Eight

6 1 0
                                    

Selamat datang, selamat membaca.

***

Sebuah kapal uap berhenti di dermaga. Seorang pria turun dari sana dengan tergesa. Dia diam sebentar, memperhatikan negara sepi yang dia pijaki. Dahinya berkerut, di dalam hati masih menimbang antara yakin atau tidak yakin untuk memasuki kawasan ini.

Ketika tengah berpikir, terlintas wajah seorang perempuan di benaknya. Kemudian, memori otak memutar ulang saat-saat yang telah berlalu. Pria itu terkekeh mengingat pertengkaran kecil. Dia juga tersenyum malu-malu tatkala ingat kalau dia sedang jatuh cinta dan sekarang merindu.

Akhirnya, dia memutuskan masuk ke sana. Seratus meter dari dermaga masih sepi, dua ratus sampai satu kilometer juga sama. Ranting yang jatuh, kemudian tak sengaja dia injak. Hanya suara-suara seperti itu yang dia dengar. Bahkan, suara burung satu kali pun tidak menyapa telinga.

"Dunia sudah gila. Saking takutnya mereka dengan rayap, burung pun tak mau bersuara di sini." Begitu katanya. Dia sudah tahu kalau di sini ada rayap berotak manusia. Maka dari itu, beberapa hari ini dia menghabiskan waktu berlayar ke sini untuk menjemput seseorang. Khawatir telah merengkuhnya.

Suara gesekan sepatu terdengar. Pria itu mulai waspada. Jangan sampai dia tertangkap oleh rayap raksasa. Sembari memperhatikan sekitar, dia berjalan pelan. Semaksimal mungkin meminimalisir timbulnya suara.

Dia sudah berjalan lumayan jauh, tetapi belum juga menemukan tanda-tanda adanya manusia.

"Berhenti! Siapa kamu?" Tiba-tiba suara seorang pria terdengar. Tubuhnya timbul dari balik semak. Sontak hal itu menciptakan rasa terkejut.

Dengan gugup, pria yang baru datang ini menjawab, "Te-tenang saja, aku tidak jahat. Aku Cello, dari negeri seberang."

Mendengar jawaban itu, pria yang bersembunyi di balik semak menghampiri Cello. Dia berujar, "Sungguh kamu dari negeri seberang? Beri aku bukti kalau kamu orang baik yang tidak akan menjamah negeri ini!"

Jauh dalam hati, Cello merasa jengkel. Orang di depannya sangat menyita waktu. Namun, seketika Cello berpikir; kalau dia berbuat baik kepada orang ini, siapa tahu dia cepat menemukan sang pujaan hati dan membawa pergi.

Setelah mengembuskan napas, Cello berkata, "Aku benar bukan orang jahat. Kedatanganku ke sini, ingin mencari seseorang. Kamu ... bisa periksa kapalku di dermaga. Bawa pasukanmu--para rayap itu--dan carilah apa ada barang mencurigakan di sana. Siapa juga yang ingin merampok di negeri yang dikuasai hewan ini?" Nadanya melemah di akhir.

Pria di depannya mengernyit. Pasukan? Sungguh konyol, kalau dia benar-benar menjadi pemimpin para rayap itu. Pria itu menatap Cello dengan saksama. Dari raut wajah dan tatapan mata, tidak ada kesan mencurigakan. Sama-sama butuh, dia harus bersikap baik dengan pengunjung baru ini.

Mungkin dia bisa membantuku membawa warga Sectermite pergi, batinnya.

"Karena tidak kulihat kebohongan di matamu, baik, aku percaya. Perkenalkan, namaku Woody." Woody mengulurkan tangan kanannya, langsung disambut oleh Cello. "Jadi, apa yang menjadi tujuanmu ke sini? Ah, siapa yang menjadi tujuanmu datang kemari, lebih tepatnya." Woody rasa, dia tidak perlu banyak basa-basi. Dia melihat sebuah kesempatan, tak baik disia-siakan.

Cello juga tidak bersikap waspada kepada Woody. Dia berharap besar kalau Woody bisa membantunya menemukan Freqiele.

"Aku ... aku mencari seorang perempuan di sini. Dulu dia mencari peta di negeriku, tetapi waktunya sudah habis. Mau tak mau aku berpisah dengannya di dermaga. Sebelum itu dia pernah bercerita kalau kawasan berpeta selanjutnya ada di Sectermite. Kupikir aku bisa menjemputnya." Cello mulai bercerita.

BLEEDPOOL: ZEALIRE VURBENT [SERIES 3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang