Selamat datang, selamat membaca.
***
Mereka duduk di jalan kecil lumbung pangan, sambil memasukkan roti ke mulut masing-masing. Helaan napas panjang terdengar menyatu dengan angin malam yang mulai mendingin.
"Zea, kita harus segera cari peta yang Tuanmu minta, dan kamu pergilah dari sini," ucap Shaq. Matanya memejam setelah mengatakan itu.
Zealire dengan roti yang masih terlihat berbentuk bulat itu menatap Shaq dari samping. "Kamu? Bagaimana bisa masih ada di tempat seperti ini?"
Yang ditanya terkikik geli, membuka mata dan balas menatap Zealire dalam. "Tidak tahu, mungkin karena takdir?"
Kini gantian Zealire yang terkikik geli, dia melahap rotinya dan berkata, "Saudaraku Jocelyn selalu bilang bahwa di dunia tidak ada kata takdir, yang ada hanya sebab-akibat."
Shaq tersenyum manis, memangku kepalanya dengan tangan agar tidak terhuyung. "Berarti berbeda, aku lebih percaya takdir. Buktinya kamu, takdirku."
Tak menunggu jeda, telinga gadis bergaun putih itu memerah. Oh tidak, dia bisa terkena serangan jantung jika begini. Mengalihkan rasa malu, Zealire melahap rotinya secara cepat.
"Kamu lucu juga. Habis ini mau mulai cari peta atau istirahat dulu?" tanya Shaq yang sudah menormalkan posisi duduknya.
Sebelum menjawab, Zealire berdeham beberapa kali. "Ekhem. Istirahat dulu saja, aku punya waktu tiga hari, kota ini juga tidak terlalu besar."
Lelaki berompi cokelat muda dan dengan dalaman kemeja itu mengangguk. "Baiklah, setelah ini kuantar kamu ke penginapan lagi. Bawa makanan yang cukup."
"Iya."
Beberapa menit kemudian, keduanya benar-benar kembali ke penginapan, setelah mengucap perpisahan, akhirnya Zealire memutuskan untuk tidur.
Saat retina mata itu terbuka, Zealire menghela napas. Tubuhnya lengket sekali. Semenit berpikir, akhirnya dia memutuskan untuk membersih diri.
Dia bukan gadis yang akan menghabiskan banyak waktu hanya untuk mandi seperti Trapesium, jadi, cukup lima menit saja.
Sekarang Zealire sibuk mengeringkan rambut sambil membuka peta yang diberikan oleh tuannya tadi pagi. Kernyitan di dahi gadis itu membuat semuanya makin aneh. "Ada di barat pulau ini?" Dia menjeda kalimatnya, "aku harus berkelilimg besok di bagian barat, dan gambar peta pulau ini."
Dia kemudian merebahkan diri di atas ranjang keras penginapan, menatap langit-langit yang catnya mulai menguning. "Apa aku bisa menyelesaikannya dengan baik?"
Memejamkan mata sebentar, sebelum akhirnya kembali berdiri, memojok ke dekat jendela. Zealire memegangi dadanya yang berdegup cepat kala langkah kaki terdengar kian dekat.
Samar, percakapan di luar pintu terdengar.
"Jadi, dia untukku?" tanya suara orang asing yang membuat pikiran Zealire semakin kacau lagi.
"Tentu saja asal berikan aku banyak uang," sahut seseorang lagi. Suara itu ... pemilik penginapan ini!
Zealire bergerak pelan, mengunci pintu dari dalam. Tangannya bergetar, rasanya takut dan tertekan. Apa yang akan dilakukan orang itu padanya?
'Klek'
"Pintu ini macet sepertinya, bisa ambilkan aku obeng?"
Zealire menghela napasnya yang sejak tadi sudah tercekat. Dia kemudian bergerak memakai gaun putih simpel dan membuka jendela. Perlahan, tetapi pasti, dengan atu lompatan dari gedung yang tak terlalu tinggi ini, Zealire sudah berada di belakang penginapan sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLEEDPOOL: ZEALIRE VURBENT [SERIES 3]
Fantasi[SUDAH TAMAT] Zealire Vurbent harus melanjutkan misi mencari peta hanya dalam waktu tiga hari. Bleedpool bukan tempat yang ramah untuk disinggahi. Perampok, bajak laut, penjarah, pembunuh, pengedar, bahkan semua jenis pelaku kejahatan ada di sana. M...