Nabila 8 • Girl's Talk

7.5K 1K 31
                                    

***

"Bestieku yang paling kiyowoooooo....
Have you seen my whatsapp, yeah?"

Barusaja tiba, Rena langsung saja menanyaiku soal pesan terakhirnya di kolom chat kami.

Aku berdecak pelan. "Udah lama ditungguin, eh giliran pas dateng yang lo omongin langsung tugas..." Omelku namun tetap membuka file yang dikirimkannya.

Pertemuan kami memang sebelumnya tidak untuk membahas tugas. Tapi entah kenapa justru malah sapaan pertama yang diberikannya padaku barusan membahas tentang tugas kelompok yang harus kami kerjakan.

"CPR?" Tanyaku setelah membaca judul jurnal yang dikirimkannya.

CPR atau common pool resources adalah suatu sumberdaya yang dapat digunakan secara bersama-sama, dan dapat diakses oleh siapapun tanpa ada pihak yang bisa melarang. Meskipun demikian, cara untuk memperolehnya tetaplah tidak mudah dan harus bersaing antara pemanfaat satu dengan yang lainnya.

"Yup. As usual, senin malem jam 9 deadline-nya." Rena menjawab pertanyaanku yang disertainya dengan tambahn  informasi seputar deadline pengumpulan.

Aku kembali membaca file dilayar ponselku. "So, ini mau dibagi per nomor aja tiap anaknya?"

"Untuk sekarang sih, that is the best option. Udah mepet banget soalnya, Na. Jadi mungkin nggak bakal cukup kalo musti ngerjain semua dan nanti disatuin kayak biasa."

Aku mengangguk, menyetujui pendapat yang diungkapkannya barusan  "Oke, gue ambil 1 a sama b ya, yang common pool resources sama tragedy of the common. Ntar gue usahain sebelum magrib udah gue kirim ke elo." Jawabku sambil masih membaca sekilas file tersebut.

Kulirik Rena hanya mengangguk, lalu menarik kursi yang ada di sebelah untuk didudukinya.

***

"Jadi.... gimana Akbar?" Tiba-tiba Rena menyeletuk diantara keterdiaman kami.

"Akbar kenapa emang?"

Rena memutar bola matanya jengah. "Please deh, Na. Nggak usah pura-pura bego."

"Lo berdua sekarang nggak pernah keliatan bareng lagi. Udah ada sebulanan kali kalo gue nggak salah inget." Lanjutnya sebelum aku meresponnya

Aku terdiam, lalu akhirnya berujar "Beberapa minggu lalu gue nembak dia."

Reaksi Rena benar-benar sangat jauh dari apa yang aku duga. Tebakanku setidaknya dia akan bersikap heboh seperti biasanya. Namun alih-alih heboh, dia justru dengan santainya memanggil pelayan untuk memesan makanan.

Rena menoleh ke arahku, menaikan sebelah alisnya, dan berujar. "Terus ditolak?"

Aku hanya bisa speechless mendengar pertanyaannya. "Kok lo bisa tau?"

Jujurly aku benar-benar tidak menyangka jika dia akan mengatakan hal seperti ini. Ekspektasi ku benar-benar bukan hanya melenceng dari realita, tetapi juga sangat jauh dan berseberangan dengan fakta yang ada.

"Ketebak kali, Na. Tapi gue nggak nyangka aja sih kalo si dia ternyata se pengecut itu."

"Maksud lo gimana, Ren?" Aku menghentikan aktivitasku, lalu memusatkan atensiku sepenuhnya kepadanya.

"Astaga dragon, Na. Jangan pura-pura polos dah. Lo tau kan kalo sebenarnya si Akbar yang duluan suka sama elo? Makanya elo berani-beraniin buat konfes dulu?"

Lagi-lagi aku mengangguk. Memang benar bahwa selama ini perlakuan Akbar menunjukkan tanda-tanda seperti apa yang diucapkan Rena barusan.

Tapi untuk kenyataannya? Sepertinya kami berdua salam menebak perilakunya selama ini. "Ya."

"Tapi kayaknya itu cuma asumsi gue doang, Ren, soalnya dia kaya nggak ada mikir-mikirnya gitu masa, langsung nolak gue gitu aja." Aku menceritakan padanya perihal kejadian yang beberapa waktu lalu terjadi.

Kulihat Rena berusaha menyembunyikan tawanya.

Sial, harusnya gue nggak usah cerita. "Udah Ren ketawa aja ketawa sono, nggak usah pura-pura simpati,"

"Apalagi empati!" Lanjutku lagi.

"Sori Na, tapi gue beneran pingin ketawa." Jawabnya yang akhirnya benar-benar tertawa.

Aku mendengus. "Lo nggak salah hipotesis, Na. Cuma Akbarnya aja emang yang bajingan. Dia tuh kegedean gengsi, jadi nggak mau lah kalo harus jadi bucinnya satu cewek."

"Sebulan ini aja ceweknya udah ganti dua kali kan?" Dia menanyaiku yang kubalas dengan mengangkat bahu.

"Mana gue tahu, Ren. Nggak penting banget!"

"Haha. Kalo gitu itu tadi informasi penting buat lo," Rena menarik lemon tea yang baru diletakkan di meja mendekat ke arahnya.

"Nah, ya udah sih Na. Nggak usah dipikirin juga."

"Lagian gue liat lo juga belum sesayang itu sama dia. Buktinya lo nggak galau berhari-hari karena ditolak kan?" Rena kini gantian menarik salad buah dan meletakkannya tepat dihadapannya.

"Ya enggak sih, cuma tetep aja nyesek Ren."

"No prob, its okay kok. Pada dasarnya emang setiap orang nggak mau ngalamin penolakan. Jadi wajar aja sih kalo lo ngerasa gitu."

"I think so, Ren. Makanya gue agak ngehindarin dia semenjak kejadian itu. Salah nggak menurut lo?" Aku meminta pandangannya tentang apa yang beberapa waktu ini aku lakukan.

Rena terkekeh, "Nggak, sama sekali. I know how hard to deal with that. But for now, i think it's worthy to do that."

***


"Sendiri, Na?" Mas Gilang menyapaku ketika sedang duduk di koridor dekat perpustakaan kampus.

Mengangkat wajah dari layar ponsel, kutemukan ekspresi senyum ramah dari orang yang barusan menyapa. "Iya, Mas. Abis ngobrol sama temen tadi,"

Ngomong-ngomong, aku memang satu kampus dengan Mas Panca. And its normal for aku dan Mas Gilang untuk bertemu secara kebetulan seperti ini. Mengingat sosoknya adalah teman kampusnya Mas Panca.

"Abis ini mau kemana? Balik atau masih ada kelas?" Tanyanya kemudian.

Mas Gilang mendekat dan duduk tepat di kursi yang sebelumnya diduduki oleh temanku.

"Balik." Jawabku singkat

Kulirik Mas Gilang mengecek jam tangan di tangan kirinya. "Wanna luch togther?"

Dengan randomnya dia mengajakku makan bersama.

"Dibayarin nggak?" Tanyaku spontanitas. Astaga, me and my bubbling mouth sepertinya sudah benar-benar kronis.

Kulihat Mas Gilang tertawa, "Sure."

Aku menatapnya dengan pandangan terkejut, ragu, tapi terasa sayang untuk melewatkan geratisan.

Point OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang