Tina terdiam di dalam mobil Alfan, ekspresinya tampak ingin memangsa manusia, saking kesalnya ia dengan kelakuan bosnya. Kalau bukan karena lelaki itu atasannya, Tina juga tidak mungkin menahan emosinya lama-lama.
Sebenarnya Tina sendiri tipe wanita yang mudah marah, hatinya gampang sekali memanas hanya dengan hal-hal kecil yang membuatnya kesal. Karena posisinya yang cuma bawahan, ia harus ekstra sabar menghadapi bosnya yang sering memperlakukannya dengan semena-mena.
"Kamu marah?" tanya Alfan sembari fokus menyetir. Setelah acara pertunangan adiknya selesai, ia disuruh mamanya untuk mengantarkan Tina pulang. Namun sepertinya asistennya itu sedang marah, Alfan tahu penyebabnya, apalagi kalau bukan karena tingkah lakunya.
Alfan sangat sadar dengan sikapnya saat berada di kamar bersama asistennya, ia sempat setuju saat Tina ingin ia menjelaskan semuanya terutama statusnya yang akan menjadi istrinya. Namun bila dipikir lagi, rasanya Alfan tidak bisa membuang kesempatan besar itu dengan mudah, karena sejak awal ia memang tertarik dengan Tina. Itulah kenapa ia memainkan peran yang dibuatnya, yang membuat Tina marah dengan sikapnya.
"Bapak ini bagaimana sih, katanya Bapak mau menjelaskan semuanya, tapi kenapa Bapak masih mengakui saya sebagai calon istri?" tanya Tina dengan mata berkaca-kaca, merasa ingin marah meski tidak bisa, membuat Alfan merasa bersalah meski tak terlalu tampak di wajahnya.
"Saya tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya di hari bahagia adik saya kan? Apalagi Mama saya sangat senang mendengar saya akan menikah, apa kamu tega membuat mereka kecewa?"
"Ini semua juga tidak akan terjadi andai Bapak tidak menyuruh saya ke sana, apalagi di hari saya libur kerja." Tina memejamkan matanya, masih berusaha menahan amarahnya.
"Saya minta maaf, semua juga sudah terlanjur terjadi kan? Sebagai ganti ruginya, saya akan bayar waktu kamu sebagai calon istri saya." Alfan menjawab lugas yang kali ini ditatap tanya oleh Tina yang mulai tenang dari sebelumnya.
"Maksud Bapak saya akan dibayar lain dari gaji saya bekerja di perusahaan?" tanya Tina penasaran yang langsung diangguki oleh Alfan. Jujur saja, Tina memang sangat membutuhkan uang, bila bosnya mau membayar waktunya sebagai calon istri bohongan, tentu saja Tina tidak akan membuang kesempatan itu dengan mudah.
"Iya. Bagaimana? Kamu setuju?" tanya Alfan kali ini yang disenyumi penuh arti oleh Tina.
"Iya, Pak. Saya setuju. Saya cuma harus menjadi calon istri bohongan Bapak kan?" tanya Tina mulai terdengar antusias, air mata yang sempat ditahannya kini menguap entah ke mana.
"Iya. Kamu hanya perlu menuruti perintah saya, tapi jangan sekali-kali kamu membongkar kesepakatan kita ke orang lain apalagi ke keluarga saya."
"Iya, Pak. Saya janji, saya pasti akan menuruti permintaan Bapak apapun itu." Tina menjawab bersemangat yang diangguki oleh Alfan.
"Bagus."
"Pak, saya turun di sini saja ya." Tina menatap ke arah jendela, di mana mobil yang ditumpanginya masih berada di kawasan jalan raya.
"Kenapa? Memangnya rumah kamu di daerah sini?""Tidak kok, Pak. Saya akan naik angkot dari sini. Tolong berhenti ya, Pak." Tina tampak berbinar-binar dengan kesepakatan yang terjalin antara ia dan bosnya sampai lupa bila ia ingin marah, itu karena ada uang di antara mereka, bagi Tina hal itulah yang paling utama.
"Kamu yakin?"
"Yakin, Pak."
"Ya, terserahlah."
"Terima kasih, Pak." Tina menyunggingkan senyumnya sebelum turun dari mobil bosnya.
"Iya," jawab Alfan singkat lalu kembali fokus menyetir mobilnya, Alfan sendiri tak mengerti dengan kepribadian Tina yang seolah sangat membutuhkan banyak uang, Alfan jadi merasa penasaran dengan jalan hidup asistennya, hidup wanita yang disukainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pura-pura Jadi Calon Istri Bos (TAMAT)
Storie d'amoreMenurut Tina, memiliki bos seperti Alfan itu menyebalkan. Sifat dan kepribadiannya yang aneh, sering kali membuat Tina ingin menyerah meski pada akhirnya ia tetap tidak bisa. Banyak hal yang mengharuskannya tetap bertahan, termasuk keinginannya untu...