the serene agony.
Sandiwara kehidupan. Menengadah ke langit dengan senyum, mengukir gores di kotak sempit. Tenggelam dalam kegelapan berharap akan adanya uluran. Mengeluh bukan hal yang terlarang. Ingin sejenak semua terhenti, biarkan hampiri persinggahan padang luas dengan pejaman mata. Mustahil. Jantung berdetak seiring detik berjalan. Bagaimana menghadapinya?
the serene agony.
Hawa dingin tampak semakin mengusik musim gugur membuat orang-orang kian menenggelamkan diri dalam kubangan selimut. Sang surya masih belum berani mengeluarkan pendarnya tetapi bunyi ringan dari pintu yang dibuka dengan mudah membangunkan Elisabeth "Lisa" Swann karena gadis itu bukanlah seseorang dengan kebiasaan tidur yang berat. Terdengar langkah kaki mendekat dan meletakkan sesuatu dengan denting pada nakas di samping ranjangnya. Selagi Lisa masih enggan membuka mata, suara Maria yang bekerja sebagai asisten pribadinya menguar di udara mengingatkan jadwal hari ini.
"Rasanya aku ingin berhenti saja, Maria." Lisa menyandarkan dirinya di kepala ranjang. Sepasang netra membuntuti sosok Maria yang bergerak sigap membuka tirai kedua jendela besar yang kental akan unsur Renaisans. Tidak ada sahutan dalam ruangan itu. Lisa sendiri paham apa artinya. Helaan napas panjang muncul dari mulut Lisa tak lama setelah Maria keluar. Ia bangkit dan memasuki kamar mandi yang suhunya tak jauh berbeda dari ruangan tempatnya terlelap.
Paduan sweter berwarna jingga dengan rok kelam berbahan korduroi sepanjang mata kaki melekat indah di tubuhnya. Cangkir hangat yang diletakkan pada meja tidur dilalui begitu saja oleh Lisa. Ini tahun ketiga ia menempuh studi ilmu hukum di perguruan tinggi impian para pelajar Korea Selatan. Sembari mendekap beberapa dokumen, Lisa melangkahkan kakinya menuruni tangga dan berjalan sedikit tergesa melewati ruang makan dimana tiga dari enam kursi tersebut telah diduduki. Pada belakang kursi-kursi tersebut berdiri beberapa pelayan yang selalu siap memenuhi permintaan dari tuan rumah.
"Elisabeth." Lisa menghentikan geraknya, ia berbalik dan berjalan beberapa langkah yang kemudian menatap raut wajah datar Frederick Swann, sang kepala keluarga dengan tanda tanya. Genggaman pada dokumennya secara perlahan mengerat seiring menerka apa yang akan disampaikan kepadanya. "Ya, Dad?" Suara manis putri tunggal keluarga Swann itu sejalan dengan ekspresi santunnya.
"Berangkat bersama Roseanne." Frederick menunjuk Roseanne Kim yang tengah meneguk minuman dengan dagunya. Sedangkan dua presensi yang belum bersuara, masih tetap melanjutkan kegiatan mengunyah dalam diam.
Lisa memutar otaknya secara cepat, "Jungkook dapat menemaninya, Dad." Lisa melirik Jungkook Han yang sedang duduk nikmat di lingkaran damai itu, yang membalas lirik tak acuh.
Ia masih setia menunggu tetapi argumennya tak mendapat balasan apa pun selain rahang yang mengeras dari sang ayah. Maka dengan senyuman dan anggukan gadis itu pun menyetujui titah Frederick.
"Ya, Dad."
Panjangnya perjalanan diselimuti oleh suara penghangat mobil dan klakson yang sesekali saling bersahutan dari luar. Kedua orang itu bersikukuh duduk tegap berjarak dan menoleh ke arah yang berlawanan. Kehangatan mobil tidak sedikit pun melelehkan suasana dingin yang mengelilingi Elisabeth dan Roseanne.
Selepas menurunkan Roseanne di area departemen arsitektur, barulah Lisa menyamankan posisi duduknya. "Paman, nanti tidak usah menjemput. Aku akan berada di kampus sedikit lebih lama dari biasanya." ujar Lisa yang agak mencondongkan badan ke arah kursi kemudi.
Bagi Lisa, ia selalu berusaha untuk melewatkan sarapan di hunian besar itu. Selagi ada alasan yang bisa ia pakai, maka selama itu pula Lisa mengambil kesempatan untuk melewatkan sarapan yang dapat ia akali biasanya dengan alasan kegiatan seputar kampus. Lain dari sarapan, seluruh hidupnya telah dirancang oleh tangan Frederick. Frederick dan orang-orang di rumah itu tak ada bedanya dengan kumpulan patung yang terpahat dari bongkahan es.
KAMU SEDANG MEMBACA
the serene agony.
FanfictionElisabeth Swann bertahan dengan memendam sakitnya. Nihil maksud berlagak bak manusia yang paling tersakiti, tetapi kapasitas tiap jiwa tentu berbeda, bukan? Bangkit. Mencari rasa itu dengan menelusuri jalan setapak tanpa ujung. (14. 12. 21.)