Cewek berparas putih manis itu sedang mengetikkan jarinya dengan kesal ke layar ponsel hitam miliknya. Membalas pesan menyebalkan dari seseorang yang sudah ia anggap sebagai Abang. Tapi? Cowok itu membalasnya lebih. Gila.
Cacha tak menggubris lagi pesan dari cowok tersebut. Ia sudah malas. Toh, dalam cerita ini sang cowok yang baper kepada Cacha. Bukan Cacha yang memaksa untuk disukai oleh cowok tersebut.
Cacha me-rejeck panggilan setelah melihat panggilan masuk dari Agam. Percuma. Agam tidak akan mau mengalah. Berkali-kali panggilan itu masuk dan untuk ke sekian kalinya kembali ditolak olek jari Cacha.
"Stop ganggu gue! Lo tuh mau nya apa sih? Gak capek apa Lo memperpanjang masalah kayak gini." Cacha dengan kesal mengirim voice note tersebut kepada Agam.
Drtt... Drtt... Drtt...
Dering ponselnya membuat Cacha semakin membenci seorang Agam. Dengan berat hati Cacha mengangkat panggilan tersebut.
"Gue otewe ke rumah Lo sekarang. Kita selesain sekarang juga! Dasar anak kecil."
Tut.
Sialan! Demi apapun Cacha tidak mau membukakan pintu rumah nya, ehm rumah orang tua nya untuk manusia macam Agam. Tapi tidak mungkin. 10 menit kemudian cowok itu sudah sampai di depan rumahnya dengan motor ninja hitamnya.
Suara bel terdengar dari tempat Cacha berdiam diri. Jelas saja, kamar nya berada dilantai bawah. Cacha menyembulkan kepalanya keluar pintu, malas membukakan pintu untuk manusia itu. Tetapi Raisa, ibunda Cacha meneriakinya dari arah dapur.
"Cacha, coba liat ke luar. Itu siapa yang dateng?" Cacha menggerutu kesal. Kalau Raisa tahu yang datang adalah Agam, pasti wanita itu akan senang bukan main.
"Cacha??"
"Iyaa, buuuunnd, balas Cacha panjang tak bergairah.
Dengan langkah berat Cacha menghampiri pintu. Sesaat pintu terbuka, Cacha melihat Agam dari balik pagar rumahnya. Dengan wajah kesal ia tidak membiarkan sang tamu masuk.
"Ngapain sih? Kurang kerjaan banget. Gue lagi sibuk," ucap Cacha ketus berusaha mengusir Agam dari depan rumahnya.
Cowok tinggi dengan kaos putih itu berdeham. "Gue mau ketemu Bunda. Bukan mau ketemu Lo. Gausah Ge-er."
Mata Cacha terpejam erat, menghilangkan rasa kesalnya kepada manusia batu di depan matanya ini. Malu. Itulah yang Cacha rasakan. Tapi ia tahu, Agam hanya menjadikan ibunya sebagai alasan agar di izinkan masuk.
"Lo pasti..."
"Eh, Agam? Tumben baru main lagi ke sini?" Ucapan Cacha terpotong oleh Raisa yang keluar rumah membawa gembor plastik berisi air untuk menyiram bunga peliharaan Cacha. Dan tanpa dosa ia membukakan pagar untuk Agam masuk.
Cacha sudah malas. Sumpah! Demi apapun. Agam yang merasa dirinya menang tersenyum miring kepada Cacha. Sedangkan Cacha membuang muka masam masam.
"Iya, Bund. Agam sibuk kuliah. Soalnya sebenntar lagi udah berangkat kerja sama Papa ke Medan," jelas Agam yang terdengar sok manis di telinga Cacha.
"Kok Papa gak ngasih tahu Bunda, ya? Cacha bakal kamu tinggal dong?" tanya Raisa mengerutkan keningnya. Cacha merotasikan bola matanya. Cih, mau pergi jauh kek, dekat kek. Cacha udah gak peduli.
"Sebentar kok, Bund. Cuma 5 bulan," tutur Agam dari balik pagar. Raisa membukakan pintu untuk Agam masuk. Matanya melirik kepada Cacha yang sepertinya tidak menerima kedatangan Agam. "Cacha, kalau ada tamu suruh masuk dulu. Jangan ngobrol di depan rumah sambil berdiri, pamali."
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Bussines
Short Story21+ cuma cerita pendek, kok. Kalo kepo, baca aja. Tapi anak kecil jangan hehe.