13. KYURARA.

62 9 0
                                    

Judul lagu multimedia : Gnus Cello - Fix You by Coldplay.

***********

Tes berjalan dengan lancar, Bryan juga terus menemaniku dalam setiap prosedurnya. Sesudahnya dia mengajakku pergi ke suatu tempat. Sebuah gedung yang aku ketahui sebagai Akademi musik ternama di Ibukota.

"Bagian yang ini sedang sepi karena ada pertunjukan di Hall utama" tukasnya sewaktu kami memasuki sebuah ruangan lebih kecil dan terletak di lantai tiga gedung.

Ketika aku melangkah masuk, bisa ku lihat sebuah grand piano diletakkan tepat di tengah-tengah podium. Deretan bangku berkursi kulit ditata rapi sedemikian rupa membentuk empat baris di sekitar panggungnya. Kemudian  ada sebuah cello disandarkan disamping bangku besi .

Bryan melangkah mendahuluiku, lalu mengambil tempat yang paling dekat dengan sisi kanan panggung.

"Kita, untuk apa ke sini?" tanyaku. Masih tidak bisa mengalihkan pandangan dari cello di sana.

"Bermainlah untukku" katanya tegas.

"Apa?".

Terkejut, berjalan mendekatinya.

"Bermainlah Rara. Biasanya pemusik selalu melampiaskan seluruh emosinya dalam berbagai kondisi dengan bermain musik bukan? Jadi, tolong lakukan saja hal itu. Kalau bukan untukku, buat dirimu sendiri".

Aku terpaku. Menatap lurus tepat ke dalam kedua bola mata biru jernihnya. Dan dia benar. Entah sejak kapan aku melupakan fakta siapa diriku yang sesungguhnya.

Menelan saliva. Memandanginya dan panggung bergantian. Menarik nafas satu kali lantas mulai menaiki undakan tangga menuju atas podium. Kedua tanganku cello itu memang tidak mirip seperti milikku yang kini berada di dalam tas besar di kamar Bryan, namun cukup mendekati.

Aku segera meraih alat musik tersebut dan mengambil posisi.

"Mainkan lagu apa saja yang ingin kamu mau" kata Bryan. Diikuti seulas senyum. Dan menyebalkan nya sangat tampan. 

Memejamkan mata, aku bahkan tak perlu berpikir untuk memainkan lagu apa, sebab tanganku mulai bergerak dengan sendirinya.

Not demi not seakan berputar di dalam kepalaku. Badanku bergerak perlahan ke depan dan belakang mengikuti lantunan ritme juga musik. Rasanya aku begitu lepas, bebas, saat berada di atas panggung seperti sekarang dan melakukan apa yang kusukai serta menjadi keahlian ku. 

Hatiku ikut melantunkan setiap lirik dari bait lagu Coldplay berjudul Fix You. Ini adalah lagu favorit mama di dunia, dan entah sejak kapan juga menjadi lagu kesukaanku.

Dulu, aku pernah punya mimpi. Memainkan lagu ini di hari pernikahanku sendiri. Membayangkan kalau kak Aoshi akan berdiri di dekatku, senyum cemerlang menghiasi wajah tampannya, dan dia menatapku dengan sorot bangga sekaligus penuh cinta.

Aku juga sempat memainkan lagu ini pada acara Festival Internasional Musik di Dublin, 5 tahun lalu. Kemudian memainkannya di setiap momen yang bisa kudapatkan.

Lagu ini mewakili perasaanku saat ini. Kesedihan mendalam, putus asa, pencarian, dan juga, keinginan untuk selalu dicintai.

Sekarang aku sudah mulai memasuki puncak reff. Sedikit lagi akan selesai. Akan tetapi....

....wajahnya secara ajaib muncul dalam benakku.

Senyumannya. Tawanya. Ekspresi merajuknya. Semuanya.

Kedua netraku membuka tepat saat tanganku memainkan gesekan bait terakhir.

Nafasku terengah-engah, dadaku naik turun. Dan Bryan berdiri di sana. Di tempatnya. Bibirnya mengembangkan senyum amat lebar. Sambil bertepuk tangan keras sekali.

Saat itulah aku menyadari segalanya. Perasaan yang amat ku benci, tapi bakal membuatku tersiksa jika aku terus menerus memendamnya.

Mama selalu berkata padaku, rasa cinta harus ditunjukkan bukannya ditutupi.

Kalimatnya bergaung saat ini dal kepalaku. Jadi itulah yang kulakukan detik berikutnya.

Menyandarkan cello pada kursi. Lantas berlari menuruni panggung menuju tempatnya sedang berdiri.

"Bryan ada sesuatu yang harus ku katakan padamu".

Dia tampak kaget. Mulutnya membuka ingin mengatakan sesuatu namun satu tanganku terangkat ke atas memintanya untuk diam. Bryan segera mengatupkan bibirnya lagi.

Lantas. Semua keluar begitu saja dari mulutku. Soal Aurelia. Tentang penderitaannya selama ini. Cerita masa laluku dengannya, bagaimana akhirnya aku bisa terjebak pada dirinya.

Aurelia adalah sahabatku. Dan dia sudah merelakan kakinya demi menyelamatkanku. Menolong masa depanku. Sejak saat itu aku memutuskan untuk 'berbakti' padanya dalam rangka membalas hutang budi yang ku miliki.

Lalu Bryan datang. Bryan Contramande. Mantan kekasih Aurelia yang telah meninggalkan wanita malang itu di saat sahabatku paling membutuhkan. Ausie, nama panggilan wanita itu, berkata, kalau alasan Bryan pergi darinya karena dia sudah cacat. Tak berguna. Tidak sempurna lagi.

Aku merasa begitu marah pada Bryan saat itu. Namun sesungguhnya aku paling membenci diriku sendiri.

"Kamu pernah bertanya padaku bukan, sepertinya aku membencimu jauh sebelum pertemuan pertama kita. Ya kita memang pernah bertemu sebelumnya. Di rumah sakit St. Yosephine New York, tempat Ausie dirawat. Dulu aku tidak seperti Kyurara yang sekarang. Aku dulu masih memakai kawat gigi, berkacamata, juga tidak tahu bagaimana cara merawat diri. Wajar kalah kamu tidak mengenaliku. Tapi sialnya aku selalu mengingatmu. Sebagai mantan pacar brengsek dari sahabatku sendiri. Oleh sebab itu aku...".

Mendongakkan kepala, netra kami bertemu.

"Aku berkata jujur sekarang sebab tidak ingin kamu akhirnya tahu dari orang lain. Setelah apa yang kamu lakukan padaku juga keluargaku, rasanya sungguh tidak adil. Dan ya Ausie memang memintaku untuk membalas dendam kepadamu atas perlakuan mu padanya dulu. Tapi sialnya aku tidak bisa!".

Oh astaga apa yang sedang ku katakan.

Lebih tepatnya, apa yang telah ku perbuat. Bagaimana bisa aku bagai ember bocor seperti sekarang. Menceritakan segalanya pada seorang Bryan Contramande! Mengkhianati sahabatku sendiri.

"Dan kenapa begitu?" tanya Bryan. "Mengapa akhirnya kamu menceritakan hal ini kepadaku. Sekarang. Kenapa tidak nanti saja? Atau kamu tutup mata dan melakukan permintaannya seperti yang seharusnya".

Suaranya terdengar tenang. Bahkan ekspresinya juga. Aku melihat tepat ke dalam matanya, dan herannya tidak kutemukan penghakiman buatku. Di dalam sana.

Untuk seseorang yang baru saja mengetahui fakta seperti ini, dia terbilang sangat santai.

"Aku...." Aku kehabisan kata-kata.
"Aku tidak tahu" bahuku merosot seketika.

Bryan melemparkan seulas seringai miring. "Kurasa Rara, kamu tahu jawabannya, tapi kamu sedang menolak untuk mengakuinya saja".

Pria itu meletakkan kedua tangannya di atas bahuku, meremasnya lembut. Satu jemarinya menyentuh daguku dengan penuh kelembutan. Membawa netraku hingga beradu dengan miliknya.

Lalu. Segalanya terjadi begitu saja. Secepat kedipan mata.

Bryan Contramande menarik ku ke dalam dekapannya. Membungkukkan badan, ia lantas mendaratkan bibirnya. Ke atas bibirku.

#############

[COMPLETED] CONTRAMANDE FIGHT! :#03.CONTRAMANDE SERIES(BRYAN STORY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang