🕊. ―fourty seventh

205 37 46
                                    

"SEOKJIN!"

Wanita baya itu datang bersama tas yang digenggamnya. Matanya berapi-api saat melihat apa yang baru saja terjadi di hadapannya. Beliau mendekat, dia berdiri di samping menantunya. Wanita itu memerhatikan baik-baik keduabelah pipi Sojung.

Matanya makin melebar saat tahu pipi Sojung memerah. "Berapa kali Seokjin nampar kamu?" tanya Ibu Seokjin tegas. "Bilang sama Ibu!"

Sojung tak menjawab, dia menangis. "Maafin Sojung, Bu." Karena merasa tak kuat lagi, Sojung akhirnya berlari meninggalkan Seokjin dan Ibunya di tempat. Seolah tak peduli akan kelanjutannya, Sojung pergi meninggalkan rumah sakit.

PLAK!

"Seberapa sering kamu nampar Sojung kayak gitu, HAH?" Ibu Seokjin berkata dengan api marahnya. "SEBERAPA SERING KAMU NAMPAR SOJUNG WAKTU KALIAN BERDUA BERANTEM? JAWAB IBU!"

"Ini pertama kalinya, Bu. Sojung keterlaluan―"

"KAMU YANG KETERLALUAN!" potong Ibu Seokjin. "Istrimu ... kamu tampar sampe memar kayak gitu. MAU BILANG APA KAMU KE ORANG TUANYA KALAU MEREKA TAU ANAKNYA KAYAK GITU SAMA KAMU? MAU BILANG APA KAMU, HAH?"

Seokjin mendesah napas gusar. "Bu, ini urusan rumah tangga saya. Tolong jangan ikut campur."

"Kamu pikir Ibu bakal nurut? Nggak! Ibu jelas akan ikut campur. IBU NGGAK PERNAH TERIMA KALAU PEREMPUAN DIANIAYA SAMA PASANGANNYA SENDIRI. Apalagi ... pelakunya itu anak Ibu. IBU NGGAK AKAN PERNAH BISA TERIMA!"

"Saya marah punya alasan, Bu. Kesabaran saya habis, Sojung selalu ngelawan saya," curah Seokjin.

Ibu Seokjin meraih tangan kanan Seokjin, kemudian memukul-mukulnya dengan gusar. "Tangan kamu ... seringan ini, sampai-sampai kamu tega nampar Sojung? Suami macam apa kamu ini, Seokjin? SUAMI MACAM APA? Ibu tau gimana Sojung, Ibunya juga udah banyak cerita gimana sifat Sojung ... dan Ibu rasa, kesalahan yang mungkin dilakukan Sojung tetap nggak sebanding dengan tamparan kamu."

Seokjin menarik tangannya kembali, kemudian menarik rambutnya ke belakang. Dia mendesah penuh penyesalan. Astaga. Apa yang telah dia lakukan?

"Saya ... saya harus susul Sojung, Bu," kata Seokjin sambil menatap wajah Ibunya yang matanya berair. "Saya harus pastiin Sojung nggak kenapa-napa. Saya minta maaf, karena mungkin Ibu kecewa hari ini. Lain kali kita bicara lagi, saya harus pergi sekarang."

Seokjin berlari dengan cepat menuju parkiran. Dia memasang helmnya, lalu mengendarai motornya secepat yang ia bisa.

Dia memang tak tahu kemana Sojung pergi. Tapi paling tidak, dia harus datang ke rumahnya lebih dulu. Barangkali Sojung memang pergi untuk pulang, menenangkan dirinya.

― ♡ ―

Matanya sembab akibat banyak air mata yang terbuang. Bahunya dia sandarkan pada kepala ranjang. Matanya menatap ke arah depan, dengan pandangan kosong. Beban di bahunya terlampau berat. Dia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang.

Saat pintu kamarnya terbuka, wanita itu sama sekali tak mengindahkan hal itu. Dia masih menatap ke depan, dengan pandangan kosong. Pikirannya pun tak memikirkan apa-apa lagi. Seolah sudah mati rasa akan segala hal.

"Sojung, maafin aku ...."

Pria yang membuatnya seperti ini bertekuk lutut di tepi ranjang, sambil menggenggam tangannya erat sekali. Getaran pada tubuh pria itu juga dapat Sojung rasakan. Namun, apa peduli Sojung?

Hatinya yang seharusnya lebih ia khawatirkan sekarang, alih-alih pria yang bertekuk lutut di sisinya itu. Sekarang, bibirnya berusaha untuk terbuka.

Kata yang ia keluarkan adalah, "Aku mau pisah."

Bagai petir yang menyambar kala hujan lebat. Seokjin langsung terkejut kala mendengar satu kalimat, tiga kata, dan enam suku kata yang terucap tanpa ragu dari mulut Sojung; istrinya.

"Jung?" Dengan tubuh yang bergetar, Seokjin menggelengkan kepalanya yakin. "Nggak. Jangan. Kita masih bisa sama-sama. Jangan nyerah di sini."

"Aku ... mau ... pisah," ulang wanita itu sekali lagi. Tatapannya begitu kosong, namun satu bulir air mata berhasil jatuh tanpa permisi.

Saat itu juga, tubuh Seokjin melunak. Seluruh tubuh Seokjin seolah tak punya daya dan kuasa sama sekali. Seokjin jatuh tersungkur ke belakang. Pria itu, menangis deras saat itu juga.

Seokjin menutupi wajahnya dan menumpahkan semua air matanya di balik sana. Seokjin sama sekali tidak menyangka, bahwa hal ini akan terjadi dalam kehidupan rumah tangganya dengan Sojung. Tidak tahu dia mimpi apa semalam. Tapi pernyataan menuntut yang Sojung keluarkan, benar-benar membuatnya hampir putus asa.

Selang lima menit, pria itu menguatkan kembali tubuhnya. Dia berdiri, kemudian menghampiri Sojung. Dia memeluk Sojung, dengan erat dan begitu hangat. Di sana dia juga menangis, dengan tubuhnya yang juga bergetar hebat.

"Jung, aku sayang kamu. Aku nggak mau kita pisah," ucapnya dengan getaran hebat.

Sojung yang menuntut, sekarang bersuara lagi. "Nggak ada alasan buat aku nggak pisah sama kamu. Fany nggak butuh aku, Hani juga udah cukup dengan kasih sayang yang aku kasih ke dia selama ini. Kalau udah begini, lebih baik kita hidup masing-masing. Kamu bawa Fany, aku bawa Hani."

Seokjin menggelengkan kepalanya cepat, tangisannya semakin menjadi. "Aku nggak mau pisah, Sojung! Aku masih sayang kamu! Aku mau kamu ... kamu yang terakhir buat aku. Tolong jangan nuntut perpisahan."

"Buat apa?" Sojung bertanya, menggantung kalimatnya sebentar. Pandangannya masih sama, menatap kosong ke arah depan. "Buat apa pernikahan kita dipertahanin? Kamu selalu nggak puas sama perhatian yang aku kasih ke Fany. Alih-alih Ibu sambung, aku malah makin yakin kalau aku cuma dijadiin pengasuh Fany di rumah ini."

"Nggak ... Sojung, nggak! Kamu bukan pengasuh, kamu Ibu ... buat Fany dan Hani. Jangan ngomong kayak gitu," kata Seokjin yang sekarang akhirnya melepas pelukannya. Pria itu menatap nanar ke arah Sojung. Istrinya pasti sangat terluka, sampai-sampai dia menuntut perpisahan seperti ini.

Ya Tuhan ... apa yang harus dia lakukan untuk menebus kesalahannya?

Seokjin sama sekali tidak menginginkan perpisahan ini. Seokjin masih mencintai Sojung.

"Secepatnya, aku akan urus perpisahan kita. Nggak akan ada waktu negosiasi, karena keputusanku udah bulat. Aku ... mau ... pisah," tegas wanita itu sambil menarik tangannya yang masih berada di genggaman tangan Seokjin.

Tangisan Seokjin makin tak bisa dihentikan. Dia bangun dan langsung meninju dinding kamarnya ... berkali-kali, hingga jari-jarinya terluka. Persetan dengan rasa sakitnya ... ini belum sebanding dengan rasa penyesalannya sekarang.

Mungkin, ini juga tidak sebanding dengan sakit yang Sojung rasakan. Hatinya, telinganya, wajah Sojung ... benar-benar pria brengsek dia ini. Dia mencintai, namun dia melakukan kesalahan yang berulang, sehingga hari ini ... wanitanya itu tak sanggup lagi untuk menoleran sikap dan perlakuannya.

Tamatlah sudah, keutuhan serta kebahagiaan keluarganya.

A/N:
bener 'kan guys, mereka nggak berantem lagi. walaupun nggak tega😭😭😭 but kalau nggak gini nggak asik, nggak bs bikin kalian penasaran🌝

makanya, bintangnya 🌟⭐, don't forget!</3
kalau tidak 28, aku tdk update, dan bakal nyicil nulis book baru aja, nggak di sini✌

[2] Emotions; Sowjin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang