🕊. ―fourty third

158 35 17
                                    

Bunyi gesekan pintu masih terdengar, padahal Seokjin sudah berusaha untuk membuka pintunya dengan hati-hati. Dia tidak mau mengganggu ketenangan istrinya yang mungkin sudah tertidur sekarang.

Seokjin sempat membuka laptopnya, memeriksa semua email masuk selama setengah jam. Lalu dia merebahkan diri di atas ranjang, di samping Sojung, sekali lagi dengan hati-hati.

Namun, saat itu juga, Seokjin tersentak. Sojung bangun―atau mungkin dia memang belum tertidur tadi. "Sayang, kok belum tidur?"

Sojung melesukan wajahnya. Dia menunjukkan raut wajah yang menunjukkan betapa menyesalnya dia. "Aku minta maaf ...."

"Minta maaf ... soal apa?" tanya Seokjin. "Kenapa kamu?"

"Minta maaf karena aku ceroboh," jawab Sojung. "Aku nggak hati-hati sampai ... sampai akhirnya kakiku luka kayak begini. Aku juga nggak sempet nanganin lukaku, malah kamu yang tadi beresin luka di kakiku."

Seokjin mendekatkan wajahnya dengan wajah sang istri. Dia menatap lekat tiap lekuk wajah istrinya. Kemudian tatapan sendu ia berikan. Dia menghela napas, sebelum akhirnya mengecup pucuk kepala istrinya. "Kamu ... udah ngelakuin yang terbaik. Sojung, aku bangga sama kamu."

"Sayang ...?" Sojung menatap suaminya bingung. "Aku nggak ngerti kamu ngomong apa."

"Selain mau berterimakasih karena kamu udah ngeprotect anak-anak hari ini dengan sangat-sangat-sangat baik, aku juga mau minta maaf ... soal sikapku belakangan-belakangan ini. I'm so sorry, Honey ...."

Sojung tersenyum dalam kedamaiannya. Dia mengangguk dengan sangat halus, kemudian kecupan kepala dari Seokjin dia dapatkan. Pelukan hangat juga dia dapatkan setelahnya. Dalam pelukan mereka, Seokjin bilang, "Aku beruntung bisa ketemu kamu, bisa jadi dosen pembimbing pribadi kamu, bisa jadi suami kamu dan ... bisa jadi Ayah dari anak kita; Hani."

"Kamu salah, aku yang beruntung dapetin kamu. Usahaku buat narik perhatian kamu dulu itu nggak sia-sia, aku bahagia hidup sama kamu sekarang," kata Sojung.

"Yakin bahagia? Nggak pernah marah, kesel, nyesel hidup bareng aku?" tanya Seokjin.

"Nyesel mungkin nggak, cuma kalau marah dan kesel ... ya kapan sih kamu nggak ngeselin? Hampir tiap hari kamu bikin aku teriak-teriak, marah-marah coba ...."

Seokjin ikut tertawa, dia makin mengeratkan pelukannya. "Aku udah pernah bilang ... kalau bikin kamu marah-marah, teriak-teriak gitu ada rasa bahagia tersendiri buat aku?"

"Nggak inget, tapi kayaknya udah," jawab Sojung. "Aku itu pengen kamu baik-baikin aku terus, manjain aku terus ... tapi, kalau kamu kayak apa yang aku bilang, kamu bukan kamu yang sekarang dong? Kehidupan rumah tangga kita juga jadi monoton―emang kayaknya enak, dimanja terus, nggak ada teriakan di rumah selain mungkin canda tawa. Tapi ... itu malah jadi buat kita gampang bosen. Makanya, jalan satu tahun pernikahan kita ini, aku udah bisa adaptasi sama sikap nyebelin kamu!"

"Oh iya," ucap Seokjin ketika mengingat sesuatu. "Minggu depan first our wedding anniversary, ya? Ya ampun ... waktu jalan secepat itu."

"Cepet darimana? Aku ngandung Hani sembilan bulan, sekarang Hani udah jalan tiga bulan, ya ... udah banyak yang kita lewatin. Itu bukan waktu yang sebentar," kata Sojung.

Seokjin tertawa. "Iya juga, ya? ―eh, udah ah. Kita tidur sekarang, nanti kalau tidur kemaleman, kita bisa kesiangan."

"Ya. Selamat malam, suamiku ...."

"Selamat malam juga, Ibu dari anakku."

Mereka tertawa dengan manis, kemudian Seokjin sekali lagi mengecup kepala Sojung dengan penuh kasih sayang. Kecupan itu menjadi penutup hari yang manis bagi Sojung, juga bagi Seokjin sebagai pasangan yang merasa diberkati.

[2] Emotions; Sowjin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang