Lemari Tua

50 11 2
                                    

Pagi yang cerah seperti biasa. Kicau burung di atap-atap, deru mesin roda dua yang menggebu dari tempat parkir, serta obrolan gosip para siswa menjadi pemanis mengawali hari.

"Ngomong-ngomong, sebentar lagi ada 'ujian pecundang' ya? Menurutmu aku bakal terpilih?"

"Aduh, mana mungkin. Semua orang juga tahu reputasimu sebagai siswa terkuat di sekolah ini. Takkan ada yang berani menyentuhmu."

"Benar sekali. Lagipula, kelas kita sudah punya kandidat sendiri."

Ketiga siswa itu serentak menoleh ke belakang, ke arahku. Mereka tertawa keras. Aku mempercepat langkahku seolah tidak mendengar apapun. Menyebalkan sekali. Aku bukan pecundang! Aku populer di kalangan murid di sekolah, sering dipuji guru, juga mendapat peringkat terbaik di sekolah. Bagian manaku yang pecundang?

"Menurutmu aku pecundang?"

"Ha? Siapa yang bilang? Kamu keren begini kok."

Aku menghela napas, lalu tersenyum. Entah jujur atau tidak, ucapan Rika barusan sudah cukup membuatku senang. Rika memang teman baikku. Dia seringkali menemaniku—si bocah cupu yang hobi menghabiskan waktu di ruang musik setiap pulang sekolah untuk bermain piano. Padahal dia tahu kalau ruangan ini terkenal angker, namun tetap berani mengikutiku kemari.

"Kamu tidak bosan melihatku terus?"

"Tidak juga. Menontoni permainan pianomu jauh lebih menarik ketimbang diajak pergi bermain oleh teman-teman yang lain. Hanya menghabiskan uang dan tenaga saja. Lagipula lagu-lagumu sangat indah, bagaimana mungkin aku bosan?"

Pipiku memerah. Oh, kuharap dia tidak melihatnya.

"Tapi seingatku kamu les hari ini. Sedang libur?"

"Les?", Rika memiringkan kepala, mengingat-ingat. "Oh, aku lupa! Maaf ya, Neru. Aku harus pergi."

Rika buru-buru menyambar tasnya dan keluar dari ruangan. Aku menertawakannya. Ekspresinya begitu lugu tadi.

Tawaku hanya bertahan sebentar begitu kusadari diriku sendirian. Aku mencebik ke belakang, melihat lemari besi tua di pojokan ruangan yang pintunya sedikit terbuka. Tepatnya benda itulah yang menjadi penyebab keangkeran ruang music, setelah seorang siswi ditemukan tewas di dalamnya dua puluh tahun yang lalu. Gadis malang itu ditemukan meninggal kelaparan dalam posisi memeluk lutut. Tidak ada yang tahu bagaimana gadis itu bisa terkunci di sana, sehingga kisahnya pun menjadi urban legend di sekolah ini.

Aku menggeleng, menepis rasa takut. Kalaupun ruangan ini berhantu, dia takkan muncul siang-siang dan mengganggu anak baik-baik sepertiku.

Aku melemaskan jari, mulai menekan tuts piano. Satu persatu nada mengalun merangkai melodi dari lagu Fur Elise. Setelah selesai, aku berganti memainkan lagu lainnya. Gymnopedie no 1, Air on the G String, dan lagu-lagu lainnya. Aku memang menyukai lagu-lagu piano. Musik tanpa lirik selalu terdengar jujur bagiku, berbeda dengan lagu-lagu biasa yang liriknya kadang lebay dan terdengar dusta. Seperti duniaku sekarang. Dunia dimana aku menjadi pusat perhatian yang dihujani pujian guru serta keramahan para murid yang hanya mencari muka agar aku memberi contekan.

Sebagaimana suasana hatiku berubah, jemariku pun berganti memainkan lagu ost anime kesukaanku: Moonlight Night. Nada-nada melankolis mengalir. Aku terbawa suasana, membayangkan diri sebagai ratu ice skating yang meluahkan seluruh hasratnya dengan meluncur gemulai di atas es. Begitu bebas layaknya kanvas kosong.

Seandainya kanvas itu duniaku, dan akulah senimannya.

"Hoi cupu!", terdengar sorakan bersama suara pintu dibanting. Lamunanku buyar seketika.

"Bukankah sudah kuingatkan kau agar menjauhi Rika? Dia itu milikku!"

Aku menoleh sedikit, antara enggan dan terintimidasi akibat kedatangan Roy bersama para bawahannya. Namun sepertinya Roy menafsirkan itu sebagai tantangan karena ia langsung mendaratkan tinjunya tepat di ulu hatiku.

BaurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang