Aku Haris(sa)

61 5 0
                                    

.....

Hai 😀












Happy reading

















__________________________





Haris...

Perkenalkan.
Namaku Harissa.





Dulu saat Ibu menggendong kita di atas setapak, kamu yang menarik rambutku dari belakang. Membuatku menangis dan berujung kita yang harus menyentuh lumpur beranjak di gandeng Ibu.

Kala itu pijar lampu masih tampak sangat memukau Haris, kita biasanya menanti lampu jalan menyala bersama-sama, memamerkan gigi pongah depan dalam tertawa. Lantas setelah pijar itu datang, Bapak akan menyeret mu. Berjalan tergesa menuju Surau, dan Ibu akan menggendongku. Kita pulang kerumah untuk sholat magrib.


















Haris.





Waktu itu aku masih mengusap ingus di permukaan rok warna merah, meninggalkan noda putih terpeper. Jun selalu menggangguku, dia tuyul sipit kecil yang selalu merusak kuncir karet banyak bikinan Ibu. Kau selalu mendorongnya dan berteriak agar menjauh.







Tapi kalian tetaplah teman dekat.












































Haris.



Bunga matahari ku tumbuh cantik.
Secantik senyummu satu detik setelah menerima uang dua ribu dari kantong Bapak. Kita membeli permen, dengan jumlah cukup.

Kata Ibu, cukup itu artinya sudah banyak. Jadi kita tak perlu menambahkannya lagi. Dan kata Nenek, banyak itu artinya lebih. Jadi kita haruslah berbagi.












































Di detik ini, aku masihlah selalu merindukanmu. Meski kamu dekat namun semuanya menjadi jauh. Padahal dulu, kala sungai masih ada di belakang ladang Kakek kita masih bisa mandi bersama, bermain perandaia jika saja bentang sungai itu adalah kolam renang raksasa milik kita sendiri. Kau selalu mengajak Jendral, Jun, dan juga Janes untuk memancing. Sementara aku hanya duduk di tengah memegangi toples biskuit berkarat penuh cacing dan lumpur milik kalian.










Kita masih se dekat itu, Haris. Hingga akhirnya garis pertumbuhan menarik kita menjadi renggang.









































Haris.






Terik datang lagi.
Di panas yang dulu, kita sudah memakai seragam biru gelap. Kau tiba-tiba saja pulang di seret Bapak dengan muka yang sama-sama masam. Ibu menjerit kala Bapak dengan marah menghantamkanmu ke ubin putih rumah kita. Tetangga berkerumun, Haris. Dan aku ketakutan.








Bapak membentakmu, bertanya bagaimana rasanya menegak arak. Atau gimana caranya mengeluarkan asap dari hidungmu. Maklum Haris, Bapak tidak tahu. Yang beliau tahu hanya bagaimana punggung rapuhnya bisa merontokkan uang untuk kita bersekolah.





Kau marah sambil terisak, menyahuti segala perkataan Bapak. Padahal kata Bu Taya, itu namanya membangkang Haris. Tidak boleh.


Setelahnya kau pergi begitu saja, menyeret tubuh lebam milikmu meninggalkan rumah, menyibak kerumunan tetangga kita. Ibu ingin mengejarmu, namun tangan bergetar Bapak menahan perutnya. Aku masih saja berdiri kaku di ambang pintu, bahkan setelah semuanya beranjak aku masih membatu. Menunggumu pulang meski sudah larut.

Haris(Sa) | HAECHAN√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang