Kecanggungan menyusul keheningan. Dua gadis itu tersenyum janggal, sebelum pamit meninggalkan aku dan Ara yang masih diam.
Ara menghela nafas panjang. Dia terlihat berusaha keras memasang wajah datar yang sama sekali tak berhasil
"Ra..."panggilku hati-hati
"Maaf ya kak."katanya sambil tersenyum tipis. Ara membereskan barang-barangnya, lalu memasukannya ke dalam tas. "Kita ngomongin lagunya besok aja ya."
"Tadi temen dari SMP?"
Ara mengangkat wajah. Dia menipiskan bibir sebelum mengangguk.
"Boleh tahu kenapa kamu bohong soal aku?"tanyaku hati-hati.
Ara menghela nafas. "Maaf ya kak gue harus bohong. Hm... pertemanan cewek memang kompleks"
Melihat wajahnya yang terlihat tak nyaman aku tak berani bertanya lagi.
*
Keesokan harinya aku kembali bertemu dengan Ara untuk membahas lagu dan konsep band.
Kali ini tempatnya di sebuah café di dekat kos Ara. Saat aku sampai di café yang dituju, seorang pemuda dengan hoodie abu-abu melambai ke arahku dari sudut ruangan. Ara belum terlihat dimanapun.
"Katanya lo nggak ikut?"kataku pada Theo yang kini nyengir lebar.
"Nape? Mau berduaan doang sama Ara ya lo?"
"Bukan."jawabku cepat. Aku menarik kursi didepan Theo.
"Suka kan lo sama Ara?"
Aku memilih diam daripada salah bicara.
"Gue dukung. Mumpung tu anak udah mau ngobrol sama lu. Deketin dah sono!"Theo mengibaskan tangannya.
"Nggaklah. Orang dia bilang ke temennya kalau gue kakaknya dia."
Suara Theo mengecil. "Temen? Temen yang mana?"
"Kemaren waktu gue sama Ara makan kita ketemu temennya dari sekolah lain."
Theo menyandarkan punggung. Dahinya berkerut seolah sedang berfikir keras. "Yang gue inget Ara nggak punya temen."
"Tapi kemaren tuh..."
Theo menaruh telunjuk di depan bibir, menyuruhku diam. Rupanya Ara sudah datang. Gadis itu melewati tempat dudukku, lalu menarik kursi di samping Theo.
Ara cantik seperti biasanya. Dia tampil sederhana dengan celana jeans dan hoodie hitam. Rambutnya yang panjang diurai, membingkai wajahnya yang mungil. Mata besarnya menatap Theo lalu melirikku sekilas. "Kenapa belum pada pesen?"
Theo nyengir lalu segera berdiri. "Lo mau apa?"tanyanya padaku.
"Ice americano"
"Gue matcha latte"sambung Ara sebelum Theo menjauh.
Tak lama kemudian Theo kembali dengan nampan berisi dua ice americano, satu matcha latte dan tiga potong cake. Sambil menikmati potongan cake yang dibelikan Theo, Ara memulai pembicaaran. "Gue udah cek. Pendaftaran udah dibuka minggu ini. Jadi kita harus cepet-cepet nentuin lagu yang mau dimainin, latihan, terus ngerekam video buat penyisihan awal."
"Lo milih lagu Ara yang mana Kaf?" Theo bertanya kepadaku.
"Hah? Kenapa gue yang nentuin sendiri?"
"Gue sama Jimmy mah ngikut. Kan kemaren udah dengerin lagu-lagunnya Ara."
"Nggak harus pakai lagu gue juga." Ara menyela. Dia menipiskan bibir. "Ini penyisihan awal. Lagu yang nggak bagus bakal bikin kalian langsung gagal."
"Kita bakal tetep pakai lagu lo kok." Theo menyesap ice americanonya banyak-banyak. "Pesertanya kan pelajar. Berapa banyak sih band yang bisa bikin lagu sendiri? Mainin lagu sendiri pasti nambah nilai plus."
Ara mengerutkan dahi. "Tapi lagu gue belum ada yang selesai."
"Bisa kok kita selesain. Pertama pilih dulu tracknya."Theo mengeluarkan tab dan sebuah headset. Bagian satunya dia serahkan padaku.
Kami mendengarkan ketiga lagu Ara berulang-ulang. Sesekali Theo menghentikan lagu untuk mengatakan pendapatnya tentang part bagian itu. Apa yang menurutnya bagus dan apa yang perlu diperbaiki.
Aku yang sudah lama tak belajar musik berkomentar sebisaku. Sebenarnya dari pada pengetahuan aku lebih banyak menggunakan feeling. Setelah tiga lagu diputar berkali-kali entah kenapa aku lebih suka track satu. Melodi menenangkan yang entah kenapa juga memberikan nuasa harapan. Padahal semua lagi Ara tak punya lirik. Hanya saja perasaanku berkata lagu itu ditulis oleh orang yang sedang bimbang akan sesuatu dan usahanya untuk menenangkan dirinya sendiri. Mungkin ini yang dinamakan bahasa musik.
Saat aku memberikan kesanku pada track 1, Theo menanggapi dengan serius. "Sebenernya gue lebih suka track 2, tapi gue juga suka track 1. Jadi, gue sama Ara bakal bikin liriknya dulu."
Ara menatap kami berdua dengan mata lebarnya. Dia terlihat takut.
Theo tersenyum menenangkan. "Sekarang kita tentuin dulu mau jadi gimana lagunya. Nanti gue sama Ara yang lanutin. Seminggu lagi lagunya pasti udah jadi. Terus nanti kita tinggal latihan."
Aku mengangguk mengiyakan.
*
Aku membaringkan tubuhku yang kelelahan. Setelah bertemu dengan Theo dan Ara aku melanjutkan jadwal lesku yang padat. Mengingat fakta bahwa aku sedang kelelahan harusnya aku sudah mengantuk. Waktu sudah menunjuk jam 11 malam tapi mataku sulit terpejam. Sambil menatap langit-langit kapar, kepalaku penuh dengan pertanyaan tentang Ara.
Tentang kenapa dia bersembunyi dengan bakat seperti itu, tentang dia dan temannya kemarin, dan kenapa dia berbohong. Sepertinya percuma kalau aku mencoba bertanya langsung. Harapan satu-satunya adalah menunggu Ara yang membuka mulut. Tapi itu juga mustahil. Tiba-tiba aku mendapatkan ide.
Tanganku meraih ponsel yang kuletakkan di atas lantai. Setahuku Ara tak punya social media, tapi apa salahnya mencoba mencari. Aku mengawali pencarian dari Instagram. Aku mengetikkan banyak nama, bahkan mencari di ig Theo dan Jimmy. Sayangnya nihil.
Pencarian berlanjut ke youtube. Tak hanya nama Ara aku juga mengetikkan berbagai nama kompetisi piano yang digelar untuk anak-anak beberapa tahun yang lalu. Ada beberapa yang muncul saat aku mengetikkan nama kompetisi. Bahkan ada video dari kompetisi yang pernah aku ikuti. Sayangnya tak ada satupun video milik Ara. Aku mulai ragu jangan-jangan ini karena kemampuan stalkingku yang tak pernah terasah.
Setelah lama scrolling tanpa hasil, harapan terakhirku adalah twitter. Butuh cukup banyak waktu sampai aku menemukan sesuatu. Sebuah alasan kenapa Ara meninggalkan bakatnya dan tak mau naik panggung lagi.
Lanjut ga nih?
Follow dulu yuk sebelum lanjut. Tinggalin vote juga ya....
Subscribe channelku juga ya...
KAMU SEDANG MEMBACA
ADAGIO
Teen FictionAwalnya Khafa tak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Segala hal, apalagi cinta, butuh waktu untuk tumbuh dan dirasakan. Ibarat musik semuanya harus mengalun dengan tempo yang tak terlalu cepat dan mengalun lembut (adagio). Khafa percaya...