siete

1K 87 3
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.
.
.
.
***



Orang bilang hidup adalah sebuah pilihan. Di mana kau harus memilih jalan yang mana ingin kau tempuh menuju tempat tujuan. Yang berliku-liku tajam dengan jalan rata, atau jalanan lurus namun dipenuhi oleh lubang-lubang rusak. Tidak ada pilihan yang sempurna, tentu saja. Tuhan tidak menciptakan makhluknya hanya untuk sekedar melalui hidup yang terasa sempurna begitu saja.

"You sure you okay?"

Yang ditanyai mengangguk pelan sembari menatap refleksi dirinya melalui pantulan cermin di hadapan. Sungging tipis terselip pada sudut bibirnya, itu adalah bentuk seringai remeh yang ia tujukan untuk dirinya sendiri. Si pelacur kotor.

"Kau tidak perlu menjadi baik-baik saja di depan ku, Changbin."

Hyuna barangkali adalah satu-satunya orang yang paling mengerti akan dirinya. Tanpa perlu pengakuan melalui rangkaian puluhan kata. Wanita itu mengelus pucuk kepalanya dengan rasa sayang yang benar-benar tulus, antar teman pada karibnya. Atau seorang ibu pada anaknya.

"Kadang aku berpikir, apa kah akan baik-baik saja jika aku mengakhiri perjalananku melewati jalan pintas. Kau tau, Heojun tak suka dengan jalan yang aku pilih untuknya. Aku membuatnya harus merasakan lelah yang teramat sangat, hingga akhirnya semua kekesalan itu dilempar padaku dalam bentuk kekecewaan." Changbin meraih jemari Hyuna pada kepalanya, meremat jemari lentik wanita itu begitu erat. Seolah dirinya merintih dari remasan tangan tersebut.

"Aku menyayanginya. Sebab hanya Heojun yang aku miliki saat ini. Melihatnya menderita begitu membuat ku pun perlahan-lahan hancur. Kalau boleh jujur, aku pun merasa jijik pada diriku sendiri. Aku benci dengan kenyataan aku tidak dapat melakukan apapun untuk membuatnya bahagia. Aku menghancurkan hidupnya. Apa aku masih pantas di anggap sebagai seorang kakak?"

Hyuna kembali mendekap kepala itu, pada pelupuknya terdapat genangan air yang sewaktu-waktu dapat turun jatuh ke peraduan. Wanita itu merasa sangat iba pada karibnya tersebut.

"Aku akan menemui Heojun nanti. Kau pulang lebih dulu dan segera istirahat. It's okay baby, it's not your fault. Semua yang terjadi biarlah terjadi dan berlalu, pilihan yang kau ambil untukmu bukan sepenuhnya kehendak mu. Keadaan yang memaksa, maka biarkan semuanya mengalir seperti air. Keadaan akan membaik seiring berjalannya waktu, setidaknya percaya lah pada satu hal tersebut."

***

Changbin tidak sepenuhnya menuruti Hyuna, alih-alih membawa tungkainya berjalan lambat serta melangkah sembarang arah.  Cuaca dingin benar-benar menusuk tulang, namun bukan hal tersebut yang membuatnya mengendar binar sendu di bawah cahaya bulan yang temaram tersebut.

Menemukan sebuah kursi yang nampak kesepian, ia pun memutuskan untuk mengistirahatkan kakinya di sana sementara. Hingga tidak menyadari bahwa bangku panjang itu bukan hanya diduduki oleh dirinya sendiri. Tetapi Changbin memilih untuk tidak menyadari hal tersebut, terlalu menopang beban pada bahunya yang cukup lebar namun tetap tidak memadai.

"Permisi, apa kau punya korek api?"

Changbin cukup terkesiap kala sebuah suara menerobos rungunya yang nyaris pekak oleh suara-suara yang saat ini berteriak nyaring di dalam kepalanya.

Ia pun menolehkan kepalanya pada sumber suara yang menegur dirinya tersebut, sama sekali tidak berpikir akan menemukan sosok yang membuat hatinya gundah malam itu. Meski tidak sepenuhnya bisa menyalahkan orang tersebut. Namun cukup untuk membuat pemuda Seo itu tertegun, begitu pun pria yang barangkali menyesal telah menegurnya.

Laki-laki itu Kim Seungmin, orang yang beberapa jam lalu melontarkan kebencian padanya secara terang-terangan. Changbin secara kontan menaikkan sudut bibirnya, tersenyum manis. Tetapi tidak dengan matanya yang masih menyorotkan kesedihan yang tidak ingin diakui.

"Oh, kita bertemu lagi."

Seungmin tampaknya tidak senang akan takdir yang mengharuskan dirinya kembali bertemu dengan si penari telanjang. Pria itu sesegera mungkin membawa tubuh jangkungnya bangkit, hendak pergi dari sana meninggalkan pemuda Seo itu sendirian.

"Mau merokok bersama? Ku rasa kita harus mengenal lebih jauh, kau tidak terlihat se-brengsek mulutmu." Entah kenapa malam itu ia ingin ditemani oleh orang asing. Yang bahkan tidak mengenalnya ataupun tertarik padanya. Bukankah itu keputusan yang bagus untuk meluapkan isi hati yang telah sesak pada seseorang yang tidak dikenal, toh keduanya pun tidak akan dan tidak perlu bertemu lagi di kemudian hari.

Sepertinya Seungmin tidak tertarik akan tujuan yang tidak ia utarakan tersebut. Memilih untuk kembali tidak peduli sembari meneruskan langkah meninggalkan yang lebih muda sendirian. Dan Changbin kembali berbicara memecah hening di malam yang semakin dingin dan gelap tersebut.

"Kau benar. Aku memang pelacur menjijikkan, aku suka bagaimana cara kau mengatakan itu secara jujur padaku. Setidaknya aku sadar diri bahwa aku memang bukan emas, aku hanyalah seonggok sampah busuk yang bahkan tidak dapat terurai." Changbin mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya, lengkap dengan korek api yang tadi Seungmin tanyakan. Kemudian membakar batang nikotin itu hingga habis menyisakan asap, lantas menyesapnya dalam-dalam seolah kehidupannya berasal dari sana.

"Aku juga tidak mau begini, rasanya sangat kotor. Aku ingin berhenti tapi tidak tau bagaimana rasanya." Kepul asap yang berasal dari tembakau itu keluar melalui bibir delimanya yang sekarang telah pucat pasi berkat suhu dingin. Beberapa lolos dari hidungnya menggantikan peran oksigen sebagai sumber kehidupan.

"Kau pernah ke sungai Han, kan? Mereka begitu tenang seolah dunia baik-baik saja. Apa mungkin jika aku terjun ke sana, aku pun juga akan merasa lebih baik? Kau juga berpikir begitu?" Changbin memandang tumpukan salju yang ia pijak, beberapa butiran es itu menempel pada sisi sepatu yang ia kenakan. Kepalanya menunduk dalam, pertanda bahwa beban pada pundaknya semakin menumpuk dan membludak.

Seungmin betah bungkam selagi membiarkan pemuda bermarga Seo mengutarakan keluh kesah yang lebih seperti untaian kalimat perpisahan yang penuh keputusasaan.

Ia memutar tubuh untuk memandang objek yang kini telah diam, rokok yang berada di sela-sela jari pendek itu di biarkan terbakar oleh angin malam yang hampa. Terlintas pada pikirannya bahwa saat ini Changbin barangkali tengah terisak. Dilihat dari bagaimana kini kedua bahu yang cukup bidang namun nampak rapuh itu bergetar.

"Apa aku boleh tanya sesuatu?" Changbin mengangkat kepalanya lambat, seolah-olah lehernya tengah memikul sesuatu yang berat. Dan saat wajah itu kembali jadi titik fokus pandang si pria Kim yang kali ini tak membuang muka, mimik sendu yang begitu nelangsa itu jadi satu-satunya hal yang membuat hatinya mencelos.

"Apa aku masih pantas untuk hidup? Kau tau, bahkan adikku sendiri berharap sekarang aku mati. Apa kau juga berpikiran yang sama?"

Seungmin pikir yang pertama kali akan ia temukan adalah air mata menganak sungai mengalir dari kedua mata bulat kecil tersebut. Tetapi perkiraannya salah kaprah, tidak ada satupun air menggenang di sana meskipun terlihat begitu terluka.

"Aku pinjam korek mu."




Ternyata melihat orang asing menderita bahkan sama menyakitkannya ketika seseorang yang paling berharga bagi diri kita pun melalui hal serupa.

.
.
.
.
.
.
.
***




:))


ANIMALS  | 19+ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang