Ada Namun Tiada (1)

34 7 0
                                    

Kosong. Ruangan putih berbau obat-obatan yang memuakkan ini membuatku mual. Aku sekali lagi menggedor pintu seraya mengintip melalui lubang kunci, berteriak seperti kerasukan setan.

"Kumohon, keluarkan aku dari sini! Gadis itu, gadis itu butuh pertolongan! Biarkan aku melihatnya sebentar saja!"

Tak ada orang, tak ada jawaban. Hanya sebuah CCTV di sudut ruangan yang mengawasi tingkahku dalam diam. Aku melempar pandangan penuh kebencian. Kenapa mereka memperlakukanku layaknya orang gila?

***

Semua berawal dari hari itu.

"Makanlah."

Aku mengangguk lemah, meraih sekerat roti yang disodorkan Ibu. Tubuhku memar berbalut perban di sana sini. Rasanya perih dan tidak nyaman.

"Apa saja yang dilakukan orang itu padamu?"

Pukulan. Makian. Makanan basi dua hari sekali. Siksaan rutin dalam ruangan gelap berpencahayaan minim tanpa siapapun yang mendengarkan jeritanku. Aku bergidik mengingatnya.

Ibu menepuk bahuku. "Tenang saja, ia sudah masuk penjara. Sekarang si brengsek itu takkan pernah mencari kita lagi."

Aku tertunduk. Namanya bukan 'brengsek', dia itu ayahku. Sejak Ayah dan Ibu bercerai otomatis aku tinggal bersama Ayah yang tempramental. Menjalani hari-hari penuh teror, aku akhirnya berhasil terbebas setelah para tetangga yang curiga melaporkan Ayah kepada polisi.

"Tidurlah. Kalau ada sesuatu panggil saja aku," Ibu tersenyum dan keluar dari kamar. Aku diam-diam mengikuti, mengintip dari celah pintu. Kudengar Ibu mengeluh.

"Ya Tuhan, aku harus bersama setan kecil itu lagi. Bukankah membuatku menikah dengan si brengsek itu saja sudah cukup? Kenapa anak itu kembali menghantuiku?"

Aku termangu mendengarnya. Tanpa sadar air mataku mengalir. Ternyata Ayah dan Ibu sama saja.

***

Sore itu aku menangis sepuas-puasnya di bawah hujan di atap rumah sakit. Aku memandang sekeliling, menikmati sensasi dingin ketika kulihat seorang gadis kecil berpakaian lusuh meringkuk di samping pagar pembatas. Sepertinya ia juga menangis.

Kuhampiri gadis itu, penasaran. "Kamu sedang apa di sini? Nanti masuk angin."

"Terserah, aku tidak peduli", jawabnya terisak. "Kakak sendiri kenapa ke sini? Apa kamu zombi?"

Aku melirik perbanku yang berwana kemerahan akibat basah, tertawa kecil. "Ah, ini? Tenang saja, ini hanya luka. Aku takkan memakan otakmu."

Gadis itu memandangiku sejenak. Ia mengulurkan tangan. "Aku . . . aku Kara. Nama kakak siapa?"

"Kinar. Salam kenal", aku balas menjabat tangannya. "Oh, ya, kenapa kamu menangis?"

"Masalah keluarga", Kara menjawab singkat. "Kalau Kakak kenapa?"

"Sama."

***

Seminggu kemudian, Ibu kembali menjengukku. Ia datang bersama seorang dokter.

"Bagaimana keadaannya, Dok?"

"Sudah lebih baik, tapi sepertinya anak anda mengalami trauma psikologis. Sebaiknya anda menemaninya agar mempercepat kesembuhannya."

Ibu mengangguk seraya berucap terima kasih. Ekspresinya berubah ketika dokter itu telah pergi. Ia mendesah menatapku.

"Aku harus pergi sekarang. Banyak pekerjaan yang harus kulakukan. Kamu tidak keberatan, kan?"

Ibu meninggalkan sejumlah uang dan buah-buahan di meja. Aku hanya membisu. Pekerjaan, itulah alasan paling logis yang sering dilontarkan ibu ketika menginggalkanku. Namun aku tahu alasan sebenarnya. Ibu tidak menginginkanku.

BaurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang