tamu yang telah hadir.

"Reno ... ka—kamu. Kamu ada di sini Sayang," ucapku sembari meneteskan air mata.

Semua orang berdiri dan menatap ke arah kekasihku tersebut, dengan langkah kecil dia berjalan menuju tempat dudukku. Dengan perlahan dia duduk di sampingku dan meletakkan kado tersebut di atas kedua tanganku, air matanya membuat jantung ini ingin copot dan isi kepala seakan mendidih.

"Rena ... ini kado terakhir dari aku, tas berwarna merah muda yang kamu pinta ketika dulu. Sekarang aku baru bisa beli sebagai kado istimewa di hari acara seserahanmu," ucap Reno dengan menatap tajam wajahku.

"Reno ... aku tidak mau menikah dengannya, aku sangat mencintaimu," jawabku lirih.

"Ren, cukup! cinta kita tidak ada restu, cobalah untuk tidak memaksa keadaan. Jadilah wanita tangguh seperti yang pernah kita ucapkan ketika dulu di bawah senja, siapapun yang menjadi jodoh kita kelak, ikhlas dalam menerima. Bukan begitu!" jawab Reno seakan menambah sayatan dalam hati ini.

"Ta—tapi Reno ... jangan tinggalkan aku, Ren ...."

Dengan berdiri tepat dihadapan wajahku Reno melangkah untuk pergi. Ketika itu aku memeluk kaki kirinya yang hendak melangkah pergi bersama isak tangis yang membuat para tamu terhanyut dan menangis dengan suasana hari ini.

"Jangan ... jangan pergi. Aku mohon Ren, jangan pergi Sayang," ucapku dengan tangis yang tak tertahankan lagi.

Namun, dengan langkah kecil Reno tetap pergi menuju pintu rumahku.

"Reno ...."

"Tunggu aku, aku sangat mencintaimu Ren ...."

Setelah mendengar teriakanku akhirnya dia berhenti dan menoleh 'kan kepalanya menuju tempatku duduk saat ini.

"La Tahzan ... ada Allah," ucapnya sembari membuang padangan dan kembali berjalan.

Setelah beberapa menit dia meninggalkanku tiba-tiba kepala ini pusing setengah mati dan tubuh ini bergetar hebat, jantung yang saat itu berdebar kencang seketika berhenti sejenak.

DIKUBUR DI HARI ACARA SESERAHAN (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang