"Lo beneran putus sama si Hana?" Tanya Putra pada Gibran, cowok itu hanya mengangguk sambil sibuk mengatur kunci gitarnya.
Arsen dan Guntur yang tengah bermain catur itu menoleh kemudian saling tatap. Sedangkan Rangga tengah bergabung dengan anak Radarsta lainnya. Mereka saat ini tengah berada di Babeh, tongkrongan Radarsta sekaligus markas mereka. Sebuah warung kecil yang kini malah dimodifikasi oleh anak Radarsta, membuat nya lebih agak besar untuk tempat mereka bersantai. Tenang saja karena sang pemilik warung sudah mengizinkan nya, malah pria yang selalu disebut Babeh itu merasa terbantu.
Babeh sendiri letaknya tidak terlalu jauh dari Sma Gardapati. Bahkan jika bolos berjamaah, anak Radarsta pasti larinya ke Babeh. Aman, nyaman dan strategis.
"Beh, kopi nya satu" ucap Rangga, beberapa menit kemudian ia kini bergabung dengan keempat sahabatnya dan duduk sebelah Gibran sambil membawa segelas kopi hangat ditangan nya.
"Kenapa putus?" akhirnya pertanyaan mereka terwakilkan oleh Rangga.
Gibran meletakkan gitar nya kemudian mengambil sebuah pemantik juga benda kecil yang mengandung nikotin itu dimeja. Ia menyesap rokok nya kemudian menghembuskan asap dari bibir tebalnya ke udara.
Ini sudah tidak asing bagi anak Radarsta --termasuk kelima cees itu-- mereka sering merokok namun masih dalam batas wajar. Minuman club juga sering mereka cicipi, meskipun nantinya akan dihajar habis habisan oleh Guntur. Ya, pemimpin geng besar sekolahnya itu membenci benda tersebut.
Pernah waktu itu Rangga kebablasan minum sampai mabuk dan berakhir babak belur oleh Guntur juga Gibran karena ia hampir saja melakukan pelecehan pada anak orang. Tolong garis bawahi, hampir. Dan dari kejadian itu mereka berempat mengurangi kebiasaan buruk mereka lalu Guntur benar benar mengawasi seluruh anggota nya.
"Gua rasa lebih nyaman kita temenan aja"
"Apa karena Bintang?" tanya Arsen, Gibran menggeleng sambil menatap Guntur sekilas
"Justru karena dia gua jadian sama Hana"
"Pantesan, akhir akhir ini gua liat dia agak murung" ucap Rangga, cowok itu cukup paham akan gelagat wanita yang telah menjadi mantan sahabatnya ini.
"Siapa yang mutusin?" Gibran menghela nafas sambil menyunggingkan bibir nya. Pertanyaan Putra adalah pertanyaan yang selama ini ia hindari.
Cowok itu terkekeh yang membuat para sahabat nya menatap dirinya aneh, "Gua gatau.."
"Loh kok gitu anjeng?!" kesal Arsen.
"Udahlah.. gua gamau bahas dia lagi," putus Gibran yang membuat para sahabatnya mengangguk mengerti.
***
Dering handphone dengan volume tinggi membuat Gibran terperanjat kaget yang tengah menikmati mimpinya di siang bolong. Kesal dengan sang penelepon ia mematikan benda tipis itu tanpa berniat mengangkatnya, cowok itu bangun duduk sambil mengucek matanya dan melihat sekitar mesjid yang terlihat sepi.
Sehabis shalat Jum'at, Gibran selalu melalukan kebiasaannya yaitu tidur siang dalam mesjid yang letaknya tidak jauh dari sekolah. Sangat sunyi dan adem ayem. Biasanya ia selalu bersama Arsen atau Rangga, namun sepertinya kedua kedua bocah itu sekarang sudah pergi duluan.
"Gak diangakat, kebo-able emang ni bocah" keluh Arsen kesal ketika beberapa kali Gibran tidak mengangkat telepon nya.
"Coba sama lu sendiri, Tur" saran Putra.
Disisi lain Gibran yang tengah bengong menatap jarum jam mesjid itu terkaget lagi ketika handphone nya kembali bunyi. Mungkin besok-besok lagi ia akan mengganti nada deringnya menjadi Nina Bobo. Agar jika seseorang menelepon dirinya yang tengah tertidur akan membuatnya semakin nyenyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHAYA GIBRAN - 01
Teen FictionAthaya Zevanny, gadis yang selalu membuka lebar hatinya untuk laki-laki labil yang menyebalkan. Sejauh apapun Gibran pergi, ia akan selalu pulang pada sosok yang selalu ada dalam pelukannya. Mendekapnya erat tak akan melepasnya lagi, menggenggam t...