POV Reno
Maaf'kan aku Rena yang kali ini hanya bisa melihatmu bersanding dan menikah dengan pria lain, harusnya aku yang ada di sana sembari mengucapkan ikrar cinta di depan Pak penghulu serta para saksi. Karena kau adalah milikku sebelumnya, mengapa semua ini terjadi padaku tanpa sebab akibat aku kehilangan kekasihku yang paling aku cintai di dunia ini.
Arah jalan menuju pulang kini aku lupa, singgah di sepertiga malam untuk bersabda akan keluh kesah malah hanya menjadi mimpi semata dunia nyata, menangis dalam lukisan wajah sederhana seorang wanita terindah bernama, Rena. Menjadi milik orang lain ketika aku sudah meletakkan hatiku sepenuhnya dalam ruang cintanya.
Tapi tak apa, setidaknya aku sekarang sudah lega dengan hadir di acara seserahannya dan memberikan kata selamat sembari melihat wajahnya dari dekat untuk terakhir kalinya. Semoga bahagia dan sakinah hingga menuju jannah, hanya itulah yang dapat aku berikan padamu yang telah halal menjadi istri orang lain. Dengan langkah lebar aku menuju mobil-ku yang terparkir jauh dari rumahnya, sontak aku membuka pintu dan kembali melaju dengan kendaraan yang sangat aku sayangi.
Bahkan wangimu belum hilang menempel di kursi bangku mobil tepat di samping tempat biasa aku menyetir, tetapi aku kini harus merelakan kepergianmu bersama pria jodohan orangtuamu. Pelajaran paling berharga dalam hidup ini adalah bisa melihatmu hidup bahagia meski tidak bersamaku.
Berkat kejadian pagi ini aku dapat menyimpulkan bahwa, benar kata ayah... jodoh itu Allah yang menentukan seperti apa pun perjuangan yang kita perbuat apabila belum dijodohkan semua akan sia-sia dan pergi dengan sendirinya bersama jodoh yang telah menjadi ketetapan Allah.
Dret....
Dret....Suara handphone-ku berdering berulang kali, tetapi aku tak ingin melihatnya. Barangkali itu adalah Rena yang menyesali akan sebuah perjodohan orangtuanya. 'Ah... biar'kan sajalah handphone berbunyi agar tak menambah pundi-pundi kepedihan yang aku sudah mulai untuk move-on dari hidupnya.'
Dret....
Dret....'Siapa sih, yang mengganggu aku terus?' celotehku dalam hati.
"Hallo..."
"Hallo, Ren. Ini gue Lestari."
"Hah... ada apa, Tar?" tanyaku pada Lestari yang berulang kali menelpon.
"Rena, Ren. Rena," jawabnya dengan isak tangis dan suara yang mendayu.
"Iya kenapa dengan Rena? Bukankah dia lagi bersenang-senang dan bahagia di atas penderitaan gue," ucapku dengan nada suara membentak.
"Brengsek Loe, Ren, gue cuma mau bilang kalau Rena masuk rumah sakit. Dia pingsan ketika Loe pergi dari rumanya."
"Lah terus? Bukankah di rumah itu ada orangtuanya ya, Tar? Ngapa larinya ke gue?" tanyaku dengan nada suara lembut.
"Dia enggak bangun-bangun dan keadaanya sekarat banget sekarang di rumah sakit."
"Maaf ya, Tar, itu bukan urusan gue dan Loe enggak usah bawak-bawak nama gue lagi. Bila terjadi apa-apa padanya itu sudah pilihan orangtuanya, terima kasih." Jawabku sembari mematikan telpon dari Lestari.
Maafin gue, Tar, bukan gue ingin melupakannya secepat itu akan tetapi semua peristiwa ini terjadi karena pilihan orangtuanya yang tak memberi restu untuk hubungan kami. Dan jika Rena terjadi sesuatu itu bukan urusan gue lagi serta menjadi tanggung jawab penuh orangtuanya. Pikiran ini terus tertuju pada Rena dan gue enggak bisa melupakannya, bagaimanapun juga dia adalah mantan kekasihku yang selama tiga tahun aku sayangi.
'Dasar bodoh Reno, dia itu wanita yang elo cintai dan elo juga sudah janji bakal membahagiakan dia serta menemaninya apa pun yang terjadi,' ucapku dalam hati.
Setelah aku berkata dalam hati akhirnya aku memutar balik mobilku dan kembali ke rumah sakit untuk menjenguknya, meski ini adalah hal paling sulit tetapi, kehadiranku mungkin akan meringankan beban untuknya nanti. Setelah lama berkendara aku pun sampai di depan rumah sakit tepat dimana Rena sedang di rawat, langkah kaki membawaku untuk segera berlari kencang menuju ruang pendaftaran yang banyak dipenuhi oleh bidan dan perawat.
"Maaf, Bu, saya numpang tanya. Apa ada pasien bernama Rena masuk rumah sakit ini tadi?" tanyaku dengan wajah yang bingung.
"Oh bentar saya cek dahulu, Pak, silahkan duduk," jawab suster tersebut.
"Enggak, saya menunggu di sini saja Sus!" Kataku lagi.
"Oh ya, Pak, pasien atas nama Rena baru saja tiba beberapa jam dan dia di rawat oleh Dokter tepatnya di ruang anggrek lantai dua."
"Oh terima kasih, Sus."
"Sama-sama, pak."
Aku pun segera menemui Rena yang kata Suster tersebut di rawat dalam ruangan anggrek lantai dua gedung rumah sakit ini, dengan berlari aku menaiki anak tangga untuk segera sampai ke tempat lokasi tersebut. Setelah lama menaiki anak tangga aku pun sampai juga di depan pintu ruangan rumah sakit dengan pamplet yang di sebut oleh Suster tersebut. Tetapi aku heran dengan sekitar ruangan yang tak ada satupun orang tengah berada di sana.
'Mungkin keluarganya telah pergi dan membiarkan Rena untuk beristirahat,' ucap batinku sendiri.
Setelah sampai di depan pintu, aku mengintip pasien tersebut dari balik kaca. Dan benar, itu adalah kekasihku. Rena yang telah di rawat dan terbaring dalam tempat tidur ruang gawat darurat. Seketika aku menekan kepalaku yang terasa ingin pecah, badan bergetar hebat seolah akan hancur berkeping-keping.
'Apa yang harus aku lakukan Tuhan? Apa ini adalah salahku?' batinku bertanya-tanya seolah meratap bahwa kesalahan terjadi karenaku.
Badan yang kala itu bersandar tepat di tembok rumah sakit dekat dengan pintu masuk ruangan Rena, tiba-tiba ada sebuah tangan yang menyentuhku dengan suara yang lembut.
"Ren... yang sabar ya, semua ini adalah cobaan dari Tuhan untuk umatnya."
"Eh, Elu Tar, sejak kapan Elu di sini?" tanyaku pada sahabat akrab Rena.
"Dari tadi gue di sini menunggu Rena, tetapi gue turun sebentar untuk membeli air mineral."
"Oh, bagaimana keadaan Rena?" tanyaku lagi.
"Dia enggak apa-apa, cuma syok dan depresi berat. Dokter bilang dia membutuhkan banyak darah untuk memulihkan tenaganya tetapi, sampai saat ini tidak di temukan pendonor darah. Stok darah di rumah sakit tidak sesuai dengan golongan darah Rena."
"Emang golongan darah Rena apa ya, Tar?" tanyaku.
"Tadi sih, gue denger Dokter bilang "AB" dan golongan darah itu sangat susah untuk di dapatkan."
Wajah ini merunduk mendengar pernyataan yang Lestari ucapkan barusan, aku pun termenung dan tak tahu harus berbuat apa sekarang. Dalam otakku adalah ingin melihat Rena sembuh seperti sediakala agar dia bisa hidup bahagia dengan suaminya nanti.
Namun, aku kehabisan akal untuk hal ini rasa khwatir serta bingung menyergap bersamaan dengan peristiwa yang begitu tragis."Sudahlah Ren, jangan dipikirkan lagi, bantu doa saja agar Rena lekas mendapat pendonor darah golongan AB dan bisa sehat seperti biasanya," ujar Lestari dengan menatap wajahku tajam.
"Iya, Tar, semoga saja Allah mendengar doa-doa kita untuk kesembuhan Rena," jawabku.
"Nih, minum dulu. Biar tenang pikiran Elu."
"Terima kasih, Tar."
KAMU SEDANG MEMBACA
DIKUBUR DI HARI ACARA SESERAHAN (TELAH TERBIT)
Ação( Telah terbit sebagian part sudah dihapus ) Telah dipandang dari sudut kacamata paling buram akan sebuah kebahagiaan yang terpenting dalam sebuah kehidupan. Harta menjadikan tolak ukur dari setiap pandangan seseorang yang hanya mendikte Tuhan denga...