Geri, kekasihku, sekarang ada di depan mataku!
Aku masih terdiam memandangnya dengan segenap kerinduanku. Memandangi mulai dari ujung rambutnya, dahinya, alisnya yang tebal, hidungnya yang mancung dan matanya yang selalu menenangkan.
Oh, tunggu! Ada apa dengan mata Geri?
Aku tidak menemukan ketenangan yang biasa aku lihat didalamnya. Kali ini berbeda. Matanya menunjukkan sesuatu yang berbeda. Sebuah kegelisahan.
"H-hei! Kok, diam aja, sih?" tanyaku berusaha memecahkan suasana.
Geri tersenyum singkat, lalu menggeleng. "Nggak. Cuma mau lihatin wajah kamu dulu." Jawab Geri berhasil membuatku tersipu.
"A-apaan, sih!"
Geri tersenyum lagi.
Dia berbeda dengan yang biasanya. Geri yang biasanya akan banyak bicara kali ini sangat irit bicara dan ... banyak menunduk. Geri juga lebih banyak menggigit bibirnya. Seperti orang yang sedang khawatir.
Aku tidak bisa membiarkan ini. Aku tidak mau bertanya - tanya sendiri tanpa jawaban yang pasti.
Tidak mau!"Kamu kenapa, sih, Ger? Kayak lagi ada masalah. Ada apa?" tanyaku tidak sabaran.
Geri mengangkat kepalanya sebentar, hanya untuk menatap mataku. Namun, entah kenapa saat aku berusaha membalas tatapannya, mencari jawaban didalamnya, Geri langsung menoleh, membuang wajahnya seolah tidak ingin bertatapan denganku.
"Ada apa?"
Geri menelan ludah. "Lis?"
"Hm?" balasku antusias. Tidak sabar sekali rasanya menunggu Geri berbagi ceritanya.
"Aku mau kita udahan."
Mendadak lidahku membeku, seperti marsmellow yang sengaja dibiarkan begitu saja tertimbun dalam tumpukan salju.
Aku tahu, aku tidak dapat mengontrol raut wajahku kali ini. Aku juga tahu, Geri menyadari bahwa aku terkejut dengan pernyataannya, tetapi dia tetap berekspresi datar, seolah - olah apa yang baru saja dia ucapkan adalah hal yang biasa saja untuk didengar.
Aku sendiri tidak mengerti bagaimana bisa kalimat seperti itu bisa Geri jadikan sebagai pembuka pembicaraan sepasang kekasih yang baru saja bertemu setelah sekian lama berhubungan jarak jauh.
Aku hanya bisa menghela napas, selama beberapa saat.
Beberapa saat terasa begitu dingin, dan canggung. Aku yakin, Geri tidak akan melanjutkan ucapannya lagi, sebelum aku membalas ucapannya. Geri akan membiarkan aku tenggelam dalam pertanyaanku sendiri, apa maksud perkataannya? Mengapa dia tidak langsung berucap lebih lanjut agar aku lebih mudah memahami maksudnya?
Aku mencoba bangun dan memunguti pikiranku yang sudah tercecer kemana saja, mengumpulkannya secepat mungkin saat aku menarik napas yang cukup panjang sebelum aku memilih mengeluarkan suara.
"Kamu mau putus?" tanyaku memberanikan diri menatap lekat tepat di kedua matanya. "Oke, kita putus."
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Langkah Kedua
Fiksi RemajaCalista tidak pernah menyangka kisah percintaannya akan berakhir dengan tragis. Untuk pertama kali, Calista merasa patah sepatah - patahnya, remuk seremuk - remuknya. Calista tidak ingin mengenal cinta lagi! Calista tidak punya pilihan lain, selain...