.
.
.
.
Ketukan kaki menggema di lorong gelap sebuah terowongan. Sepatu boots hitam bersol tebal itu menghentak tegas seakan sang empunya sengaja ingin memberitahu keberadaan. "Kuakk..." bunyi gagak mengikuti, jika dilihat burung kelam itu bertengger santai di bahu seseorang.
Ujung terowongan dimasuki cahaya, perlahan wujud orang itu terlihat. Tubuhnya jangkung mungkin sekitar 180-an cm, ia memakai turtleneck hitam ketat berlapis 2 kimono. Kimono putih biasa dan ditimpa lagi dengan kimono bewarna biru dongker berhias bintang-bintang di bagian bawah. Kainnya terlihat bermassa, berkilau, berkualitas dan mahal. Obi abu lembut bergaris horizontal hitam membebat pinggang sempitnya.
Ditangannya dipengang kiseru yang ujungnya masih berasap, dihisap dalam-dalam. Gagak hitam itu menduselkan bulunya ke kepala hitam si tuan, agak membuat kacamata berframe hitam miring. Sang empu menghembuskan asap tembakau perlahan, sambil membenarkan posisi kacamata. Iris merah darah terlihat, tatapannya tajam namun anehnya lembut secara bersamaan.
Angin dingin menerpa mereka, suara decitan burung dan panorama pedesaan yang khas menyambut. Di depan terdapat jalur kereta dengan palang pembatas jalan yang masih beroperasi. Sekilas tidak ada yang aneh, pemandangan yang menyejukkan mata, hawa tenang pedesaan, dan sepinya penduduk.
Namum bau amis darah yang menguar berkata lain.
Pemuda itu melangkah pelan ke tengah rel kereta api. Ia berjongkok, tangan pucat menjumput tanah basah dan membawanya ke depan hidung mancung.
"kutukan...tapi hawanya terlalu tipis" bisiknya pelan. Gagak disamping kepalanya memiringkan kepala berulang kali.
Kiseru yang telah habis dan dibuang sisa abunya, kemudian disangkutkan ke Obi, ia mengeluarkan sapu tangan dari lengan kimono, mengusap tangannya dari tanah. Seorang kakek bersepeda berhenti, melihatnya heran sekaligus khawatir.
"Nak? Apa yang kau lakukan?" tanyanya sambil menghampiri.
Yang dipanggil menoleh pelan, mengerjabkan mata merahnya bagai burung hantu. Senyum sopan tersungging di bibir kecil. "Ah, tidak. Tenang Kek, saya ke sini bukan untuk hal yang tengah Kakek pikirkan sekarang. Saya hanya bantuan dari Tokyo yang diutus untuk ... menyelidiki kasus yang belakang sedang terjadi di sini." Paparnya pelan.
"Ah, begitu? Benar juga, belakangan banyak orang dari Tokyo yang tiba-tiba datang ke rel ini untuk ... bunuh diri ..." jelas si Kakek, suara semakin pelan ke ujung.
"Mereka datang dari Tokyo? Jauh-jauh ke sini?" tanya Si pemuda, mendekat.
"Iya, bahkan beberapa dari mereka meninggalkan mobil atau kendaraan mereka yang lain di sembarang tempat di sekitar sini." Jawab kakek itu menunjuk ke arah seberang terowongan.
Si pemuda terdiam, kemudian membungkuk sedikit dan meminta pelan "ano ... kalau boleh saya tau, bolehkah kakek memberikan informasi lebih lanjut?"
Wajah si kakek sumringah, "Tentu, tentu saja. Tapi mungkin akan agak lama jadi mau mampir ke rumah saya dulu? Rumah saya di sekitar sini."
Kedua orang itu pun pergi menjauhi rel, masuk ke dalam perkampungan. Mata merah masih melirik ke belakang, sekilas melihat barisan mayat yang residu energinya tertinggal.
"Kuakk..."
-o0o-
Gojo Satoru diam. Dia baru mengetahui sahabatnya, Kuroba Hayato, memutuskan pergi sendiri ke desa di hilir pojok Tokyo. Meskipun mereka memang selalu hidup berjauhan dan jarang bertemu karena tuntutan pekerjaan serta memiliki hubungan yang rumit, di dalam hati, mereka saling pasang badan untuk menjaga yang lain agar baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kukyo : Kekosongan (Jujutsu Kaisen x Male OC)
Fanfiction"KENAPA AKU TIBA-TIBA MERASAKAN KEHIDUPAN SUKUNA RYOMEN?!!!" -Kuroba Hayato, 28 Tahun, Penyihir Jujutsu Tingkat 1 warning : - Lebih banyak fokus ke sisi Male OC. - Ini yaoi, gay, homo, hombreng. Anda telah diperingati. - OC switch tergantung patner ...