| Chapter 24 |
Setelah menarik napas sejenak, Caya melanjutkan, “Dan asal kalian tau, Caroline bener-bener mirip sama gue.”
Tiba-tiba saja Mala tergelak. Dia sampai menyeka air mata yang keluar. “Ya ampun, Ra, lo beneran percaya sama yang namanya ‘reinkarnasi’? Serius? Orang kayak lo percaya gituan? Gue yang nggak pinter-pinter amat, nggak percaya takhayul begitu.”
Caya mendecap sebal. Begini jadinya kalau bercerita, makanya Caya pendam hal itu sendirian. “Lo bakal langsung percaya kalau reinkarnasi itu ada begitu liat fotonya Caroline. Lo bakal nyangka itu gue, Mal.”
“Kasih tau ke kita, lo ngapain aja selama di tempat Yori?” Rajit menegakkan punggung dan menatap Caya lewat ekor matanya.
“Yori cuma kasih liat sebuah ruangan di dalem gedung tua gitu. Dia namainnya sebagai Ruang YoCa—alias Yori-Caroline. Pas masuk, gue dibuat kaget sama dinding tumbuhan yang tebel banget. Tapi, dibalik dinding itu ada ruangan yang luasnya sebesar luas kamar gue. Isinya pun cuma barang-barang punya Yori dan Caroline, terus ada sofa dan meja juga. Pokoknya lo bakal ngerasa betah di sana untuk waktu yang lama,” jelas Caya panjang lebar.
Yang lain diam mendengarnya. Agak tidak masuk akal, sih. Tapi, Gean merasa sedikit kesal karena Yori berani-beraninya mengambil kesempatan. Apalagi sampai masuk ke kamar Caya, di malam hari. Dia juga kesal pada Caya karena baru bercerita sekarang.
“Guys,” interupsinya. “Gue—“
“Punten.” Suara serak itu muncul dan memotong ucapan Gean. Ia mengetuk pintu dua kali sebelum masuk ke dalam. Sosoknya terlihat sudah berusia enam puluhan, dengan senyum yang kelewat ramah. “Hampura atuh ieu mah ngangganggu sakejap. Bapak teh ‘rek nyandak pupuk di gudang.” /(i)
“Sok atuh, Pak, candak we. Tong malu-malu kitu, ah,” ujar Gean sembari terkekeh. “Oh ya, Pak Ji, kerjanya sampai jam berapa?” /(ii)
Pria bernama Romji itu tampak berpikir sejenak. “Hm... memangnya ayeuna jam baraha?” tanyanya balik. /(iii)
Gean dibuat tertawa oleh pertanyaan Romji. Dia berdiri, lalu mengecek jam yang melingkar di tangannya. “Ayeuna jam dua, Pak.” /(iv)
“Oh, kalau begitu, saya selesai kira-kira jam tiga. Atawa bisa leuwih, kumaha beresna wae Bapak mah. Kunaon memangnya, Nak Gean?” /(v)
Kepala Gean terangguk-angguk. Dia tidak sadar kalau ketiga temannya agak kebingungan dengan percakapan yang sedang terjadi. Rajit sebenarnya mengerti, tapi tidak semuanya. Kalau Mala dan Caya hanya mengerti di beberapa suku kata yang sering didengarnya. Gean benar-benar bule yang langka.
“Teu kunanaon, kok, Pak. Gean cuma penasaran aja. Ya udah, silakan ambil pupuknya.” Gean tersenyum begitu lebar. Baginya, Pak Ji sudah seperti kakek sendiri. Terkadang Gean mencurahkan isi hatinya pada Romji jika sedang dilanda kegalauan. /(vi)
Dan biasanya Romji akan berkata, “Sikap perempuan memang seperti itu. Kita, para pria, harus bisa menyeimbangi. Namun, bukan berarti harus selalu kita yang mengalah. Sekali-kali kita perlu berkata tegas”. Gean akan merasa lebih lega setelah mendengar hal itu. Biasanya juga Gean akan duduk di teras rumah sambil memperhatikan Romji yang sibuk membersihkan halaman rumahnya, sesekali ia bertanya pada pria tua itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost History; S-156 [Book 2]✔
FantasyHilangnya Buku S-156 dari Istana membuat mereka kembali mengalami petualangan gila untuk yang kedua kalinya. |•| [The Lost Series; Book 2 : S-156] Misi untuk menemukan buku yang hilang malah membuat Caya dan teman-temannya bertemu dengan satu makhl...