Fabian menyimpan tasnya ke atas meja kerja. Dia menarik kursi lalu terduduk sambil membuang napas panjang. Beberapa hari ini ia mendapatkan pekerjaan tambahan karena beberapa ruangan hotel membutuhkan fasilitas baru. Belum lagi ada pintu hotel yang rusak karena terjadi perkelahian tamu tadi pagi karena tak sengaja bertabrakan di koridor.
Dengan gerakan malas, Fabian merogoh saku jasnya dan mengeluarkan ponsel. Dia segera menghubungi nomor paling atas di catatan panggilan, Kinan. Dan tidak membutuhkan waktu lama, panggilan itu terhubung. Hanya saja, suara di seberang sana terdengar ramai.
“Kamu lagi di mana?” tanya Fabian. Sepertinya, perempuan itu tidak langsung pulang.
“Di Lycka, sama Aya,” jawab Kinan dengan cepat. “Berisik banget, ya? Aku masuk dapur kesayangan Aya, lho, lagi belajar masak. Habisnya, kamu malah lembur, mama juga jalan sama temen-temennya, jadi aku sama Aya aja.”
Tanpa sadar, sudut bibir kanan Fabian tertarik. Selalu begitu, Kinan yang nanya, dia juga yang menjawab. Biarpun kata orang dia itu kelewat cerewet, tetapi Fabian akan selalu menyukai celotehannya.
“Terus, pipi kamu sekarang gimana?”
“Masih perih. Kayaknya ibu-ibu tadi atlet angkat besi, deh, Yan. Sampe sekarang masih kerasa. Waktu solat tadi aku minta supaya enggak dipertemukan lagi sama dia. Hih, serem!”
Kali ini, Fabian tidak bisa menahan kekehannya. Mendadak semua rasa lelahnya menghilang entah ke mana setelah mendengar segala curahan Kinan. Jika dipikir ulang, tidak penting membicarakan doa. Namun, bukan Kinan namanya jika tidak membicarakan hal yang sepele. Dan hal itulah yang membuat Fabian teramat menyukainya.
“Kamu masih suka ikan mas kuah kemangi, 'kan?” tanya Kinan di seberang sana. Suara dua permukaan alat masak mendominasi panggilan mereka. “Kata Aya, kamu sukanya itu, makanya aku minta dia ajarin masak. Selera kamu masih sama, 'kan? Atau sekarang sukanya sama yang lain?”
Untuk beberapa saat, Fabian hanya terdiam. Ternyata, lo masih ingat sama makanan favorit gue, Ya. Tersadar Kinan menunggu jawaban, Fabian segera berucap, “Iya, aku masih suka ikan mas kuah kemangi.”
“Syukur, deh, Aya gak salah inget.” Kinan mengembuskan napas lega. “Besok pagi kamu datang ke rumah aku buat sarapan. Pokoknya, jangan makan apa-apa dulu dari rumah, perutnya harus kosong. Terus, nanti kamu kasih penilaian masakan aku. Harus yang jujur, enggak boleh bilang enak kalau ada yang kurang. Biar nanti aku bisa introspeksi.”
“Iya, iya. Aku enggak akan sarapan besok.” Selalu begini, Fabian mengalah untuk segala kemauan Kinan. Namun, dia melakukannya bukan atas keterpaksaan, melainkan secara suka rela. Karena cinta. “Kayaknya kamu sibuk banget. Bahaya kalau main HP dekat kompor, takutnya meledak, lho. Aku juga mau mandi ini.”
“Oke. Nanti aku kabarin lagi, ya. Bye, I love you!”
Lagi, Fabian tersenyum karena Kinan. “Hmm, me too.”
Panggilan itu berakhir. Fabian memandangi kontak Kinan dengan senyum yang mengembang. Hanya 3 menit, tetapi itu berhasil membuatnya bersemangat kembali setelah bekerja hampir 12 jam. Kinan dengan segala ocehannya memang akan selalu membawa sihir tertentu untuk Fabian.
Sementara di dapur Lycka, Aya melemparkan tatapan tajam pada sahabatnya. “Hati nurani lo udah mati, ya? Tebar kemesraan di depan jomlo menahun.”
Kinan terkekeh mendengar sindiran Valya itu. Dia fokus mengulek bumbu seperti yang sudah diinterupsikan oleh sang koki. “Cuma bilang cinta apanya yang mesra, sih? Itu hal yang wajar kali, Ya. Dan kalau lo enggak mau ngenes-ngenes banget tiap kali denger gue kayak barusan, cari pasangan, dong.”
“Belum ada yang srek,” jawab Valya tanpa melirik Kinan. Pandangannya tertuju pada ikan mas yang sedang ia bersihkan. “Lagian, bahagia bukan selalu tentang punya pasangan aja, 'kan? Gue bahagia sama kehidupan gue yang sekarang. Kafe gue maju pesat, duit gue banyak, terus juga punya anak manja kayak lo. It's perfect.”
“Perfect dari mananya? Tiap kali gue main ke rumah, nyokap lo nanya mulu lo udah punya pacar atau belum.”
Yang bisa Valya lakukan hanya mendengkus kasar. Memang, di antara orang-orang di sekitarnya, ibunyalah yang paling banyak menanyakan hal itu. Beliau seperti tidak bosan menanyakan hal yang sama setiap Kinan berkunjung ke rumah mereka. Bahkan, beliau juga pernah meminta Kinan untuk memperkenalkan putri sulungnya ke teman laki-laki. Sepertinya, dosa terbesar yang pernah Valya lakukan adalah melajang di usia 25 tahun.
“Emang Tristan gimana?”
Sontak saja Valya mengernyitkan kening mendengar nama itu. Cepat-cepat dia mencuci tangan dan menyambar air dari galon. “Tristan gimana, apanya?”
“Gak usah pura-pura bego, deh. Bego beneran tahu rasa lo!” cibir Kinan. Dia menyimpan ulekan dan memutar badannya untuk fokus pada Valya. “Lo bilang dia sering chat lo, 'kan? Gue lihat-lihat di Instagram, orangnya ganteng, kok. Dia juga punya aura orang baik dari fotonya. Emang, sih, caption fotonya suka agak nyeleneh, tapi kelihatannya cocok aja sama lo.”
“Cocok apanya, sih? Kita enggak ada apa-apa, kok. Dia gitu enggak sama gue doang, sama cewek lain juga.”
“Masa, sih? Tapi, gue lihat-lihat, dia enggak pernah posting sama cewek lain, deh. Poto sama lo doang.” Kinan kembali berbalik, fokus dengan tugasnya. “Jangan jual mahal banget sama cowok, Ya. Udah dikasih yang ganteng sama baik, masih aja nolak.”
“Bukan nolak, tapi emang kita cuma temen. Dia juga orangnya gak bisa serius tahu, Ki. Selalu aja bercanda.”
Yang sedang menjadi pembicaraan mereka adalah Tristan Pradipta, lelaki yang akhir-akhir ini dekat dengan Valya. Namun, dia selalu datang dan pergi. Satu waktu bisa menempel pada Valya seharian, lalu besoknya menghilang seperti ditelan bumi. Memang, itu semua bukan disengaja. Tristan sibuk magang di salah satu firma hukum di Sumur Bandung. Dan seperti yang Valya katakan, orangnya tidak bisa serius. Dia terlalu banyak bercanda.
“Pokoknya, kalau nanti lo ketemu sama dia, tanya dia ada perasaan atau enggak sama lo. Kalau ada, langsung jadian aja. Gue enggak mau nanti lo datang tanpa gandengan ke nikahan gue sama Fabian.”
Lagi, Valya tersedak karena ucapan sahabatnya sendiri. Memang, mulut Kinan itu agak ajaib. “Nikah? Kalian berencana nikah dekat-dekat ini?”
“Enggak, lah. Baru juga gue kerja, masa mau nikah aja. Itu baru imajinasi gue aja, Ya. Lagian, kalau enggak sama Fabian, mau sama siapa lagi?”
Terserah anak itu mau bicara apa, Valya tidak mau terlalu memikirkannya. Baru 3 bulan pacaran, dia sudah memikirkan pernikahan saja. Namun, jika memang mereka diciptakan untuk satu sama lain, tentu Valya akan sangat bahagia. Sejauh ini, tidak ada yang bisa membahagiakan Kinan sebaik Fabian. Dia hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk mereka berdua.
*
*
*Sahabat emang suka yang paling kompor buat jodohin kita yaaa. Apalagi kalo jomlo menahun kayak Valya, pantes aja Kirani semangat 45 banget.
Eh, tapi Tristan siapa, yaaaa?
Bini Ceye,
19.00, 05 November 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilemma [Tamat]
RomanceCinta bisa datang karena terbiasa, beberapa orang setuju akan hal itu. Cinta juga bisa menyelinap diam-diam dalam interaksi dua insan yang kata orang 'tidak seharusnya mereka jatuh cinta'. Sejatinya, cinta adalah perasaan suci yang membawa perdamaia...