"Jan! Pulang sekarang?" tanya laki-laki yang kita sebut saja Alien atau Aldebar- maksudnya Al, pada teman sekamarnya di hotel.
Laki-laki yang dipanggil 'Jan' itu menoleh dari laptop yang ditatapnya lamat-lamat. "Yah, besoklah. Sekarang, mah, udah malem."
"Yah, maksudnya itu." Al melanjutkan kegiatan beres-beres tasnya."Lo gak beli oleh-oleh buat keluarga lo?" tanyanya melihat tas Ojan yang besarnya sama ketika mereka tiba di Bandung lima hari yang lalu.
"Duit gue abis buat benerin kamera," jawab Ojan.
"Lah, bukanya adek lo nitip oleh-oleh?"
Ojan menghela napas dan menatap temannya. "Gue ini kabur dari rumah, bang. Jadi bawa duit pas-pasan. Bunda gak ngizinin gue ambil projek di Bandung."
Al menghampiri Ojan dan berkacak pinggang. "Lah, dosa lu, kagak izin sama nyokap." Ia menunjuk ke arah Ojan. "Wah sih Ojan bener-bener, nih. Awas aja jangan minta bantuan gue kalo lu gak dibolehin ambil projek jauh-jauh lagi," jelas Aldebar- maksudnya Alien.
Ojan menghela napas dan membuka handphonenya. Bahkan sebelum Si Alien itu mengomel. Sang Bunda sudah lebih dulu mengomel di sebuah voicenote yang belum ia buka. Dilihat dari besar filenya saja sudah besar. Pasti itu omelan panjang.
"Bang!" panggil Ojan.
Alien mengangkat kepala dan menaikan alis, sebagai jawaban.
"Kenapa nama lo Alien, sih. Sok misterius banget, segala pake nama-nama samaran." Ojan mendelik aneh. Tapi jika dipikir, yang lebih aneh itu dia. Kenapa mau patneran dengan makhluk jadi-jadian ini?
"Serah guelah. Mau pake nama apaan. Tere Liye aja gak pernah diprotesin. Setiap seniman itu punya ciri khasnya masing-masing," jawab Alien bangga.
"Tapi masalahnya, kenapa elu pilih nama Alien. Kan kalo Tere Liye, ada artinya. Lah, elu bang, artinya apaan?" seru Ojan yang makin gregetan pada seniornya.
"Yah, biar beda aja~" jawabnya sambil berbaring diranjang. Tenang saja mereka memesan dua ranjang yang pisah, kok.
Ojan menggeleng dan kembali fokus pada laptopnya.
"Elu ambil freelance edit foto lagi?" tanya Al yang penasaran pada kegiatan Ojan.
Ojan hanya menjawab gumaman tidak jelas.
"Seneng banget sih ngerubah foto orang jadi cakep!"
Lagi-lagi Ojan menghela napas. "Bang, ini bukan ngerubah orang. Tapi memperindah tampilan. Kan lumayan kalo satu foto di edit lima puluh ribu."
Al berdecak. "Mending gue beli seblak yang banyak itu, mah. Daripada beli jasa edit foto."
"Yah, serah lu, dah bang. Jangan ngumbar-ngumbar gaya pelit elu!"
Pluk! Tiba-tiba sebuah bantal mendarat di kepala Ojan.
.
.
."Maaf Mba, kalo mau buat konten prank. Udah izin sama manager saya?" tanya Pramuniaga itu setelah pernyataan Zulfa.
"Eh? Bu-bukan gitu, Mas!" Kali ini Zulfa terkejut dengan reaksi datar dari Pramuniaga itu.
"Maaf, Mas! Temen saya emang suka bercanda! Maafin yah!" jelas Mbak Nofita sedikit menunduk.
Pramuniaga itu hanya diam, lalu menatap Zulfa yang menunduk karena malu. Dan pergi begitu saja.
Merasa pramuniaga itu sudah pergi, Zulfa menutup wajahnya yang sudah memerah. "Astagfirullah! Aku malu!"
"Aku lebih malu, Fa. Untung gak banyak orang yang ngeliat." Nofita menghabiskan kopi dan membereskan barang-barangnya.
"Yuk, pulang daripada makin malu," ajak Nofita yang menurut Zulfa tidak membantu menghilangkan rasa malunya yang sudah mengakar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Gak Punya Mantan?
Short Story4.0 atau disebut Zaman Milenial. Hari gini belum punya mantan? Eh, tapi emang itu dosa yah? Enggak kan? Yup ini kisahku, Izza Zulfa Zunita. Di umur yang ke 21, aku gak punya mantan? Gimana mau punya mantan kalo pacaran aja belum pernah.