Matahari baru saja keluar dari peraduannya, namun pemuda bernama Bagas itu sudah sibuk membantu ibunya menyiapkan dagangan. Ia mencuci beberapa sayur kemudian merebusnya. Ibunya mempersiapkan bumbu-bumbu.
“Buk, ini sudah,” kata Bagas sambil mengangkat sayuran yang sudah direbusnya. Warnanya masih kehijauan tanda kalau Bagas tidak merebusnya lama-lama. Bagas sering melihat acara pertandingan memasak di televisi tetangganya. Katanya jika sayurnya dimasak terlalu lama itu namanya overcooked. Vitaminnya akan hilang. Rasa sayurannya juga menjadi tidak segar.
“Ya, taruh aja di situ,” kata Dirah sambil menunjuk sebuah tampah besar tempat meletakkan sayuran. “Udah sana kamu mandi, emangnya kamu enggak sekolah?” lanjutnya.
Bagas mengangguk kemudian mencuci tangannya.
“Oh iya Gas, itu sekalian bawain kopi buat Bapak. Udah Ibuk buatin,” kata Dirah sambil terus mengulek bumbu yang ada di cobek.
Bagas membawa kopi hitam dengan sepiring singkong rebus ke teras rumah. Di sana Bapaknya sedang asik membersihkan becak.
“Nih Pak, kopinya,” ucap Bagas sambil meletakkan kopi dan singkong yang dibawanya ke atas meja.
“Pahit enggak, Gas?” tanya Pardi sambil terkekeh.
Bagas yang menangkap gurauan Bapaknya seketika menjawab, “Ya pahit, Pak. Kayak hidup kita.” Bagas pun menarik salah satu sudut bibirnya ke atas.
“Huss, kamu nih lho ....” Pardi menggantungkan kalimatnya. Ia berjalan ke arah Bagas kemudian mengambil gelas kopi yang ada di samping anaknya itu.
“Kamu nih lho, kalau ngomong suka bener,” sambung Bagas meneruskan kalimat Bapaknya. Pardi mengacak-acak rambut anaknya. Mereka berdua pun terkekeh.
Bagas tidak jadi mandi, ia memilih duduk dekat Bapaknya. Ada sesuatu yang ingin dibicarakannya. Bagas lalu mengamati becak yang terparkir di depan rumah. Sudah berkarat di beberapa sisinya. Bapak bahkan tidak punya uang yang cukup untuk mengecat ulang becaknya itu.
“Pak, gimana kalau Bagas enggak usah sekolah?”
Pardi yang terbiasa mendengar ucapan anaknya itu menanggapinya dengan santai. Disesapnya lagi kopi hitamnya.
“Kamu enggak lihat Bapak?” tanya Pardi sambil menatap lamat-lamat wajah anaknya yang belum mandi itu.
“Ya justru karena Bagas lihat Bapak makanya Bagas mending enggak usah terusin sekolah. Bagas mending kerja ikut Bapak, atau bantu Ibu. Syukur-syukur Bagas bisa beli becak baru,” jawab Bagas panjang lebar.
“Kamu mau beli berapa becak?” tanya Pardi menyelidik.
“Satu dong Pak. ‘Kan buat narik.” Bagas menggaruk rambutnya yang gatal.
“Kalau kamu sekolah yang bener, besok bukan hanya satu becak yang bakalan bisa kamu beli.”
Bagas mengernyitkan dahi. Sekolah saja sudah menghabiskan uang, bagaimana bisa membeli becak lebih dari satu? Pardi memang suka membuat puyeng kepala anaknya. Anak lelaki itu lantas memilih masuk ke dalam kamar dan mengambil peralatan mandinya.
“Yah, kabur!” teriak Pardi sambil terkekeh.
Bagas masuk ke dalam kamar mandinya yang hanya muat untuk satu orang itu. Kemudian menggantungkan pakaiannya. Di kamar mandi itu hanya ada satu ember besar untuk menampung air. Ketika Bagas masuk, air di dalam ember sudah tinggal separuh.
Ia pun mengguyur badannya beberapa kali kemudian menuangkan shampo ke rambutnya. Ketika hendak mengambil air, gayungnya bertubukan dengan ember. Tak ada air tersisa ternyata.
KAMU SEDANG MEMBACA
JOMBLO DARI LAHIR
RandomBagas. Di usianya yang menginjak remaja, ia masih saja betah menjomblo. Membuat bapaknya sempat mengira bahwa Bagas tidak normal. Bagas pun memberitahu Pardi bahwa ada gadis yang disukainya di sekolah. Untuk membuktikan bahwa dirinya masih menyukai...