Selamat datang, selamat membaca.
***
"Apa yang mereka lakukan di pabrik jelek itu?" Doxi mendengkus, lalu lanjut berjalan sambil menjaga jarak dengan sepasang insan di depannya.
Lelaki itu masih menentang minuman yang dibelinya tadi. Setelah melewati jalan setapak dengan kanan-kiri rimbun, dia pun turut masuk ke dalam gedung. Ini kali pertama Doxi menginjakkan kaki di sana. Botol-botol di sepanjang lorong membuatnya bersiul. Sangat Bleedpool.
Entah mengapa, Zealire dan Shaq mengintip lewat jendela kecil ke sebuah ruangan. Doxi yang penasaran ikut melihat ke dalam melalui jendela lain. Tatapan matanya langsung berserobok dengan seorang lelaki bergaya preman dengan celana robek-robek. "Hei! Siapa di sana?!"
Doxi mengumpat, lalu lekas bersembunyi. Dia yakin melihat mayat beberapa orang di sana. Untuk sesaat, tidak terdengar tanda-tanda seseorang mendekat. Otaknya langsung mencerna keadaan. "Oh, si Beban dan Berandal itu yang mereka kejar."
Dia keluar dari balik pilar, lalu mengintip bagaimana usaha Shaq berlari sambil menggendong Zealire. Doxi terkekeh, merasa terhibur. Apalagi saat mereka berdua jatuh. Mereka berhasil melarikan diri setelah Shaq meninju dua orang yang mengejar. Doxi diam-diam berlari mengikuti mereka, sesekali berdecak melihat lari Zealire seperti siput. "Dasar beban."
Cukup lama dia membuntuti aksi kejar-kejaran itu, hingga Shaq dan Zealire tidak terlihat lagi. Para pengikut Esme meneruskan pencarian, sedangkan Doxi berhenti di tempat menghilangnya Shaq dan Zealire. Dia menyisir setiap penjuru yang memungkinkan untuk bersembunyi.
Kakinya melangkah mantap pada sebuah pintu yang tertutup. Intuisinya, mereka ada di sana. Doxi langsung menggedor pintu sambil berteriak.
Di dalam ruangan itu, Zealire menahan Shaq yang akan membuka pintu. "Dia seenaknya berteriak begitu, bisa jadi salah satu pengikut Esme."
Shaq terkekeh. "Tampangnya memang merujuk ke situ, tapi aku yakin dia bukan. Pintu itu harus dibuka agar bisa kuhajar dia karena berani menganggu kita."
Mendengar itu, Zealire kembali bersemu. Shaq mendorong boks-boks yang menahan pintu, lalu menarik kenop dan membukanya. Doxi pun tampak, masih dengan barang yang dibelinya tadi. Dia langsung melenggang masuk melewati Shaq yang mengeraskan wajah, lalu duduk di samping Zealire. "Hai, Beban. Kamu lelah? Ini."
Zealire menatap Shaq. Dia tidak mengacuhkan sodoran botol minuman dari Doxi. "Aku tidak haus."
"Yakin? Bukankah berandal itu tidak memberimu apa pun untuk diminum?"
Shaq meregangkan otot-ototnya. Saat dia memiringkan kepala, lehernya berbunyi. Zealire meringis. "Ambil, Zea. Kamu butuh minum."
Doxi menyeringai. Merasakan aura dingin yang menantangnya, lelaki itu bangkit. Zealire mengeratkan genggaman pada botol pemberian Doxi, perasaannya waswas. "Kalian mau ngapain?"
"Aku sudah bilang akan menghajarnya, 'kan?" Shaq mengangkat sebelah alis, tersenyum culas saat Zealire mengangguk. "Maka aku akan menghajarnya."
"Baiklah. Kita buktikan siapa yang sungguhan jantan." Doxi bersandar pada dinding, dua tangannya masuk ke dalam saku celana. Sebelah kaki berpijak pada dinding. Benar-benar posisi orang kelewat santai.
Lelaki bertato naga di depannya mulai melangkah maju. Zealire tertegun. Benarkah dia akan menyaksikan Shaq berkelahi di depannya lagi? Bagaimana jika dia kalah seperti kemarin? Tidak mungkin. Lawannya hanya Doxi, perokok yang selalu berkata tajam.
Doxi mulai mengubah posisi menjadi siaga. Jarak mereka sudah sangat dekat, tetapi seruan Zealire menginterupsi. "Berhenti!"
Wajah gadis itu kembali pucat. "Aku mendengar suara orang-orang itu mendekat."
KAMU SEDANG MEMBACA
BLEEDPOOL: ZEALIRE VURBENT [SERIES 3]
Fantasía[SUDAH TAMAT] Zealire Vurbent harus melanjutkan misi mencari peta hanya dalam waktu tiga hari. Bleedpool bukan tempat yang ramah untuk disinggahi. Perampok, bajak laut, penjarah, pembunuh, pengedar, bahkan semua jenis pelaku kejahatan ada di sana. M...