Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk move on? Sebulan, enam bulan, setahun?
Selamanya?
Masa lalu, masa kini segalanya buram seperti kaca berlumut.
Sudah dua tahun sejak Plan pergi meninggalkan Thailand. Meninggalkan keakraban, kehangatan.
Meninggalkan seseorang.
Ia pergi kemana saja, tinggal dimana saja. Asalkan jauh. Tidak ada seorang pun yang mengenali. Terasing. Sendiri.
Plan terbiasa mengakrabi rasa sakit. Ia tidak pernah belajar menyembuhkan luka. Ia senang menikmatinya.
Rasa sakit membuatnya merasa hidup.
Merantaulah, untuk menimbun rindu pada jarak dengan tanah kelahiranmu.
Dua tahun sudah berlalu tapi rasa sakit perpisahan masih segar dalam ingatan.
Sore itu di kota asing.
Daun kering di bawah sepatu botnya gemerisik. Burung merpati di sekelilingnya berisik. Orang-orang berjalan, anak-anak tertawa.
Musim gugur, pohon-pohon kerontang. Alam menaburkan warna keemasan, merah, kuning dan orange sementara langitnya terlalu biru.
Sangat biru seperti warna favorit seseorang.
Plan menghirup udara dingin yang bercampur aroma kopi dan roti.
Segalanya tampak cantik. Terlalu cantik sampai terlihat palsu.Seluruh dunia warna-warni.
Sementara ia hampa di dalam. Kelabu.
Sehelai daun orange jatuh di dahinya. Plan mengambilnya, mengamati warna terang yang menyilaukan. Seperti sinar matahari di Thailand.
Terdengar suara tawa.
Plan menoleh.
"Itu hanya daun. Kenapa kamu menatapnya kayak benda langka?"
Seorang cowok berdiri tidak jauh darinya. Ia membawa biola. Plan sama sekali tidak menyadari keberadaannya jika ia tidak tertawa.
Cowok itu terlihat seperti pengguna narkoba. Rambutnya jatuh menutup dahi, mantel kelabu membungkus tubuhnya yang jangkung, celananya robek, sepatunya buluk. Matanya gelap, pipinya tirus dan ia tertawa pada segala hal. Apa dia baru saja menghisap?
"Hei, kamu bukan orang sini kan? Wajahmu sangat pucat dan sedih."
Cowok itu mendekat.Ketika Plan tidak menanggapi, cowok itu terus mencerocos. "Aku akan memainkanmu sebuah lagu."
Dia tidak meminta ijin, tidak menawarkan, hanya memberi tahu.
Plan berdiri diam di sana, tangannya di saku. Tidak berkata apapun.
Cowok itu mengambil biola. Lalu menyandangnya di bahu kiri. Tangan kanannya terangkat. Ia mulai menggesekkan stik ke senar biola.
Matanya terpejam. Dan ia berubah menjadi orang lain.
Nada awal sedikit bergetar. Penggesek melawan senar. Jemari yang lentik dan panjang bergerak lincah. Ringan.
Saat itulah angin berhembus. Ranting bergoyang, daun terbang, perlahan jatuh ke tanah.
Musik itu mengalun di udara musim gugur yang sendu. Daun merah orange terbang diagonal. Sehelai jatuh di rambutnya, di biolanya, di bahu kokohnya.
Plan berdiri di sana, tapi jiwanya berada jutaan kilometer cahaya. Jauh dari manapun.
Plan juga pernah bermain musik. Dulu. Bersama bandnya dia memainkan drum. Mereka menciptakan lagu, menyanyikannya, melompat dari panggung ke panggung. Menerima penghargaan, menikmati sorakan.
Ketika musik berhenti, Plan tersedot kembali ke masa kini.
"Bagaimana?" Tanya cowok itu, senyumnya lebar mengharap pujian.
"Jelek."
"Hei, itu kasar." Cowok itu berjalan mendekat. "Tapi aku kelihatan keren main biola, ya kan? Kamu terpesona padaku."
Plan diam.
"Aku main di bar Wabisabi. Namaku Hope. Datanglah ke sana. Ini alamatnya."
Sebelum Plan sempat bereaksi, cowok itu menjejalkan secarik kertas ke tangannya, lalu pergi.
.
.
.
TBC
Aku nulis ini di notes, kalo ada typo tolong kasih tahu.
Aku lagi seneng nggambar Plan sekarang, bentuk fanartnya ya digital painting biasa. Dulu seneng manual, tapi pensil warna aku jamuraaan... T.T
Kalo dapet 100 votes di sini ntar aku aplotin gambar Plan...
Love you.
February 28 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
BROKEN • END
FanficTidak apa-apa, luka akan sembuh, pikirnya. Ia menghirup udara, lagi dan lagi. Panik dan ketakutan. Seolah dirinya ditenggelamkan hidup-hidup. Dia bertahan sejauh ini. Mati-matian berusaha menutup lubang yang menganga. Mengisi dengan apapun yang bi...