BIRU
Apa lagi yang diinginkan seorang laki-laki setelah melalui hari yang panjang, membosankan dan melelahkan?
Coffee. Definitely coffee.
Aku pun mengemudikan mobilku mengitari kota kecil ini, mencari kedai kopi yang masih beroperasi selarut ini. Setelah meyakinkan diri bahwa kedai kopi di depanku ini menyatakan bahwa jam operasionalnya hingga pukul 22.00, aku langsung memarkirkan mobilku dan bergegas turun. Kepalaku terasa pening dan aku benar-benar berharap mereka menjual kopi yang sangat enak.
Segalanya terasa abu-abu sebelum aku bertemu dengannya. Dan mendadak seluruh kehidupanku berputar layaknya kaleidoskop penuh warna ketika ia berdiri disana, menatapku dengan matanya yang lelah, rambut yang menjuntai dan kacamata yang terlihat agak miring. Dia bergerak kaku, nyaris seperti robot. Exist but not live. Dan untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, aku tidak lagi membutuhkan kopi untuk meredam rasa lelahku. Aku hanya butuh dia. Dia.
Kusapukan pandangan mataku menatapnya, menatap setiap inci tubuhnya. Rambut panjangnya diikat ekor kuda. Kulitnya semulus porselen yang dipanaskan dalam suhu yang tepat. Bibirnya yang tipis terkatup rapat, seakan memohon padaku untuk membuatnya terbuka. Lekuk tubuhnya yang sempurna itu mengingatkanku bahwa aku adalah laki-laki normal pada umumnya. Predator paling ganas di muka bumi. Aku bisa saja memangsanya disini, membuatnya berteriak dan bergerak membabi buta. Sekarang juga.
Kukepalkan tanganku di counter dan memandangnya seperti orang linglung ketika ia menyerahkan paper bag dan cup pesananku. Aku tidak ingin ini menjadi akhir perjumpaan kami.
Tidak. Tidak akan.
Terutama karena selama beberapa tahun ini aku selalu kehilangan jejaknya.
***
Aku cukup terkejut ketika melihat anak perempuan itu menciuminya layaknya seorang ibu dan anak.
Shit! Ibu dan anak! Kenapa hal ini tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya? Pantas saja dia begitu kaku, begitu tertutup, begitu... lelah. Dia tidak mengenakan cincin, so it's nearly impossible kalau dia adalah istri orang sekarang. But who knows?
Setelah dia berlalu dari pintu dapur kafe itu, aku langsung kembali ke apartemenku seperti orang kesetanan. Mencoba mencari tahu lebih banyak lagi tentang seorang Gemma Andriana.
Melihat dari badge anak perempuan itu yang bertuliskan 'Kimora' dengan huruf kapital besar dan seragamnya yang aku cukup kenali berasal dari TK yang berada persis di depan kafe Butter It Better, aku mengetikkan nama keduanya di Google. Hasilnya minim untuk Gemma. Semua informasi yang ditampilkan sudah kuketahui sebelumnya. Dan nihil untuk Kimora.
Aku menatap layar laptop dengan frustasi. Mengacak-acak rambutku dan mengetukkan kepalaku berkali-kali ke meja. Mengapa begitu banyak hal yang kulewatkan? Selama bertahun-tahun aku merasa sudah mengetahui semuanya, tapi sekarang aku merasa tolol dan kalah telak.
Selama 4 hari berturut-turut setelah perjumpaan terakhirku dengannya, aku selalu mendatangi kafe pada jam yang sama. Berharap bertemu dengannya dan berbicara meski hanya 1 menit. Aku perlu melihat wajahnya hanya untuk meredakan rasa frustasiku yang semakin menjadi-jadi dari hari ke hari. Tapi hasilnya nihil. Dia sama sekali tidak kesini selama 4 hari ini. Fuck!
Hari Selasa aku mulai memutuskan untuk menunggu seperti orang idiot di dalam mobil yang kuparkir di lahan parkir kafe Gemma. Sengaja kuparkirkan agak jauh dari bangunan kafe agar aku bisa melihat ke arah seberang, ke arah bangunan yang aku duga adalah sekolah Kimora. Aku dapat melihat sosoknya yang terlihat sangat mirip Gemma. Tapi dia digiring oleh seseorang yang aku yakini adalah seorang sopir yang diutus untuk menjemputnya.
Shit!
Aku tidak ingin hari ini berlalu tanpa hasil. Tidak setelah aku berubah menjadi lelaki yang terobsesi dengan Gemma dan segala hal tentangnya. Aku mengikuti kemanapun mobil itu melaju, tentunya dengan menjaga cukup jarak agar tidak terlihat mencurigakan. Ketika mobil itu berbelok ke arah sebuah perumahan yang jaraknya 20 menit perjalanan dari kafe, kupelankan laju mobil untuk menambah jarak.
Aku memberhentikan mobilku di depan rumah yang kuyakini kosong ketika mobil itu masuk ke sebuah pekarangan rumah yang luas. Aku melihat Kimora turun dari mobil dan menyalami seorang wanita yang berusia sekitar 60-an. Kemudian mereka masuk ke dalam rumah dan sopir itu menutup gerbang yang membuatku kesal karena tak sempat melihat apakah mobil Gemma ada di dalam atau tidak.
Aku berdiam cukup lama di dalam mobil hingga jariku keriput karena dingin. Kepalaku hampir meledak memikirkan skenario-skenario yang mungkin aku lakukan setelah ini. Apakah aku harus membunyikan bel dan mencoba peruntunganku untuk bertemu Gemma ataukah aku harus berhenti disini dan menghentikan segala bentuk kegiatan menguntit ini.
Tubuhku bergidik membayangkan diriku, seorang Xabiru Daniswara, dengan segala hal yang sanggup membuat laki-laki iri setengah mati dengan apa yang kupunya dan para perempuan bersujud hanya untuk kuciumi tanpa hasrat, berubah dari sosok lelaki yang dipuja menjadi sosok penguntit.
Akal sehatku menang dan aku memutuskan untuk keluar dari kompleks perumahan itu. Mengingat nama jalan dan nomor rumah itu dalam memoriku. Tidak akan membiarkan satu hal pun tentang Gemma luput dariku. Tidak lagi.
***
Dan disinilah aku, dua hari kemudian. Gemma berada dalam jangkauanku. Bersentuhan. Mengabaikan segala tatap penuh dengki dari para ibu-ibu yang kurasa tidak lagi mendapatkan kepuasan di ranjang, sehingga melakukan satu-satunya hal yang mereka bisa: bergosip.
Aku nyaris saja ingin menggunduli rambut wanita berlipstik merah menyala yang dengan angkuhnya mengatakan bahwa Gemma adalah janda. Ia mengatakan status itu layaknya sebuah virus yang menular. Dengan begitu, menjauh dari sumber virus adalah satu-satunya cara. Tidak hanya itu saja, wanita itu bahkan berasumsi bahwa Gemma lah biang kerok dalam rumah tangganya, mengatakan bahwa Gemma mungkin suka bergenit-genit dengan lelaki yang membuat suaminya menceraikannya. Pada akhir pembicaraan, ia menghasut yang lain agar menjaga para suami sebaik-baiknya dari incaran Gemma. Oh, betapa aku ingin menutup mulutnya dengan lakban.
Tapi itu tidak kulakukan. Karena aku tahu jika kulakukan Gemma akan semakin menjauhiku. Dan aku benar. Aku mengapresiasi kesabaranku karena kini aku berdiri bersebelahan dengannya, rambutnya yang terkena angin menggelitik tanganku yang berada di lengannya. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya tapi aku merasa ia sedang memikul beban yang terlalu berat dalam hidupnya.
Namun ketika aku melihat sosok Kimora dan kulepas tanganku pada lengannya, ia langsung melambaikan tangan seolah segala beban telah diangkat dari tubuhnya. Gadis kecil itu menubruknya dan menghujani wajahnya dengan ciuman, sama persis seperti yang dia lakukan di kafe. Dan entah untuk alasan apa, hatiku berdesir. Kehangatan menyeliputi ragaku, membuatku tenang. Nyaman.
Setelah ia mengenalkanku sebagai temannya pada Kimora, yang ternyata ia panggil Kim, aku hendak pamit dari hadapannya sebelum dia berdiri ragu-ragu di depan pintu mobilnya.
"Saya dan Kim biasa makan ice cream setiap Hari Kamis." katanya dengan mata menatap Kim, terlihat ragu sejenak sebelum berkata, "Mungkin kamu mau ikut?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Silver Lining ✅ END ✅
RomancePerjuangan seorang Gemma Andriana dalam menjalani hidup setelah kejadian memilukan 5 tahun lalu. Kedatangan Biru mengubah hidupnya dan memberikan secercah kebahagiaan yang pantas ia dapatkan. Ketika ia mulai mengizinkan Biru untuk masuk ke dalam keh...