Perhentian Terakhir (1)

54 10 0
                                    


Hawa dingin malam bertiup menembus kisi jendela kaca. Bangku-bangku beralaskan kayu itu berayun pelan selagi gerbong melaju. Satu-dua kali desingan uap nan nyaring terdengar dari luar. Kereta itu begitu tenang, hanya beberapa penumpang yang bercakap santai sementara sisanya lebih banyak melamun. Seperti gadis yang duduk sendiri di kursi terujung gerbong tersebut.

"Permisi, Dik. Sebentar lagi kita sampai di stasiun", seorang petugas kereta menegurnya. Gadis itu bergeming. Di balik wajahnya yang serba datar itu, tersimpan sekelumit pemikiran yang membuatnya merasa hampa.

Sang petugas berdiam sejenak. Ia menatap nanar, menyadari sesuatu.

"Dik . . . kamu tidak ingin turun?"

Mata gadis itu berkedut samar. Ia menoleh ke arah jendela, berhadap-hadapan dengan kaca gelap yang hanya bisa memantulkan bayangan wajahnya nan buram. Sepasang mata cokelat itu tampak tak bernyawa.

***

Namanya Arunika. Umurnya 18 tahun. Tidak ada hal yang spesial dalam hidupnya. Selain ketiadaan kehadiran ibu, ia tidak pernah menghadapi masalah serius. Ayahnya orang yang beranggung jawab. Kakak dan adik laki-lakinya tidak pernah berulah. Teman? Yah, ini sedikit masalah karena enam tahunnya di smp dan sma adalah masa-masa yang sangat sepi. Arunika terlalu pendiam dan "patuh", ia bersekolah hanya demi melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi tanpa ekspektasi apapun. Orang-orang menanggapnya terlalu membosankan hingga ia sempat berakhir dua tahun lebih tanpa teman sebangku di sudut belakang kelas. Syukurlah, perguruan tinggi memberinya kesempatan untuk membangun imej baru. Ia bertahan dengan baik selama satu tahun.

Namun, hari ini, ia terpikir untuk mati.

Layaknya letupan gelembung dari dasar samudra, pikiran itu terbesit begitu saja di tengah lamunan tanpa akhir saat Arunika menyusuri trotoar. Toko-toko di sisi kiri dan kanan nyaris semua sudah tutup, meninggalkannya sendiri di bawah pendar kekuningan lampu jalanan. Tidak ada manusia yang terlihat, kecuali yang melintas dengan kendaraannya yang berdesing memecah kesunyian. Arunika sengaja berjalan kaki alih-alih memakai transportasi umum.

Kenapa Arunika ingin mati?

Entahlah, ia juga heran. Tidak ada alasan kuat baginya untuk meninggalkan paksa dunia ini. Kehidupan di kampus sangatlah stabil. Belajar, membuat tugas, pulang ke kos, belajar lagi, kuliah lagi, begitu seterusnya. Sebagai penerima beasiswa, ia juga tidak perlu merisaukan keuangan, kecuali ketika ada tugas portofolio yang tebalnya minta ampun ataupun bahan praktikum yang tidak masuk akal. Tidak ada masalah berarti dalam hidupnya. Teman-teman dan senior baik kepadanya. Walau tidak ada yang bisa begitu akrab untuk diceritai kisah pribadi, tapi setidaknya ia tidak dikucilkan. Ia mengerjakan perintah dosen dengan baik, tidak ada pula masalah nilai.

Namun, entah mengapa, rasanya kosong.

Arunika menyadari satu hal saat memperhatikan raut wajah teman-temannya. Mereka sering tertawa tulus, tawa bahagia. Arunika juga ingin tertawa sebanyak itu, namun hidupnya kekurangan bahan untuk ditertawakan kecuali pada beberapa momen memalukan. Ia pun mulai membandingkan hidupnya dengan teman-temannya. Tapi, dibandingkan siapapun yang ia kenal, hidup Arunika jauh lebih stabil. Bukankah itu berarti ia baik-baik saja? Apa yang salah?

Keganjilan itu mengubah tanda tanya di hati Arunika menjadi sebuah lubang. Rongga kosong yang seakan menantinya untuk melompat ke dalam sana. Dan disinilah Arunika sekarang, iseng memikirkan skenario seandainya ia memantapkan hati untuk mati.

Minum racun? Ah tidak, racun terlalu lamban untuk membunuh. Melompat ke jalan? Arunika menoleh ke arah mobil yang melintas, lalu menggeleng. Tidak ada jaminan ia akan mati seketika atau malah menjadi cacat seumur hidup. Lalu apa . . . ?

BaurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang