You're My Light - (Halisol)

8.8K 336 97
                                    

"Siapa yang udah selesai?" Tanya Bu Melani.

Seperti biasa Solar yang mengangkat tangannya. Namanya juga murid jenius. Apapun soalnya ia selalu bisa mengerjakannya. Benar-benar seperti tidak memiliki kelemahan saja.

Selaku kawan dan teman sebangkunya tentu saja Halilintar mendapat keuntungan. Selain Solar pendiam sama sepertinya ia juga bersedia mengajarkannya jika ada yang tidak dimengertinya.

Namun untuk kedekatan di antara empat sekawan yang salah satunya merupakan mereka berdua Halilintar lebih dekat dengan Taufan sedangkan Solar lebih dekat dengan Thorn. Meskipun begitu mereka tetaplah teman.

"Solar, ibu mau minta tolong."

Solar pun menghampiri Bu Melani.

"Mau minta tolong apa, bu?"

"Tolong ambilin tas laptop ibu di meja perpus. Ketinggalan soalnya."

"Iya, bu."

Setelah Solar keluar hujan yang tadinya hanya rintik lama-kelamaan menjadi deras namun ia tetap berjalan menyusuri lorong sekolah yang temaram karena langit yang gelap dan hanya lampu ruang kelas yang dinyalakan.

🍈

Setelah Halilintar mengumpulkan bukunya sekaligus buku Solar Bu Melani berkata. "Halilintar, bisa tolong kamu tengokin Solar nggak? Udah hampir sejam dia nggak balik-balik. Jangan-jangan dia kenapa-napa apalagi ini lagi mati lampu."

Ya, tak lama setelah Solar meninggalkan kelas satu sekolah mati lampu. Oleh karena itu sekarang para murid harus belajar sambil gelap-gelapan.

Bu Melani yang tadinya ingin mengajarkan materi berikutnya juga mengurungkan niatnya karena tidak tega muridnya harus belajar sambil gelap-gelapan seperti ini.

"Bisa, bu."

Setelah menjawab Halilintar langsung berlari menuju perpustakaan. Tadinya ia juga merasa aneh tapi setelah mendengar perkataan bu Melani ia menjadi khawatir.

Setelah Halilintar membuka pintu perpustakaan ia menyalakan senter di handphonenya karena di dalam perpustakaan benar-benar gelap gulita.

Setelah menyorot beberapa kali ke berbagai arah akhirnya ia menemukan Solar yang tengah meringkuk dengan tubuh gemetar di dekat meja.

"Ha ... Hali ...."

"Solar! Kamu kenapa?! Kamu nggak apa-apa?" Halilintar langsung menghampiri Solar dan berlutut di depannya.

Solar tidak langsung menjawab melainkan memeluk Halilintar. Membuat Halilintar sedikit kaget.

"Aku takut, Hali. Aku takut."

"Karena mati lampu? Ato ada yang apa-apain kamu?" Halilintar membalas pelukan Solar seraya mengusap kepalanya.

"Aku takut gelap, Hali."

Halilintar baru mengerti sepenuhnya. Ia mengeratkan pelukannya untuk menenangkan Solar yang masih gemetar.

"Jangan takut. Ada aku di sini. Tenang, Solar." Halilintar jadi merasa bersalah.

Seandainya ia memeriksa Solar lebih awal Solar tidak akan sampai seperti ini. Kelemahan Solar akan kegelapan ini hanya Thorn yang mengetahuinya tapi tidak ada yang bisa menolong Solar secepatnya karena Thorn tidak masuk.

Solar sudah sedikit lebih tenang meskipun masih gemetar. Meskipun usahanya berhasil menenangkan Solar namun Halilintar tetap marah pada dirinya sendiri karena bagaimanapun Solar jadi begini juga karena salahnya.

"Solar, ada aku. Aku nggak akan ninggalin kamu sendirian lagi. Nggak akan." Halilintar menggeleng tegas. "Maafin aku ya."

Tubuh Solar mulai berhenti gemetar. Pernyataan Halilintar berhasil menenangkannya sepenuhnya. Ia tersenyum seraya mengangguk pelan.

"Mulai sekarang kalo kamu mau pergi kemana-mana aku bakal nemenin kamu."

"Aku cuma takut gelap kok, Hali. Bukan takut sendirian." Solar menatap Halilintar lekat-lekat. Ia tidak mau dianggap penakut oleh Halilintar.

"Tapi kamu takut gelap-gelapan sendirian."

"Ya itu kan kalo gelap. Kalo terang mah nggak usah ditemenin."

"Berarti kalo aku yang emang mau nemenin kamu nggak boleh?"

"Boleh sih." Solar menunduk dengan wajah memerah.

Halilintar mencolek dagu Solar sambil tersenyum. Entah kenapa Solar yang tidak berdaya dan membutuhkan perlindungan seperti ini justru terlihat manis.

"Ngomong-ngomong kenapa kamu jadi mangku aku?" Solar kaget saat menyadari bahwa dirinya berada di pangkuan Halilintar.

Saat Solar memeluknya duluan Halilintar berinisiatif menempatkan Solar di pangkuannya untuk membuat posisi mereka lebih nyaman.

"Pengen aja."

"Ya udah. Yuk, balik. Kasian Bu Melani nungguin tasnya." Solar mengambil tas laptop Bu Melani di dekatnya kemudian akhirnya mereka kembali ke kelas bersama.

🍈

"Cahaya emang takut akan gelap ya." Halilintar memandang langit yang gelap selagi berjalan menyusuri lorong sekolah. "Berarti kamu takut sama aku juga dong."

"Apa hubungannya, Guntoro?" Solar mengernyitkan dahinya.

"Kan aku halilintar. Munculnya pas langitnya gelap. Berarti kamu harusnya takut sama aku juga dong." Halilintar tersenyum meledek.

"Ngapain aku takut sama kamu?" Solar menatap Halilintar intens. "Lagian Halilintar juga terbuat dari cahaya. Cahaya merah yang udah nenangin aku sampe aku nggak takut lagi." Lalu tersenyum.

"Ah, itu bukan masalah kok! Lagian tetep aja endingnya aku jadi pahlawan kesiangan kan." Halilintar memalingkan pandangannya dengan wajah memerah sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Nggak, kenyataan kalo kamu udah nolongin aku itu lebih baik dari apapun juga. Itu bukan salah kamu. Salah aku yang takut gelap kan?"

"Kamu nggak salah!" Halilintar menatap Solar dengan bersungguh-sunguh lalu kembali memalingkan pandangannya. "Kalo kamu takut lagi ... Aku bakal jadi cahaya kamu. Jadi kamu nggak akan ketakutan lagi kayak tadi. Ah, sialan. Pasti kamu geli ya dengernya?" Ia jadi malu sendiri saat mengatakan sesuatu yang terdengar seperti rayuan.

"Nggak kok. Makasih, Hali. Aku terima niat baik kamu. Tetep selalu jadi cahaya merah aku ya." Solar tersenyum.

"Senyumannya bisa nggak sih jangan silau-silau amat secerah mentari di dunia tabi. Bikin hati ikut radiasi aja." Halilintar mengusap dada untuk menenangkan jantungnya yang mulai seberisik derasnya hujan disertai petir yang menyambar.

END

CosmosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang