Selamat datang, selamat membaca.
***
Meski tentunya Bleedpool tidak seluas kampung halaman Zealire. Tetap saja mencari peta hanya dengan mengikuti arah barat begitu susahnya. Kota ini terasa semakin besar, ketika kakinya banyak dipakai berjalan.
Bersyukurlah Shaq datang dan menemukannya. Tentu dia percaya pastinya lelaki itu akan datang, mencari dan menemukannya, dan memang benar begitu. Gadis itu tersenyum kian lebar, mengelanyunkan kedua tangannya di leher Shaq.
"Aku sangat mencemaskanmu. Tiba-tiba saja pagi hari kamu sudah tidak ada di penginapan. Di sini berbahaya, Zea. Tidak boleh pergi sendiri," sahut Shaq membuat Zealire merasa bersalah.
Dia kian menunduk dalam gendongan lelaki itu. Meski pastinya Shaq tidak dapat melihat ekspresi wajahnya sekarang, Zealire tahu ... sangat tahu tempatnya kini berpijak itu berbahaya. Namun, jika dia tinggal lebih lama di penginapan itu, Zealire juga tidak merasa dia akan aman.
"Maaf, Shaq ... aku baik-baik saja. Doxi menolongku," lirih Zealire.
Lelaki itu sempat menoleh. Melihat ekspresi murung gadisnya tidak bisa membuat Shaq marah, tetapi begitu mendengar lanjutan ucapan Zealire dia makin geram. Bagaimana bisa gadisnya membicarakan lelaki lain saat bersamanya? Bukankah itu tidak sopan?
Shaq tidak membalas, mereka melanjutkan perjalanan tanpa suara. Meski memang Shaq cukup kaget saat menemukan kamar yang kosong di penginapan itu, apalagi setelah mencari-cari ke mana-mana tidak menemukan gadis itu. Zealire benar-benar membuatnya cemas, Shaq tidak berpikir gadis itu bisa menyelesaikan tugasnya jika sendirian. Ya, harus diakui Doxi membantu gadisnya.
"Ya, kita harus berterima kasih pada Doxi, 'kan?" celetuk Shaq dengan nada lembut.
Zealire menoleh, menemukan sebuah senyum hangat. Dia kira Shaq sedang marah, tetapi lelaki itu telah memaafkannya. Sungguh Zealire merasa dirinya diberkati sekarang, dia tidak salah pilih Shaq adalah lelaki baik yang membuatnya jatuh cinta.
Selepas lama mereka berjalan. Dia merasa kakinya sudah bisa kembali dipakai berjalan sendiri, tidak ingin membebani Shaq lebih lama Zealire memilih berjalan. Mereka masuk ke gang-gang kecil, menghindari keramaian yang mungkin membahayakan.
Sampai ke tempat yang lebih sepi penduduk. Kawasan kumuh itu sudah tidak ditinggali lagi, ada sebuah jembatan di depan mereka. Yang mana air di bawahnya sudah keruh, tak berupa, juga mengeluarkan bau busuk. Pantas saja sudah tidak ditinggali lagi.
"Tunggu di sini. Aku akan periksa dulu apakah jembatan itu layak dilewati atau tidak, ya?" Shaq memegang kedua bahu gadis itu, menyuruhnya menunggu di seberang jembatan itu.
Sedikit dia membelai kedua pipi Zealire, membuatnya dengan mudah merona. Benar, ekspresi malu gadis itu membuatnya terkekeh, lucu.
Segera dia mencoba menapaki kayu yang disusun menjadi jembatan itu. Terlihat rapuh, Shaq menginjak-injakkan kakinya tidak terlalu keras. Mencoba mengukur sekuat mana jembatan itu bisa menahan bobotnya.
Brug!
"Shaq!" teriak Zealire kaget.
Begitu melewati papan kayu kelima, pijakannya jatuh. Untung satu kaki dan tangannya menapaki papan lain, sambil memegang pembatas jembatan. Setelah itu dia sampai di seberang jembatan dengan selamat.
Jika mereka hati-hati, jembatan itu masih bisa digunakan. "Zea, tunggu di sana. Aku akan kembali di sana dan kita menyeberang bersama."
Melihat Shaq baik-baik saja membuat sang gadis menghembuskan napas lega. Untung saja lelaki itu baik-baik saja, Zealire benar-benar dibuat kaget karena tiba-tiba saja kayu itu bolong. Sebagai jawaban Zealire mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLEEDPOOL: ZEALIRE VURBENT [SERIES 3]
Fantasy[SUDAH TAMAT] Zealire Vurbent harus melanjutkan misi mencari peta hanya dalam waktu tiga hari. Bleedpool bukan tempat yang ramah untuk disinggahi. Perampok, bajak laut, penjarah, pembunuh, pengedar, bahkan semua jenis pelaku kejahatan ada di sana. M...