44. Deni

58 14 12
                                    

"Kak, aku mau beli minum dulu di sana. Kakak tunggu di sini ya."

Di tepi danau, tepatnya di ujung jembatan danau ini duduk ia di atas kursi roda yang sudah menemaninya selama empat tahun belakangan ini. Kecelakaan itu membuatnya tak mampu berjalan. Ia selalu merasa semua kebahagiaannya direnggut. Masa remajanya harus ia habiskan dengan sendirian, di atas kursi roda itu. Ia marah, terluka, aku tahu, aku bisa merasakannya.

Aku kecup keningnya. "Sayang Kakak, jangan sedih, ada aku. Kita bisa melewati hari-hari yang gelap ini sampai ke pintu yang paling terang. Di sana ada kebahagiaan, dua kaki yang tak lagi merasakan lelah ini akan menjadi saksi kalau kakak bisa sampai ke titik itu. Aku yang akan menuntun Kakak, menjadi kaki untuk Kakak."

Aku pakaikan syal di lehernya, takut-takut ia merasakan dingin karena malam habis turun hujan. Aku melihat lengkung senyum yang menyejukkan itu. Tawanya sangat berharga, seutas senyum sangat jarang aku terima. Meski pagi tadi aku masih melihatnya tertawa karena berhasil mengalahkan ayah main catur. Kecelakaan itu sungguh merenggut semuanya, sosok ceria itu kini lebih banyak diam.

Dua cup ice blend sudah ditangan. Aku kembali menemui Kak Deni di danau. Beberapa orang berlarian ke arah danau, perasaanku tak enak, segera aku berlari menuju tempat kakak ku. Banyak orang berkerumun di tepi danau, dan itu adalah tempat kakak ku duduk saat terakhir aku tinggalkan ia.

Benar saja, kakak ku tenggelam di danau. Beberapa orang menahanku agar tak mendekati danau, tapi bagaimana dengan kakak ku?

"Lepasin aku, Pak. Kakak aku tenggelam, biar aku bantu dia," ucapku sambil terisak.

"Jangan! Bahaya, Nak. Kamu tenang di sini, kakak kamu sudah ditolong yang lain," ujar bapak itu. Tangisku semakin menjadi, ucapan bapak itu tak membuatku lebih baik. Apalagi saat aku lihat raga yang terkulai lemas itu, aku hampiri kakak ku yang sudah dibantu naik ke atas. embusan napasnya mulai lemah, ayah dan mama yang baru datang segera membawa kakak pergi ke rumah sakit.

Aku takut ayah marah padaku karena lalai menjaga kakak, juga takut akan hal buruk yang bisa saja terjadi. Aku duduk berjauhan dengan orang tuaku, memeluk lutut sambil menangis, ice blend yang aku beli saja masih ada dalam genggaman.

"Nak, lihat Ayah." Aku menggeleng, tak berani menatap ayah. "Ayah gak marah, ini kecelakaan, bukan salah kamu. Kakak udah bangun, mau ketemu katanya."

Wajah itu kian pucat, senyumnya kian memudar, tapi sempat ia berikan senyum itu padaku. Kakak bilang syal yang aku berikan jatuh ke danau, ia coba mengambilnya tapi malah ia jatuh dan tenggelam.

"Syal itu berharga buat kamu, hadiah dari Umi, Umi rajut sendiri syal itu untuk kamu. Maaf, syalnya hilang."

"Bukan salah kakak, kakak lebih penting dari syal itu, syal bisa di beli, kalau kakak aku harus cari gantinya kemana?" Tangan dingin itu menghapus bening hangat yang sudah jatuh bebas.

"Jangan nangis, maaf ya. Nanti kakak minta lagi ke Umi ya," aku mengangguk, bukan syal yang aku inginkan, kakak selamat saja sudah lebih dari segalanya. "Di luar hujan ya, kopi enak kayaknya."

"Kenapa masih sempat-sempatnya mau kopi?" kesalku.

"Karena mungkin besok kita gak bisa ngopi bareng lagi. Apalagi di saat hujan sedang turun."

"Kenapa?"

"Bisa aja besok Ayah larang kakak ngopi karena stok kopinya di dapur habis." Aku yang sedih pun jadi tertawa karena ucapannya. Hal yang sangat langka dilakukan kak Deni.

Beberapa hari setelah kejadian, aku kira kesedihanku terobati, tapi justru ini adalah awal dari semua kepedihan itu. Kondisi kakak yang aku kira membaik, justru malah sebaliknya. Setelah kejadian itu kondisinya malah memburuk, kak Deni meninggal setelah melakukan perawatan kurang lebih satu Minggu di rumah sakit.

Anak Kecil Ngomongin Cinta?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang