Sepuluh langkah telah kulewati. Aku tiba di halaman rumah bercat merah bata itu. "Orangnya di mana?" tanya Febi sama bingungnya dengan aku. Kami curiga mereka ada di dalam mobil hitam di halaman itu. Setelah berdiskusi dengan bisik-bisik, kami memutuskan untuk menghampiri mobil itu. Belum sempat kami mendekat, pintu mobil bagian depan dibuka dari dalam. Muncul seorang laki-laki paruh baya. Rambutnya beruban sedikit di sekitar telinga. Postur tubuhnya tinggi dan besar. Wajahnya terlihat ramah.
"Bapak calon penghuni rumah ini, ya?" Aduh, mulutku terlalu terbiasa menanyakan hal-hal tidak penting. "Saya anaknya Pak Koko, ini kunci rumah baru—" Tanganku yang terulur segera ditarik oleh Febi.
"Biar kami bukakan pintunya, Pak. Bapak bawa barang-barang Bapak ke sana saja. Nanti kami bantu juga. Mari, Pak," ujar Febi. Dia menarik tanganku. Tubuhku ikut ke mana dia berjalan. Aku dan Febi kembali berdebat dengan berbisik-bisik.
Kenapa juga aku harus membukakan pintu itu? Mereka pasti bisa membukanya sendiri. Untuk apa juga Febi mengatakan mau membantu mereka mengangkati barang-barang mereka? Harapanku hari ini aku bebas dari pekerjaan apa pun, tapi Febi justru membuatnya ada.
"Mereka orang baru, loh, Fa. Kamu sebagai tetangga paling deket harusnya nunjukin kalok lingkungan baru mereka itu baik, orangnya ramah-ramah. Aku yakin kalok ibumu nggak kedatangan pembeli, dia pasti ngelakuin kayak gini juga. Mesti dia nyuruh kamu bantu-bantu. Udah, sekarang bukain habis itu kita bantu mereka. Bapak yang tadi udah jalan ke sini, tuh," ujar Febi sambil menepuk pundakku.
Tidak sampai sepuluh detik, pintu itu berhasil kubuka. Aku mendorong pintu kayu tersebut ke dalam. "Silakan masuk, Pak," ujar Febi.
Dia kembali menarikku mendekat ke mobil penghuni baru itu. Ada dua orang berdiri di dekat bagasi. Laki-laki dan perempuan. Mereka sama-sama mengeluarkan barang-barang dari bagasi. Posisi mereka membelakangiku dan Febi.
"Permisi, Ibu," ujar Febi pelan. Satu kelebihan anak ini yang aku sadari paling menonjol adalah dia bisa menempatkan ekspresi wajahnya dan nada suaranya sesuai kondisi dengan sangat apik. "Kami mau bantu-bantu pindahin barang ke rumah, kira-kira mana yang boleh kami bawa, Bu?"
Laki-laki itu berhenti menurunkan barang. Tatapannya langsung mengarah pada Febi. Dia masih muda. Sepertinya dia anak ibu dan bapak tadi.
"Enggak perlu, Dik. Kami bisa bawa sendiri. Terima kasih tadi sudah membukakan pintu. Itu sudah cukup," jawab ibu itu tersenyum. Kalau dia adalah ibuku, pasti tanpa sungkan dia menyuruhku dan Febi membawa barang-barang berat.
"Nggak apa-apa, Bu. Ini barangnya lumayan banyak. Pasti Ibu sekeluarga capek habis naik mobil dari sana ke sini." Febi berusaha meyakinkan mereka kalau kami bisa membantu. Akhirnya mereka mengizinkan kami masing-masing membawa kardus satu per satu.
Bawaan mereka lumayan banyak. Ada tiga koper yang kutebak berisi pakaian. Sisanya adalah belasan kardus entah apa isinya. Bawaan sebanyak itu ternyata belum mencangkup semua barang mereka di kontrakan lama. Aku menahan untuk geleng-geleng kepala. Kami berlima bolak-balik mengangkat kardus dan memasukkannya sampai ruang tamu. Entah sudah berjalan berapa menit, akhirnya kardus mereka masuk semua. Tinggal dua biji yang masih di luar, Febi dan ibu itu sedang mengambilnya.
Di ruang tamu kini ada aku, laki-laki sedikit beruban tadi, dan anaknya. Mmm, aku merasa kikuk di ruangan itu. Aku tidak bisa akrab pada orang baru sebelum dia memulainya. Laki-laki itu sedang memencet-mencet ponsel jadulnya. Sedangkan anaknya menatapku penuh. Aku tidak bohong! Itu yang membuatku semakin kikuk. Bahkan selama aku mengangkuti kardus tadi, tiap di situ ada aku, dia menatapku. Tatapannya seperti menerawang siapakah aku ini, kalau aku tidak salah menduga. Apesnya, aku tidak membawa handphone. Untuk menghilangkan perasaan kikuk ini aku hanya menatap pintu rumah ini.
"Uuh, akhirnya selesai juga." Untungnya Febi dan ibu itu segera datang. Perasaanku berangsur nyaman.
"Aron, kok, kamu diam saja? Siapkan minum buat gadis-gadis ini." Aku menatap remaja itu. Dia mengalihkan pandangan dariku untuk menuruti perintah ibunya.
"Duduk dulu, Dik. Minum air putih enggak papa, ya? Kami cuma punya itu sekarang. Udah gitu air putih kemasan, tapi masih baru, kok. Belum ada yang sentuh." Ibu itu menyunggikan senyum. Dia dan suaminya duduk setelah Febi duduk.
Remaja bernama Aron itu muncul di ruang tamu tidak lama kemudian. Dia menurunkan gelas atom berisi air bening dari nampan ke meja ruang tamu lalu duduk berseberangan denganku. "Terima kasih, Dik, udah bantuin kami sore ini." Itu yang kepala keluarga mereka katakan sebelum menyuruh kami meneguk air putih.
"Omong-omong rumah ini lumayan bersih, apa setiap hari dibersihkan?" Wanita itu menatap Febi.
Aku merasa ada yang salah dengan pertanyaan iu. Seharusnya wanita itu menanyaiku. Rupanya dia salah menduga. Dia mengira Febi adalah anak Pak Koko karena dia yang banyak berinisiatif membantu mereka. Febi mengatakan kalau aku tidak begitu luwes ketika bertemu orang baru, yang aku pikir dia tidak perlu mengatakannya. Keluarga itu berterima kasih lagi, kali ini khusus padaku dan Lala yang sudah membersihkan rumah ini setiap hari.
Mereka tidak tahu saja betapa terpaksanya aku dan Lala melakukannya.
Kami pun saling berkenalan. Aku yang mengenalkan diri pertama hanya menyebutkan nama pendekku, umur, dan pendidikanku saat ini. Kupikir respon mereka hanya mengangguk-angguk. "Nama panjangmu Adinda Ulfa?" Rupanya ada yang menanggapi lebih dari sekedar anggukan. Tanggapan itu datang dari Aron.
Aku sempat bingung, jadi mataku melirik-lirik ke arah lain. Ada ekspresi kebingungan juga di wajah orang tua Aron. Senggolan tangan Febi membuatku tersadar kalau aku masih mengabaikan pertanyaannya.
Aku jelas mengiakan, lalu menambahi Pranindya di belakang. Raut muka Aron berubah bingung tidak tahu kenapa. Dia menatap ibu dan ayahnya. Mereka hanya diam, ibunya berdehem sedikit. Perkenalan pun berlanjut sampai aku tahu nama mereka. Pak Darma, Bu Beti, dan Aron. Remaja itu sedang menempuh kuliah jurusan pendidikan di salah satu universitas negeri di kotaku. Sekarang dia berada di semester tiga.
***
"Gila! Dia udah tahu aja nama panjangmu." Aku dan Febi sudah keluar dari area rumah itu.
Aku awalnya juga bingung, kok dia bisa tahu nama panjangku? Akhirnya aku ingat kalau ayahlah yang menemukan keluarga itu, jadi mungkin ayah mengenalkan keluarganya pada mereka. Tidak perlu ada yang dibingungkan lagi menurutku. Tatapannya selama tadi aku anggap tidak pernah ada. Dia mungkin merasa tidak asing dengan wajahku. Aku sedikit sedih karena tahu wajahku sepertinya pasaran.
Bukan Febi namanya kalau tidak melebih-lebihkan sesuatu yang biasa saja. Dia bilang, "Aku selama bantuin tadi ngelihatin Kak Aron, tahu! Dia ganteng, lumayanlah buat ukuran orang Indonesia. Tapi kamu tahu nggak? Dia malah lihatin kamu terus nggak ada hentinya. Jangan-jangan dia jatuh cinta sama kamu pada pandangan pertama." Matanya melebar sepanjang berbicara. Dia menutup mulutnya di akhir kalimatnya dengan tatapan menggoda.
Aku mengacuhkan ucapannya, meski ucapannya membuatku merasa aneh. Jadi, ketika dia menatapku, itu bukan sekedar perasaanku saja. Aku mendengkus. Dalam hati aku berkomentar. Emangnya kalok ngelihatin terus itu tanda cinta? Receh banget.
"Omong-omong, Fa. Kamu bisa loh jadiin dia orang baru di hatimu," ujar Febi yang lagi-lagi kuacuhkan. Sedikit kuacuhkan tepatnya, karena saat aku mengantarnya ke kamarku, kalimat itu melompat-lompat di pikiranku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unchanged
Novela JuvenilTiga tahun bukanlah waktu yang singkat. Ulfa pun tidak habis pikir, bagaimana bisa dia belum move dari Evano, teman SMP-nya, padahal sudah selama itu? Atas keputusasaannya, dia mencoba cara baru untuk move on darinya. "Cari yang baru, berusaha lupai...