HARI ini, tentu saja, tidak berlangsung sesuai rencana, yang adalah tinggal di dalam stadion selama sekitar enam puluh menit atau lebih. Kurang lebih berhasil, ya. Setidaknya, sampai aku melihat bagaimana setiap gadis, bahkan dari kubu kompetitor USC, memojokkan Jimin setelah pertandingan. Mereka tertawa genit, menyemburkan nonsens hingga bertanya-tanya perihal nomor ponsel, dan Jimin seperti biasa meladeni mereka dengan seramah mungkin.
Paling tidak, salah satu dari kami tidak terjerat di bawah hipnotisme kesedihan untuk waktu yang lama. Paling tidak, Jimin masih bisa tersenyum manis tanpa diriku di sampingnya.
Sejujurnya, aku juga ingin mendekati, mengucapkan selamat sebab telah mencetak skor dan mengantarkan Jaguars meraih trofi kemenangan lagi. Namun, aku mengurungkan niat. Sangat jelas bagaimana rekan satu timnya berteriak puas, menggoda Jimin dan kerumunan para gadis seolah-olah dia tidak baru saja mengalami putus cinta, bahkan ada yang lantang menyahut agar lekas mencari substitusi.
Tetapi, aku tidak menyalahkan mereka atau siapa pun kali ini. Kurasa itu merupakan cara efektif guna memicu Jimin fokus sepanjang pertandingan, dengan mendorongnya melupakan eksistensiku. Sisa satu langkah lagi sebelum secara resmi, dia berjalan selaras dengan impiannya. Itu hal yang sangat baik di tengah apa yang terjadi, dan aku bangga padanya.
"Permisi, Nona Gray?"
Aku menoleh dan langsung bersemuka dengan seorang pengantar bunga. "Ya?"
"Anda yang memesan satu buket Anyelir Merah, benar?" tanya si pramuantar, yang kujawab dengan anggukan. "Ditujukan kepada quarterback Jaguars? Kalau boleh tahu, di mana keberadaannya?"
"Di belakangmu, pemuda di tengah kerumunan itu," ucapku sambil mengarahkan atensinya ke tempat Jimin berada. "Pastikan sampai di tangannya, ya."
Di beberapa negara, bunga Anyelir Merah diartikan sebagai rasa cinta dan kasih sayang, namun alih-alih menggunakan itu sebagai fondasi mengapa aku diam-diam mengirimkan satu ikat bunga padanya, aku lebih tertarik dengan arti alternatif, yakni persahabatan dan kekaguman.
Jimin adalah sahabatku sebelum dan setelah kami menjalin kasih, pemain belakang yang tidak sengaja menyudutkan hati dengan segudang impresi singularis. Sejak hari si pemuda bermarga Park itu meringkus atensi, aku tahu aku akan selalu terpukau pada apa pun yang dia lakukan.
Tetapi kini, aku harus menyimpan sendiri kekagumanku terhadapnya.
Tatkala Jimin mencoba menelaah sekitar demi mencari siapa pengirim buket bunga tersebut, aku segera berpaling, memutuskan untuk menjauh dan pergi. Kurasa itu yang terbaik, dia mungkin akan benar-benar bahagia sekarang, dan dalam progres pemulihan tanpa kehadiranku.
"Saya pernah membaca, patah hati dapat membunuhmu."
Di selatan dermaga, dalam trayek menuju Point Clear, tepatnya di sepanjang 18 Laurel Avenue berdiri sebuah restoran minimalis Italia yang telah beroperasi selama empat dekade, tempat favorit-ku dan Mama setelah seharian berbelanja kebutuhan rumah atau setelah kelelahan membasmi energi. Di sini merupakan kawasanku memberantas penat, semacam jalan pintas guna menjernihkan pikiran setiap kali aku merasa tidak cocok di mana pun.
Selain Gambino's selalu menyajikan hidangan terbaik, dengan suasana nyaman dan tenang tanpa terjerumus ke dalam atmosfer tawar, diiringi berbagai macam dendang prominen dari masa ke masa, aku mengingat aku juga seringkali bertandang ke restoran ini jikalau sedang bertengkar dengan Jimin. Dia tidak terlalu tahu perihal Gambino's yang menjadi kesukaan-ku, ada banyak tempat di Fairhope yang membuatku terkesima, tetapi restoran ini kerap menjadi eskapisme kecil untukku.
Aku tersenyum tipis mendengar deklarasi Namjun yang duduk di seberangku. "Jangan khawatir, kamu sendiri yang bilang saya bukan gadis lemah, 'kan? Saya akan bertahan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Quarterback
Fiksi Penggemar❝I'm truly sorry, but it's time you got to be your own quarterback.❞ ──────────── Park Jimin • Female OC © yourdraga 2020