Chapter DCLXXIV

2.4K 507 24
                                    

"Shin!" ucapku memanggil namanya.

"Mereka melakukannya karena nyawa mereka sendiri bergantung dari kontrak tersebut, tapi tidak untuk kami ... Kami akan tetap hidup, jadi untuk apa melakukannya," ucapnya yang membalas panggilanku.

"Apa kau pikir, aku dan Kou melakukannya demi nyawa kami saja?" tukas Uki yang turut menimpali pembicaraan.

"Kalau bukan karena hal tersebut, lalu apa? Aku hanya ingin memiliki satu Tuan, Tuan yang benar-benar mengerti keadaan kami. Tuan yang sudah seperti Ibu kami sendiri ... Tidak ada makhluk lain yang dapat menggantikannya, bahkan jika dia adalah anak dari Tuan kami sendiri," ucapnya sambil berbalik lalu merayap di atas hamparan salju, menjauhi kami semua.

Aku menghela napas, karena saat aku melirik ke arah Tama pun, dia juga sudah melangkah meninggalkan kami, mengikuti jejak Shin di depannya. Aku beranjak dengan menggendong erat Huri, "kalian bisa beristirahat! Aku pun ingin beristirahat," sautku sambil menatap mereka bertiga bergantian.

"Aku akan mengantarmu ke sana, My Lord. Naiklah ke punggungku!" Kou memintanya, diikuti keempat kakinya yang bertekuk di depanku.

____________.

"Terima kasih, Kou," ucapku, setelah dia menurunkanku dari punggungnya.

Aku berjalan dengan membawa Huri ke wilayah yang tak bersalju, sambil sesekali melirik ke arah Uki yang terbang ke arah lain sedang Kei yang berjalan ke arah yang sebaliknya. Aku menunduk, menatap Huri yang juga menatapku dengan tangannya yang bergerak memegang bibirku, "Ibu merindukanmu," ucapku dengan meraih tangannya lalu menciumnya.

Kakiku terus melangkah maju, mendekati deretan rumah kayu yang memang tidak terlalu jauh dari tempatku berdiri sebelumnya. "Apa Hikaru sudah mulai belajar berdiri?" tukasku takjub, saat kedua mataku itu terjatuh ke arah Hikaru yang langsung ditangkap kembali oleh Amanda tatkala dia hampir terjatuh.

Amanda mengangkat wajahnya lalu tersenyum menatapku, "iya, bahkan Huri sudah bisa merangkak. Apa kau tidak ingin melihatnya, Sachi?" ucapnya dengan menepuk rerumputan yang mereka duduki.

Aku berjalan mendekat lalu duduk di dekat mereka, "hanya ada kalian di sini? Ke mana yang lain?" tanyaku sambil menatap Amanda yang memangku Hikaru berserta Ebe yang hanya terdiam menggendong anak kecil yang sebelumnya aku selamatkan.

"Ebe, kenapa wajahmu terlihat tegang sekali?"

Dia yang mendengar perkataanku, mengangkat wajahnya, "aku tidak pernah menggendong seorang anak sebelumnya, terlebih ini anak manusia. Kau masih ingat, kan, kalau dulu aku pernah mengatakan bahwa yang merawat bayi-bayi duyung adalah ayah mereka sendiri. Apa aku sudah benar menggendongnya? Izumi yang mengajariku sebelumnya," ucapnya dengan kembali menunduk.

"Kalau dia tertidur lelap, baringkan saja! Bentang kain ini untuk menjadi alasnya tidur," saut Amanda yang dibalas gelengan kepala Ebe tatkala Amanda memberikan sebuah lipatan kain kepadanya. "Aku ingin menggendongnya, aku ingin belajar bagaimana rasanya menjadi seorang Ibu," jawab Ebe tanpa mengangkat pandangannya dari anak tersebut.

Aku mengangguk saat Amanda menoleh kepadaku, helaan napas ia keluarkan sambil meletakan kembali lipatan kain yang ia pegang ke sampingnya. "Apa Huri merepotkanmu, Kak?" tanyaku sambil mendudukkan Huri di rerumputan.

Mataku masih tertuju ke arahnya, yang langsung merangkak sedikit menjauh tatkala aku melapaskan tanganku yang merangkul pinggangnya. "Dia tidak merepotkan sama sekali. Justru menjaganya dan Hikaru secara bersamaan, membuatku tidak merasa kesepian di sini," jawabnya ketika aku sedikit beranjak dengan meraih Huri lalu memangkunya.

Aku kembali duduk sambil mengusap kedua tangan Huri, "aku lupa memberitahukan Kakak perbedaan waktu di sini dan di dunia manusia. Bahkan, jika aku pikir-pikir kembali ... Kalau dihitung menggunakan waktu di dunia manusia, orang-orang mungkin tidak akan percaya bahwa aku dan Zeki sudah memiliki anak-"

"Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih karena telah membantuku merawatnya," sambungku yang dengan cepat mengakhiri pembicaraan. "Aku hampir melupakan pertanyaanku sebelumnya, apa kakak melihat yang lain?"

"Mereka mencari makanan untuk kita. Awalnya mereka ingin membersihkan rumah, tapi aku sudah membersihkan rumah-rumah di sini setiap hari," jawabnya dengan menoleh ke samping tatkala suara laki-laki terdengar.

"Di mana Zeki dan juga Izu-nii?" Aku bertanya kepada Haruki dan Eneas yang berjalan mendekat sambil membawa setandan besar buah pisang berwarna kuning.

Langkah mereka berhenti seraya meletakan buah pisang tadi ke rerumputan, "mereka sedang mencoba untuk mengambil buah kelapa. Sebentar lagi juga mungkin akan kembali," tukas Haruki, sambil memetik beberapa buah pisang lalu diberikannya kepadaku.

Dia kembali berjalan lalu memetik kembali beberapa buah pisang sebelum akhirnya duduk di samping Amanda dengan meletakan buah-buah pisang itu di dekat mereka. "Hikaru, coba berjalan ke arah Ayah," ucap Haruki dengan duduk menyamping sambil mengangkat kedua tangannya.

Amanda menggeleng saat Hikaru yang ia papah untuk berdiri kembali duduk, "mungkin dia lelah," saut Amanda dengan sedikit beranjak sambil memberikan Hikaru ke rangkulan Ayahnya.

"Huri!" Tatapan mataku beralih ke arah Eneas yang berjalan mendekat setelah sebelumnya memberikan beberapa buah pisang kepada Ebe.

Aku sedikit kewalahan tatkala Huri beranjak dengan sedikit melompat saat Eneas sendiri telah duduk di depan kami, "cantiknya keponakan Paman ini," geram Eneas sambil mengapit pelan tangannya ke kedua pipi Huri, hingga suara tawa keluar dari Huri saat Eneas melakukannya.

"Kenapa kau selalu bersemangat tiap kali Paman Eneas-mu itu mengajak bercanda," ungkapku, aku mencubit pipinya yang tersenyum ketika dia sendiri telah berada di pangkuan Eneas.

"Berkacalah pada dirimu sendiri!" Aku mengangkat kepala, menatap ke arah Izumi dan juga Zeki yang telah berjalan dari arah belakang dengan membawa beberapa kelapa di masing-masing tangan mereka.

"Apa maksudmu, nii-chan?" Aku balas bertanya sambil melirik ke arah mereka berdua yang meletakan buah tersebut di dekat pisang yang dibawa Haruki dan juga Eneas sebelumnya.

"Waktu kecil kau juga seperti itu, kan? Senyum-senyum sendiri sambil menatap Tsubaru saat dia menggendongmu. Aku melihatnya sendiri! Sampai aku berpikir, apa anak ini keracunan sesuatu?" Izumi bergumam sembari berdiri dengan mengupas salah satu buah pisang yang ia ambil.

"Benarkah? Aku penasaran seperti apa senyuman yang ia lakukan. Mungkin dia merasa sangat nyaman, digendong oleh Kakaknya itu ... Apa yang aku katakan itu benar, bukan, Darling?" saut Zeki, dengan turut berdiri lalu tersenyum menatapku.

"Aku tidak mengingatnya! Aku tidak mengingat apa pun! Apa aku harus berkewajiban mengingat semua kejadian yang terjadi dalam hidupku-"

"Kau tidak harus, memang tidak harus. Namun, Haruki!" Izumi memotong perkataanku sambil menoleh ke arah Haruki, "apa kau ingat dengan anak perempuan berumur tiga tahun, yang duduk berjongkok di depan Ayah sambil menangis kalau dia mengingat apa yang terjadi di sekitarnya semenjak dia masih bayi. Mungkinkah aku salah mengingat?"

Aku melirik ke arah Haruki yang balas melirik ke arahku dengan tersenyum, "aku tidak mengingatnya, aku hanya mengingat saat dia dan Tsubaru saling membela mati-matian ketika kita menemukan pohon kopi. Apa kau ingat itu, Izumi? Terlihat romantis sekali bagiku saat itu," ucapnya dengan semakin semringah tatkala kedua mataku melotot ke arahnya.

"Benarkah? Aku jadi semakin penasaran, dengan kisah masa kecil dari Istriku tersebut," saut Zeki, dia kembali tersenyum saat mataku tertuju kepadanya.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang