Orang-orang selalu mengatakan jika hujan adalah situasi yang tepat untuk menggambarkan patah hati. Dua puluh tahun sejak pertama kali aku menangis di dunia ini, ku pikir hujan tak pernah semenyedihkan itu. Untuk ku sendiri, hujan seperti penghapus yang bisa menepis kesendirian karena suaranya khas dan menenangkan.
Maksudku, bukankah suara air yang jatuh ke tanah kering menciptakan suara dan aroma yang khas? Hal yang menarik perhatian tiap kali merasakan rintikan kecil jatuh ke bagian wajahmu.
Seperti hari ini, hujan turun meski tak cukup deras. Aroma tanah yang khas, awan yang berwarna keabu-abuan, gemuruh kecil yang sesekali terdengar, tapi untuk pertama kalinya aku tak menikmati tumpahan air dari gumpalan awan keabu-abuan tersebut.
Untuk pertama kalinya, aku merasakan sakit yang teramat sangat sampai kesulitan untuk bernapas meski lukanya sama sekali tak berbekas. Masih untuk pertama kalinya, aku tak bisa mengenali suara yang keluar dari pita suara ku sendiri saat suara tangisku menyatu dengan suara hujan.
Tiga tahun lalu, hubungan pertemananku dan Reza berubah status menjadi sepasang kekasih. Dia orang yang suportif, rasanya tak ada hari yang tak menyenangkan saat ku habiskan bersama pria berkulit putih pecinta musik itu. Rasanya tak pernah sekalipun kami meributkan hal-hal sepele sampai adu argumen di media sosial layaknya pasangan lain yang ku kenal. Rasanya, hubungan kami berjalan baik-baik saja.
Dia memang bukan tipe orang yang sering menghubingi, ku maklumi karena kesibukannya kuliah dan manggung sana-sini bersama band yang lebih dulu ia kenal, pun aku juga terlalu banyak menghabiskan waktu dengan pekerjaanku selepas lulus SMA.
Iya, tak seperti Reza. Aku memilih segera bekerja untuk membantu keluargaku. Tidak, tidak. Keluargaku lebih dari kata berkecukupan. Mama seorang wanita karir di perusahaan cukup besar sementara Papa adalah pemilik bengkel yang usahanya tak bisa diremehkan juga.
Hanya saja, menjadi orang yang tak menyulitkan mereka untuk biaya pendidikan adalah pilihan ku sejak dulu. Tahun ini, pada awal juni aku berencana mendaftar kuliah jurusan tataboga.
Sama seperti kebanyakan band-band lainnya. Band yang digarap oleh empat orang tersebut memiliki Rere sebagai vocalnya. Dia cantik, suara serak-serak basah dan beratnya menjadi alasan mengapa cukup banyak orang yang menyukai lagu-lagu nan mereka bawakan. Aku sendiri, sebagai sesama wanita mengagumi Rere tiap kali menonton mereka manggung saat Reza mengajakku ikut bersama mereka.
Banyak orang tak mempercayai ucapanku ini. Tapi, aku tak pernah meletakan rasa cemburuku pada Rere. Bagiku, dia adalah sosok kakak perempuan yang selama ini ku impikan mengingag aku yang hanya seorang anak sulung dalam keluarga. Rere adalah wanita baik yang sering memberikan saran dan wejangan saat kami bertemu entah itu tentang hidup atau tentang Reza.
Untuk orang yang lebih banyak menghabiskan waktu bersama, tentu saja aku merasa bahagia saat Rere melakukan itu untukku. Reza alergi kepiting, orang yang membuatku mengetahui itu bukan lah dari mulut Reza sendiri atau pengalaman kami saat makan bersama. Rere adalah orang yang menyampaikan hal tersebut padaku.
Reza selalu telat datang setengah jam dari janji yang disepakati, Rere juga yang memberitahukannya padaku. Reza adalah orang yang setia pada orang yang dia cinta. Rere adalah orang yang paling sering melantangkan kalimat itu padaku. Dan untuk pertama kalinya, aku... Andin P. Ningrum melihat dengan mata kepalaku sendiri seberapa setianya pria bernama Nureza Abdi Pratama pada orang yang ia cintai.
Hari ini Reza ulang tahun ke 21 tahun. Sebagai orang yang sudah bersama selama tiga tahun, tentu saja aku ingin memberikan kejutan untuknya meski tadi pagi ia memberi kabar tak bisa bertemu karena kesehataannya yang tiba-tiba ambruk.
"Lagi musim korona Din, jangan kesini dulu ya. Nanti kalau aku udah mendingan pasti aku kabarin. Love you."
Pesan singkat yang ia kirim masih bisa ku ingat dengan sangat jelas. Kalimat yang membuat aku sedikit nekat untuk datang ke kontrakannya berharap ia tak apa-apa. Berharap menemukan ia sedang terbaring dan akan sedikit memarahiku saat mendapatiku ada dihadapannya begitu ia bangun.
Nyatanya? Yang ku dapati di tempat tidurnya adalah Reza dan seorang wanita cantik tanpa sehelai benang pun di tubuh mereka sedang berpagut lidah. Desahan yang mereka lengguhkan bagai denging yang membuatku tak dapat mendengar apa-apa lagi.
Rere, wanita cantik yang menoleh tanpa berdosa saat menyadari kehadiranku itu adalah wanita yang ku banggakan dan tanpa segan ku bela tiap kali teman-teman terutama Bimo bicara buruk tentangnya.
Cake dengan topping buah yang selama ku pegang jatuh ke lantai. Bentuknya yang hancur seolah tengah mengolok-olok ku yang hanya bisa tertawa tak percaya pada apa yang ku lihat saat itu.
"Andin kok kesini? Padahal gue udah chat pake no Reza buat nggak usah dateng."
Aku tergelak. Tentu saja keduanya menatap aneh reaksiku saat itu. Menangis? Jika saja bisa. Aku ingin menangis saat ini juga. Tidak. Aku lebih ingin mencakar wajah wanita yang ku banggakan sebagai kakak perempuan ku bersama pria ku itu menjadi kepingan tak berharga. Anehnya, seolah hati dan otak ku berhenti bekerja. Aku hanya bisa tergelak sambil bertepuk tangan. lalu dengan bodohnya meninghalkan kontrakan Reza tanpa dikejar oleh siapapun juga.
****
"Bim, kamu pasti udah tahu ya?"Diantara segukan dan ingus yang menetes keluar. Aku menatap Bimo yang baru saja datang setelah ku telpon sepuluh menit lalu. Ia tak menjawab, helaan napas yang ia keluarkan setelah menatap ku cukup lama dengan pandangan kasihan cukup menjadi sebuah jawaban untukku. Jahat. Dia orang yang jahat.
"Gue kan udah sering ingetin lu."
"Harusnya kamu bilang kalau mereka masih...!"
Hening. Tentu saja aku tak dapat melanjutkan kalimat ku tersebut. Setelah menjalin hubunhan hampir dua tahun lamanya, aku baru tahu jika Rere adalah mantan dan cinta pertama Reza. Wanita yang memutuskan Reza saat menemukan pria yang lebih menarik namun juga menjadi wanita yang tak ingin melepaskan Reza seutuhnya. Sementara aku, adalah orang yang percaya pada Reza. Orang yang percaya jika hubungan mereka sudah berakhir bahkan sebelum kami berdua menjalin kasih. Tapi nyatanya?
"Aku..."
"Gue tahu. Maaf. Harusnya gue kasih tau lu lebih jelas. Gue cuma nggak mau nyakitin lu."
"NYATANYA SEKARANG LEBIH SAKIT BIM!"
Seolah melihat Reza pada diri Bimo, aku menaikan suaraku. Meneriakinya dengan semua ledakan amarah yang terlambat datang. Mencoba menjadikannya pelampiasan emosiku yang tak tahu harus ku tumpahkan pada siapa.
"Iya.. iya"
Sambil bicara begitu, pria ini mengeluarkan tissue dari saku jaketnya. Menyeka semua air mata dan ingus dengan rasa asin di sudut lisahku. Bimo memang begini, dia adalah orang yang terasa seperti papa. Dibanding Reza, dia jauh lebih sering menghabiskan harinya bersamaku saat Reza sibuk dengan urusannya. Namun tak sekalipun terlintas di kepalaku untuk berselingkuh dengannya. Bagiku, kehilangan Bimo seperti kehilangan dunia kedua ku setelah Reza.
"Bim... Dia tidur sama Rere. Reza bahkan nggak pernah cium pipi aku."
Aku kembali menangis. Kali ini, dengan menarik-narik lengan jaket lepis yang Bimo kenakan.
"Well, I will kill him if he trying to touch you anyway. Lu tahu, bokap lu nitipin lu ke gue dari orok juga."
Aku terkekeh sebentar sebelum kembali menangis. Hujan hari ini mungkin jadi hujan yang menyedihkan, tapi Bimo adalah payung yang egoisnya selalu aku bawa.
The end