Part of Hades

23 2 0
                                    

Rutinitas yang sangat membosankan. Hidup yang semakin terus berjalan, tapi aku sendiri malas jalan-jalan. Bukan jalan-jalan perihal dimana kamu melakukan aktivitas berupa menyegarkan pikiran, tapi jalan-jalan untuk kelanjutan hidupmu. Hidup yang sebatang kara, mengharapkan belahan jiwa, minta untuk berjumpa, asa dan harap yang janji di rajut bersama, berakhir dengan sekadar omong kosong. Bukan sekadar lagi, tapi memang sudah tidak ada harapan lagi.

Rumah yang tidak lagi hangat, lingkungan yang sudah sepi, seolah diriku dan sekitarku mati. Pesan-pesan yang ku kirimkan seolah tak berbalas, dan di kutuk untuk tidak terbalaskan. Kamu tau, pesan suara yang selalu ku kirimkan untukmu adalah bukti aku masih berharap dan setia menunggu. Jadi, mau pulang atau tidak? Dan kamu akan membiarkan aku terus mengirimkan pesan suara dimana kamu sendiri tidak akan membalasnya. Setiap salam berucap, maka keheningan yang selalu ku dapat.

Waktu demi waktu. Makanan yang selalu ku buat dari hasil mencuri di setiap supermarket yang ku lewati di kota ini, tidak seberapa, tapi sebagaimana yang ku dapatkan setidaknya bisa ku buat menjadi makanan yang layak. Meja makan yang menyisakan dua kursi besebrangan dari ujung ke ujung, seolah menjadi saksi kesendirian yang cukup menyedihkan. aku yakin, kursi yang kosong di depanku itu sudah merasa bosan karena tidak pernah di duduki oleh pemiliknya, dan kursi yang selalu ku duduki pasti merasa hampa dan bantalannya yang sedikit lembab adalah bukti aku selalu menikmati hidangan makanan sendirian.

Kamera-kamera yang kamu simpan di lemari kayumu hanya menyisakan debu dan beberapa rekaman video serta foto kegiatanmu. Hitam putih yang menyelimuti dirimu adalah khas yang selalu aku rasakan tatkala memandang potretmu. Canda dan tawa tercetak serta terekam dengan penuh sendu. Semua menyisakan kerinduan yang mendalam, dan berharap jika foto-foto ini bisa membuatmu berada disini dan tampak hidup, mustahil. Aku membuka beberapa file video yang memperlihatkan dirimu dengan hoodie sambil bermain gitar, memakan sarapan, tidak lupa dengan lengkungan manis yang kamu ciptakan di bibirmu, semua itu berhasil mengundang senyumku juga.

Kemudian aku berjalan ke loteng, menaiki tangga tua rumah ini, memandangi beberapa koper yang berukuran besar, sedang, sampai yang kecil. Sambil menyusuri setiap sudut tempat gelap ini, aku hanya berbekal senter dan berhasil menemukan bola basketmu. Itu bola kesukaanmu yang selalu kamu mainkan bersama kakakku di malam Minggu. Aku kerap kesal karena malam Mingguku selalu di luar ekspektasi. Kamu memilih bola itu, bermain di samping sungai kota, pulang dengan keringat yang membasahi bajumu, berakhir hanya meminta maaf karena malam Mingguku yang selalu pupus.

Dan aku kembali menatap bola basket usang ini, “sangat mengagumkan kamu yang terikat denganku.”

Aku berjalan ke kamar untuk memikirkan apa yang akan ku lakukan untuk esok hari. Aku mengambil ponselku dan kembali melakukan hal sama setiap pukul 4 sore. “aku bingung dengan lemari kayumu yang sudah cukup tua itu, lemari itu selalu menghalangi pintu kamarmu setiap aku ingin masuk, jika aku membuangnya, atau meletakannya di belakang rumah, apa kamu tidak akan marah? Aku hanya takut kamu murka, tapi itu sangat mengganggu. Pulanglah, atau aku akan merobek bola basketmu, dan membanting kamera-kameramu. Maaf aku bercanda.”

Dan aku mengakhiri pesan suara itu lalu ku tulis di buku catatan. Aku kembali menbuka beberapa lembar pesan suara yang ku tulis selama ini, sesekali aku membacanya dan setiap tulisan memiliki momen tersendiri. Aku yang merasa bosan, aku yang tiba-tiba menangis tanpa sebab, aku yang kelaparan karena sudah 3 hari tidak mendapat curian bahan makanan di beberapa hari lalu, semua ku curahkan melalui pesan suara untukmu dan ku kulis di buku catatan yang sudah jelek ini. Aku hanya ingin kelak jika kita bertemu lagi kamu bisa baca ini, sekiranya kamu tidak bisa mendengar pesan suaraku.
 
Jika sudah pukul 5 sore, aku akan pergi ke halaman belakang rumah untuk menyiram ‘tanaman’. Tidak lupa mengusap sweater putih yang di penuhi bercak coklat pekat, aroma bajunya adalah aroma yang sangat aku sukai, itu aroma tubuhmu, tapi kini sudah bercampur dengan bau amis. Yang selalu ku ingat dari sweater ini adalah saat kita berjalan-jalan berdua di ramainya kota dan aku membeli sweater ini untukmu sebagai hadiah pertama dariku. Kamu selalu memakai sweater ini jika sudah pulang dari kerja, kamu bilang kamu tidak bosan karena itu dariku. Aku hanya senyum terenyuh mengingat ucapanmu yang nyaman mengenakan sweater ini.

Mengambil seember air kemudian menyirami tanaman itu. Itu bukan tanaman biasa, disana ada nyawa seseorang yang berharga. Setelah menyiram, aku memilih berjongkok menilik tumbuh kembang tanaman ini, mereka tumbuh subur sekalipun tidak berbunga dan tidak berbuah. Kemudian mataku tertuju pada pisau yang tergeletak di samping sebongkah batu, aku tau pisau itu.

“Sudah ku bilang biarkan ini menancap, kenapa pisau ini terlepas lagi dari genggaman tanah? Sungguh ini membuatku marah!” racauku saat aku tau jika pisau itu tidak lagi tertancap di tanah samping batu yang basah karena siraman air.

Aku diam sejenak.

Aku memilih mengambil pisau itu, menatapnya cukup lama sambil membersihkannya dari sisa-sisa tanah basah yang menempel. Sampai aku berhasil merobek kulit lenganku beberapa kali hingga darah segar mengalir disana. “Bisakah tidak menatapku secara iba? Aku tau kamu berdiri disana! sstt … berhenti melihatku secara kasian” aku terduduk sambil tersedu-sedu dan menatap batu basah yang hanya diam, mati dan tak peduli.

Setelah menancapkan pisau itu kembali, penglihatanku mengabur tubuhku semakin lemas. Aku sering melakukan hal semacam ini, hanya saja untuk yang sekarang tubuhku sangat lemas, mungkin aku menyayatnya terlalu dalam. Aku tidak terlalu peduli, aku hanya seketika memilih berbaring dengan tenaga yang tersisa.

“Sekarang tidak ada yang bisa menolongku, aku sendiripun tidak bisa menolong diriku sendiri. Mark, aku butuh kamu, aku minta maaf”.

Hingga aku merasa tubuhku sangat lemas dan aku mengantuk, akhirnya aku memilih untuk tidur, siapa tau besok aku kembali terbangun kembali. Samar-samar aku mendengar suara yang hampir seperti bisikan, “Aku memaafkanmu.”

aku tersenyum dan aku tertidur dengan nyenyak.

Part Of Hades || Mark LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang