Part 06.

44 3 0
                                    

Tina menurunkan tubuhnya dari mobil bosnya, ekspresinya masih tetap sama saat masih berada di dalamnya, kesal dan marah. Bosnya itu lagi-lagi bersikap menyebalkan, Tina bahkan sampai tak bisa berpikir terlebih lagi membayangkan bosnya itu bisa berbuat baik pada orang lain terlebih pada dirinya.

Kalau bukan karena papanya, Tina mungkin tidak mau bertahan bekerja lebih lama lagi dengan bosnya yang satu itu. Belum lagi saat melihat ekspresinya sekarang, tenang dan dingin, tidak ada ekspresi penyesalan ataupun bersalah, membuat Tina muak melihatnya.

"Kenapa kamu masih berdiri di situ?" tanya Alfan saat menyadari Tina terdiam dengan melirik tak suka ke arahnya.

"Bapak kan belum jalan, masa saya harus jalan duluan?" Tina menjawab seadanya, berusaha bersikap profesional seperti biasa.

"Itu karena saya sedang menunggu kamu. Cepat ke sini, jalan di samping saya." Alfan menunjuk ruang hampa di sampingnya, di mana tidak ada satu orang pun di sana. Sedangkan Tina hanya mengangguk, ekspresinya tampak tak yakin dengan perintah bosnya itu.

"Kenapa saya harus berjalan di samping Bapak? Kan biasanya saya jalan di belakang, Pak." Tina menatap heran ke arah bosnya setelah sampai di depannya.

"Kamu lupa status kita itu apa di hadapan para karyawan? Kita itu pasangan yang akan menikah, bagaimana mungkin saya membiarkan kamu berjalan di belakang saya? Yang ada mereka akan berpikir kalau saya ini lelaki kejam."

"Bapak memang kejam kok," jawab Tina lirih.

"Apa kamu bilang?"

"Tidak ada, Pak. Jadi saya harus bagaimana?"

"Berjalan di samping saya dan gandeng lengan saya!" perintah Alfan sembari melengkungkan lengannya, menunggu Tina mengalungkan tangannya di sana.

"Apa? Saya harus gandeng lengan Bapak? Saya tidak mau, Pak. Apa kata orang-orang di kantor kalau saya melakukan hal menggelikan itu?" Tina menggeleng kuat, tubuhnya bahkan bergidik ngeri saat otaknya membayangkan respons teman-temannya saat melihat tingkah lakunya.

"Kamu mau menentang perintah saya?" Alfan menatap tegas ke arah Tina yang terdiam, meski pada akhirnya menghela nafas dan mengangguk paham.

"Maaf, Pak. Saya akan menggandeng lengan Anda." Tina mengangkat tangannya, merasa sempat ragu saat akan menyentuh jas lengan bosnya itu.

"Cepetan!" tegas Alfan yang langsung Tina turuti perintahnya, meski di dalam hati ia ingin sekali melawan bosnya, saking lelahnya ia dengan perintah-perintah anehnya.

"Sekarang kamu senyum seolah-olah kamu bahagia bersama saya." Alfan menatap ke arah Tina yang sempat murung lalu tersenyum meski dengan rasa terpaksa.

"Bagus," ujar Alfan sembari kembali menatap ke arah depan lalu berjalan menuju kantor, bibirnya bahkan tersenyum bahagia bisa merasakan tangan Tina di lengannya.

Tina berusaha tersenyum ke arah semua orang yang tengah menatapnya sedang menggandeng lengan bosnya. Bila dilihat dari tatapannya, rata-rata mereka seperti terkejut sekaligus tak percaya dengan penglihatan mereka masing-masing.

Bila dipikir lagi, siapa yang akan percaya bila bos mereka yang suka bertindak seenaknya, irit bicara, tegas, berwibawa, dan bahkan kejam itu akan menikah dengan asisten pribadinya sendiri. Mungkin banyak dari mereka yang merasa penasaran bagaimana bos mereka itu bisa memulai hubungan dengan asistennya, mengingat sikapnya yang terlalu kaku dan serius.

Sekarang tidak ada yang bisa Tina lakukan kecuali tetap dengan ekspresi yang sama, seolah sedang bahagia bersama dengan bosnya, sedangkan banyak pasang mata yang tengah menatapnya seolah mereka baru saja melihat hal paling gila di dunia.

Pura-pura Jadi Calon Istri Bos (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang