49. Pementasan Drama

41 12 16
                                    

Dua Minggu di Bumi sudah berlalu, sejak apa yang terjadi dan apa yang aku dengar——ya, kejadian itu hanya terjadi dalam rentang dua jam saja menurut waktu Bumi. Setiap hari, aku selalu melihat sepupu-sepupuku melawan iblis. Intensitas mereka semakin meningkat setelah penyerangan. Bahkan Bang Ajun dan Kak Gita sampai harus turun tangan menanganinya. Febri tidak ikut turun tangan, mungkin karena dia sedang menjalankan misi detektif. Tapi dia masing mengajari kami di Angkasa Ketiga——aku bingung dengan caranya membagi waktu, dia masih bisa kuliah, mengurus rumah, mengajar kami, dan menjalankan misi detektif.

Iblis-iblis itu menyerang dengan gila dan sembrono, seperti tidak terorganisir. Seperti tidak memiliki, sedikitpun, rencana apa-apa. Bukankah lebih mudah membunuh seseorang dengan rencana yang matang? (Pikiran psikopat). Namun, seberapa banyak pun mereka menyerang dan mencoba membunuhku, sepupu-sepupuku selalu ada untuk mengatasinya. Dan aku belum pernah, sekalipun, meniup Peluit Emas yang pernah Febri berikan. Padahal sepertinya Tristan ingin sekali meniup peluit itu——karena membuat wajah Bang Ajun terlihat aneh.

Sabtu malah di gedung seni sekolah. Kami akan menampilkan drama untuk ujian praktek Bahasa Indonesia, yang sudah kami persiapkan selama tiga Minggu yang lalu——sedangkan kami bertiga berlatih seminggu sekali selama delapan puluh empat bulan.

Sejak tadi, Tristan diam saja. Dia terlihat aneh. Hari ini dia berkeringat sekali, dan terlihat tidak tenang.

"Kau baik-baik saja?" tanyaku. "Pementasan Drama kelompok kita urutan ketiga, dan sekarang kelompok satu sedang tampil. Kalau kau sakit, segera makan obat. Kalau kau mulas atau semacamnya, lebih baik pergi ke toilet dari sekarang."

"Aku baik-baik saja," balasnya. Sama sekali tidak terlihat santai, sampai-sampai aku bisa mendengar suara napasnya.

"Kalau begitu, biarkan saja, si Baik-baik Saja ini mengurus dirinya sendiri. Dia tidak membutuhkan bantuan kita, Aran," ujar Nova.

"Oke, oke." Tristan menutup mata dan mencoba mengatur napas. "Aku gugup."

"Apa?" tanya Nova. Kulirik Nova seakan berkata, "Apa masalahmu jika dia gugup?"

Nova mengangkat bahunya. "Aku hanya memastikan telingaku tidak salah dengar."

"Aku gugup!" ulang Tristan dengan suaranya yang tiba-tiba meninggi.

Nova meringis sambil menutup telinganya. "Aku dengar! Kau tidak perlu berteriak!"

Aku menyerahkan air minum pada Tristan. "Kau tidak biasanya gugup, kenapa sekarang kau bisa gugup?" Ini memang tidak biasanya terjadi pada Tristan. Karena dia selalu terlihat percaya diri.

"Kau ingat saat perpisahan SD?" Napasnya masih tidak teratur. "Aku tersandung sampai terjatuh ketika kita akan menampilkan persembahan terakhir. Seluruh sekolah dan orang tua ada di sana, mereka menatapku, menertawakanku, dan... itu membuatku... takut."

Aku ingat. Tristan baru menangis setelah turun dari atas panggung. Dan dia tidak berhenti menangis sampai... ——aku tidak tahu sampai kapan dia menangis, aku tidak mengikutinya sampai ke rumah, yang jelas dia masih sesenggukan saat pulang bersama papa dan mamanya.

"Bahkan di dalam kelas dan bis sekolah?" tanya Nova, sama sekali tidak ada nada simpati dalam suaranya.

"Aku masih bisa mengatasi itu!" jawab Tristan.

"Kenapa kau berteriak?" tanya Nova.

"Aku sedang gugup!"

"Lalu apa hubungannya dengan berteriak?"

"Entahlah. Mungkin bisa mengurangi rasa gugupnya."

"Tolong belikan dia cokelat," pintaku pada Nova.

Aran Alali #1: Hujan Darah IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang