PELUH membanjiri kening, kipas angin disudut ruang kelas seakan tak berguna. Tubuh agak gemetar. Tatap nyalang pada tulisan dipapan tulis depan sana.
Sabila mengepalkan tangan, tahan amarah yang memuncak pada pihak sekolah yang memilih acuh perihal ketidakhadiran Wanda.
Tak ada satupun yang berniat hampiri rumah si Kayana. Anggap bahwa alamatnya terlalu jauh. Padahal mungkin karena enggan memasuki pemukiman kumuh.
Sekolahnya memang menjijikkan.
"Oi, Sabila! Nyebat gak?" Perempuan yang duduk di kursi guru itu menyahut.
Sabila tidak jawab, semakin mengepalkan tangannya. Dalam hati lontarkan sumpah serapah pada sekumpulan perempuan didepan sana.
Papan tulis yang sekarang bertuliskan; Wanda jalang, dasar murahan, Wanda pantes mati, Wanda anak haram. Pastilah ulah sekumpulan perempuan itu, Sabila kelewat hafal.
Perempuan berambut pendek itu mencibir, "Kenapa sih lo, anjing? Biasa aja dong lihatnya" Lalu hisap rokok disela jari.
"Kalian masih sering rundung Wanda?"
Perempuan itu kembali mengangguk, "Ya iyalah. Kenapa enggak? Seru. Lo aja yang aneh mendadak gak ikutan"
Sabila gigit bibirnya. Napas mulai tak teratur sebab amarah berada diambang batas. Terlanjur marah pada semesta yang tak adil--diselipi rasa kecewa pada diri sendiri.
Mengapa baru sadar jika sejahat ini?
"Berhenti. Jangan rundung Wanda lagi, Chika" Ujar Sabila.
Chika si pemilik rambut pendek tersenyum kecil, matikan rokok yang sempat dihisap kemudian berjalan hampiri tempat Sabila duduk, pilih tuk duduk diatas meja saling berhadap-hadapan.
"Kenapa?" Tanya Chika.
Sabila menatapnya tajam, "Udah cukup. Dia sakit"
Chika terkekeh, jemari beralih ke atas kepala Sabila, agak tarik surainya buat si empu mendongak. "Bagus dong. Kan lihat Wanda menderita emang tujuan kita"
"Dan Wanda udah menderita. Jadi cukup buat sakiti dia"
"Gak akan pernah, Sabila. Lagian lo kenapa sih? Mendadak kasihan? Mana Sabila yang gue kenal?"
Tubuh Sabila bergetar, tatap bengis Chika yang tersenyum remeh. "Gue bukan Sabila yang lo kenal lagi, dan gue putusin buat keluar dari perkumpulan gila ini"
Pernyataan Sabila buat kaget sekumpulan perempuan didepan tersebut, pun Chika yang membulatkan netra-nya.
"Maksud lo apa, anjing?!" Chika menggertak, tarik kencang surai Sabila.
"Gue keluar dari sini, salah? Takut gue ajak duel kalo udah bukan anggota?"
Chika menatap marah Sabila, "Lo jangan main-main sama gue?! Lo mau mati?"
Sabila tersenyum kecil, "Kenapa enggak?"
"Gila?!"
PLAK!
Satu tamparan keras mendarat di pipi Sabila. Sekumpulan perempuan didepan serempak berdiri, menatap kearah keduanya pun Chika yang berdiri dengan marah.
Sabila terkekeh, makin lama berubah jadi tawa yang begitu kencang--menggelegar diruang kelas yang hening. Semua orang menatapnya dalam diam.
Chika spontan mundur tatkala Sabila berdiri, bergerak maju mendekati.
"Gue emang udah gila. Nyesel gue ada disini, anjing"
BUGH!
Satu pukulan telak mendarat pada wajah Chika. Buat perempuan itu terjatuh dan terkejut dengan darah yang merembes keluar dari hidungnya.
"APAAN BANGET LO BANGSAT?!"
Chika menoleh kearah teman-temannya. "SERANG SABILA, WOY?!" Perintahnya.Namun, tidak ada yang bergerak. Semuanya diam sempurna, enggan beranjak. Tatapan ketakutan dilayangkan pada Sabila yang berdiri dengan aura yang begitu suram.
"Gak ada yang mau, Chika. Mereka tahu kalo gue bukan lawannya. Dan mereka juga tahu kalo lo itu lemah, buat apa nurutin perintah lo?"
Setelahnya Sabila beranjak pergi meninggalkan ruang kelas yang hanya diisi seruan tak terima dari Chika.
NAPAS Sabila memburu, tangan berusaha melindungi tubuh sendiri walau sebenarnya tidak ada gunanya. Berkali-kali ringisan keluar, tahan tangis yang meronta sebab rasa sakit yang diterima.
Tubuh dipukuli tiada henti menggunakan tongkat baseball oleh para lelaki dihadapan. Diperhatikan pula oleh Chika yang berdiri dengan senyum senang.
Ketika pulang sekolah tiba-tiba Sabila ditahan oleh beberapa lelaki, setelahnya ditarik paksa menuju daerah belakang sekolah lalu dipukuli tiada henti.
Sabila mengerti, ini semua ulah Chika. Memanggil teman-teman kakaknya untuk melukai Sabila, sebab jika Chika sendiri yang melakukan tak akan bisa.
"Cukup, bang! Jangan sampai dia mati! Gue masih mau main-main"
Chika tersenyum miring, hampiri Sabila yang terbaring tak berdaya. Lantas jongkok dihadapannya. "Enak kan, Sabila? Ini yang lo mau, iya kan?"
Sabila menatap bengis Chika, "Dasar pecundang"
Wajah Chika mengeras, kemudian ia menampar wajah Sabila kencang. "Urusan kita belum selesai. Ini awal mula dari neraka dunia buat lo. Tunggu aja, Sabila"
Sabila tersenyum kecil, "Ditunggu"
Chika menggeram kesal, pilih bangkit lantas beranjak pergi bersama dengan yang lainnya, tinggalkan Sabila sendirian dalam keadaan tak berdaya.
Detik demi detik berubah menjadi menit, Sabila sudah tak tahu berapa lama ia terbaring di daerah belakang sekolah ini. Jumantara yang sedaritadi diperhatikan mulai berubah warna, binar sang senja mulai mengintip malu, hiasi cakrawala perlahan-lahan.
"Wanda, apa ini yang lo rasa?"
Tubuh berusaha bangkit, ubah posisinya jadi duduk, menyandarkan punggung pada tembok dibelakang.
"Maaf, Wanda" Gumam Sabila.
Lantas tatkala Sabila terdiam dalam keterpurukan akibat penyesalan besar terhadap apa yang telah ia perbuat. Disaat itu pula datang figur seorang lelaki dari arah kanannya, berjalan menghampiri lalu duduk dihadapannya.
Tepuk bahunya buat Sabila tersentak kaget--segera mendongak.
"Biasanya Wanda yang disini tapi sekarang lo. Butuh bantuan?"
Dan detik itu juga Sabila sadar. Bahwa figur dihadapannya ini adalah Dhika--kakak kelasnya yang dekat dengan Wanda.
"Tolong Wanda, kak Dhika"
Menuju ending pt.3
KAMU SEDANG MEMBACA
WEIRD LOVE [✓]
Fanfiction|Re-publish| Pilu membiru, luka lama yang belum usai perlahan membusuk tatkala luka baru hadir menggores. Wanda hanya tahu, bahwa dalam hidupnya hanya ada dua rasa, perih dan pedih. Luka dan sakit. Tubuhnya ringkih, berbalut lebam yang mewarnai sem...