8) Tetangga Baru

0 1 0
                                    

Pulang sekolah kali ini aku tidak sendirian. Febi ikut bersamaku ke rumah. Katanya dia kangen ibu. Mereka lumayan lama tidak bertemu, setengah tahun sepertinya ada. Herannya, apa coba yang Febi rindukan dari ibuku?

Dia dan ibu langsung cipika-cipiki begitu kami sampai di rumah—bahkan sebelum pembeli-pembeli yang baru pergi belum sepenuhnya menjauh dari sekitar rumahku—setelah aku dan Febi mencium tangan ibu. Mereka berpelukan sebentar. Aku memperhatikan mereka berbicara.

"Lama nggak ke sini makin laris aja jualan Tante," ujar Febi sambil mengedarkan pandangan ke teras.

Ibu dengan wajah tidak sombong menjawab, "Udah lama larisnya, Feb. Tante juga buka laundry, loh. Ulfa cerita nggak ke kamu?"

Febi terlihat kagum sebelum menggeleng. "Tante udah ngira. Anak itu pasti malu nyeritain kerjaan ibunya."

"Nggak gitu juga." Aku berseru tidak terima. "Masa iya semuanya mesti diceritain, sih, Bu?" Aku kira ibu bisa ramah padaku di depan orang lain, walau hanya pura-pura. Ternyata tidak ada bedanya, sama seperti saat tidak ada orang lain.

"Ya udah, kalian masuk sekarang. Febi lihat-lihat laundry nggak papa, loh, kalau mau. Kamu ambilin makanan di kulkas, Fa. Kalian makan, ya."

Aku pergi dari situ begitu saja. Febi menyempatkan diri pamit lalu mengekoriku. Dia langsung merebahkan badan begitu tiba di kamarku. Aku menaruh tasku di atas kasur lalu menyalakan kipas angin. Kuarahkan pada tubuh Febi. Aku melihat baju-bajuku yang bersih. Besar tubuhku dan tubuh Febi tidak begitu berbeda. Febi lebih kecil dariku sedikit. Aku memilih baju yang patut untuk dia pakai di luar dari segi model dan warna. Dia kan harus pulang nanti, melewati jalan yang ramai. Jadi tidak patut kalau dia memakai baju berwarna pudar atau bolong di beberaba bagian. Bajuku sungguh ada yang seperti itu.

Lima belas menit berlalu. Baju seragam kami sudah berganti baju biasa. Beberapa makanan sedikit berat dan minuman terpampang di depan kami. Belum ada yang menyentuhnya. Kami sedang bermain media sosial.

Bermain sosial media itu nikmat. Perasaanku dicampur aduk di sana. Kadang sedih waktu aku menemukan postingan menyedihkan, seperti foto kakek-kakek berjualan balon. Kadang juga tertawa karena recehan orang-orang di Twitter. Kadang baper melihat keuwuan remaja di luar sana. Pernah juga aku termotivasi oleh kata-kata bijak. Semua perasaan itu tidak bertahan lama.

"Feb, kamu ke sini mau ngapain?" Aku memutuskan bertanya. Meskipun aku sudah terhibur hanya dengan melihat isi media sosial, rasanya tidak afdal mendiamkan tamuku.

Febi tadinya tengkurap di atas kasur. Setelah berhasil duduk, dia mencomot makaroni pedas sebelum menjawab. "Aku ganggu kamu, ya? Kamu kalok mau bantuin ibumu nggak papa, kok. Aku di sini sendiri nggak papa. Aku ke sini emang cuma pingin ketemu ibumu, sama pindah tempat istirahat," jawabnya sambil menyengir.

"Nggak. Kamu ke sini sering-sering, ya? Malah enak kok aku. Soalnya Ibu nggak nyuruh-nyuruh terus." Aku bercerita betapa sibuknya aku di rumah kalau tidak ada PR dari sekolah. Serta telingaku yang andai dia punya kaki, aku yakin ia ingin melarikan diri dari kepalaku.

Febi menertawakan apesnya aku. "Tapi kamu jadi terdidik bekerja keras. Lha aku? Rebahan mulu. Kadang tuh pengen juga bisa ngapa-ngapain, selain rebahan. Tapi dasarnya aku malesan, nggak ada yang dorong aku buat kerja, kerja, kerja. Ya udah, gini jadinya." Febi mengedikkan bahunya. Mukanya cemberut sebentar lalu pudar setelah dia mengunyah makaroni pedas lumayan banyak.

Aku meletakkan handphone-ku di samping badan. Menggeliat di sore hari juga cukup nikmat. Saat otot-ototku tertarik, rasa lelah di tubuhku sedikit hilang. "Fa, kalok dilihat-lihat, Alfa lumayan caem, ya?" ujar Febi sambil beringsut mendekatkan layar handphone ke mataku.

Rupanya Febi sedang melihat-lihat postingan Instagram Alfa. "Terus?" Aku bingung.

"Sayangnya dia udah punya gebetan. Kalok aku jadiin dia target, aku jadi orang ketiga. Nggak mau, deh."

"Emang gebetan dia siapa?" Aku tidak pernah mendengar kabar tentang itu.

"Nggak tahu. Pokoknya aku denger dari temen-temen kalok dia udah punya gebetan. Kayaknya anak SMA lain," jawab Febi kembali melihat postingan Alfa. Aku ikut melihatnya. Tidak ada lagi fotonya bersama mantannya yang dia ekspos.

"Jangan percaya sesuatu cuma dari 'katanya'. Cari tahu bener-bener. Kita harus bisa nemuin kabar sebenarnya sama yang bukan. Baru boleh nentuin gimana," ujarku tegas.

Aku mengamalkan ucapanku dalam masalah pesan dari nomor tidak kukenal kemarin. Saat aku berbicara dengan Febi barusan, bahkan sebelum dia membicarakan Alfa, aku sedang bertukar chat dengan adik kelasku SMP. Dia tinggal satu RT dengan Evano, meski jarak rumah mereka cukup jauh. Dia membalas status WhatsApp-ku. Kami bertukar pesan seadanya di awal lalu kualihkan untuk bertanya tentang nomor Evano.

Dia berkata kemungkinan besar nomornya ganti. Sudah lama dia menge-chat Evano, sampai sekarang hanya centang satu. Last seen nomornya—yang sama-sama kami punya—dua bulan lalu. Aku yang tidak pernah memantau nomornya pun segera membuktikan ucapan adik kelasku. Dia tidak bohong. Aku pun sadar sudah lama aku tidak melihat pembaruan status darinya. Jantungku deg-degan.

"Ulfa! Ulfa!" Suara keras ibu memecah lamunanku dan kedamaian Febi. Kami saling tatap. Aku segera menyahut dengan suara cukup keras. Kadang ibu tidak langsung to the point kenapa dia memanggilku. Dia menungguku menyahut lalu mengatakan apa yang dia mau dariku. Oh, jangan sampai ibu tetap menyuruhku mengantarkan lauk.

"Ambilin kunci rumah sebelah di bawah kasur Ibu," ujar ibu setelah aku muncul di hadapannya.

"Yang beli rumah itu udah dateng, Bu?" Aku menyesal setelah bertanya. Ibu menyemprotku karena pertanyaan tidak penting itu. Jelasnya, buat apa ibu meminta kunci rumah itu kalau tidak karena pembelinya sudah datang. Febi sampai menatapku iba setelah disemprot ibu. Dia tampak sedikit tercekat ketika aku mengaku kalau hal seperti itu sudah biasa.

Rumah di samping rumahku dulu berpenghuni. Baru dua minggu berubah kosong karena penghuninya memutuskan menetap di rumahnya yang lain di lain kota. Supaya tidak rugi, mereka menjual rumah itu. Kuncinya diserahkan pada ayah. Selain itu, ayah juga ditugaskan mencari pembeli. Rencananya kalau sebulan tetap tidak ada yang membeli, penghuninya rela rumah itu dirobohkan daripada menjadi sarang hantu dan menghabiskan lahan. Rupanya ayahku pandai mencari pembeli.

Setelah mendapatkan kunci itu, ibu menyuruhku membawanya ke samping rumah. Aku mengajak serta Febi.

Kupikir ibu ikut melayani pendatang baru itu, ternyata dia masih sibuk melayani lima pembelinya. Aku mematung sebentar di teras rumah. Begitu tatapan ibu tiba di mataku, aku segera menarik Febi pergi sebelum aku disemprot kembali dengan kata-katanya.

UnchangedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang