Sudut Pandang

13 2 0
                                    

Sudut Pandang

Galih Sidharta, panggilannya Galih. Umur 26 tahun. Sudah bekerja. Sebelumnya maaf banget karena aku tidak terlalu mahir untuk membuat tulisan-tulisan seperti ini, dan bahasa yang aku pakai juga tidak seratus persen baku, aku harap pembaca bisa enjoy sama cerita ini. Di bab pertama ini, aku akan menjelaskan biografi, dan apa yang mendukung aku untuk bisa nulis seberani ini. Selamat membaca

Saat aku kuliah dulu, aku sudah dapat tawaran kerja di salah satu perusahaan jasa di pulau Jawa. Aku, sendiri bukan orang asli Jawa, tapi aku besar dan tinggal disini dari kecil. Pertama kali ditawarin kerja dengan gaji, yang bisa bilang cukup banget itu, saat KKN. Aku direkrut sama bapak-bapak yang ngeliat aku lagi main laptop di teras rumah. Awalnya kita ngobrol-ngobrol santai, kaya, nanya jurusan, kuliah dimana? tinggal dimana dan pertanyaan-pertanyaan formal lainya.

Akhirnya aku dikasih kartu nama perusahaan tempat bapak itu kerja. Aku tanya-tanya lah itu tempaat apa?

Dan aku dijelasin segala macam tentang perusahaan jasa itu. Awalnya aku ga percaya, lebih ke waspada aja sih, dan aku nganggepnya cuma tukar informasi aja sama Si Bapak. Eh, besoknya balik lagi. Akhirnya tawaran Bapak itu aku tolak karna bapak ini udah kelewatan antusias. Aku sempet nanya ke temen-temen dan warga-warga sekitar, Dan ternyata mereka kenal sama bapak itu. Namanya Pak Asrar, dijelasin lah pekerjaan Si Bapak, beliau adalah tim ekspedisi cabang di desa tempat aku KKN. Saat aku nanya ekspedisi apa? warga pada bilang kalo Pak Asrar ini kerja di Kementerian Pariwisata, ada juga yang bilang di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tapi kalo diliat dari kartu perusahan yang Pak Asrar kasih, nama tempatnya 'Kita Bercerita'

[]

Hari ini, hari Minggu tepat dua bulan aku KKN. Hari ini giliran aku belanja kepasar sama salah satu teman laki-laki yang, sedang galau, namanya Lay, Daris Lay Sulaiman. Anak Statistik. Jujur aku ga ngerti cara tawar-menawar di pasar. Biasanya kalo aku ke pasar sama Lay, Lay yang nawar. Tapi karena gusinya lagi bengkak, jadi dia ga bisa ngomong banyak, ga bisa ngomong cepet. Dan mau ga mau aku harus nawar.

Selain cabai, daging sapi juga menjadi bahan pokok yang suka naik-turun di pasar. Dari harga Rp. 140.000,00 per-kilo, aku berhasil nawar jadi Rp.120.000,00 per-kilo. Sebuah kebanggan bagi Galih yang baru sekali-duakali tawar menawar, walaupun masih tergolong mahal kalo bayar segitu, setidaknya ini jadi rekor, Galih bisa nawar sampai Rp. 20.000,00.

Sudah Jadi kebiasaan kalo ke pasar, ga lain dan ga bukan, Lay selalu menghilang

Palingan juga kabur ke tokonya Riri’

Riri, anak pemilik toko kelontong di pasar yang kaya banget. rumahnya aja tingkat tiga, ada satpamnya pula. Selain kaya, Riri juga ramah, baik, cantik dan pinter banget. Dia anak dengan nilai UN tertinggi di desa dengan nilai 29,7. Sekarang, dia  lagi gap year. Entah apa yang bikin Lay bucin banget sama Riri, sampai-sampai setiap pergi kepasar selalu menghilang, dan setiap itu pula Lay selalu ketemu di tokonya Riri.

Baru saja aku mau ke tokonya Riri, eh, dia udah balik

“Kok lu balik?”

“Riri nya ga ada”  Jawab Lay

“Emangnya Riri kemana?” Tanyaku lagi

“Pergi. Ke Jakarta” Katanya, Lesu

“Ke Jakarta? ngapain?”

“Dia ikut kakaknya”

“Kakak? emang dia punya kakak?”

“Punya,”

“Ngapain Riri ke Jakarta?”

“Ikut kakaknya”

“Maksudnya, tujuan Riri ke Jakarta ngapain?”

“Aduh, gusi gue sakit nih! gua pulang duluan ya, lu belanja sendirian aja ya.” Ucapnya sambil meninggalkan aku

“Eh! Lay!” Aku mengejarnya, namun karena jalanku terhalang oleh badan orang-orang, dan langkah Lay yang lebar dan cepat, aku tak sempat membantah perkataannya itu

Aku berjinjit-jinjit untuk mencari Lay, namun nihil. Dia sudah terlalu jauh. Aku berhenti sebentar dan berbicara didalam hati:

Oh iya! dia kan lagi kecewa sama Riri, kok gua ga peka sih

'Tapi ngapain dia kecewa, kan bukan siapa-siapanya?'

Akhirnya aku berbalik badan dan melanjutkan kegiatan belanja ku di pasar.

Di Kota tempat aku tinggal, tak banyak orang yang pandai berjualan seperti disini. Walaupun aku tak sering ke pasar, tapi aku bisa membedakan pedagang yang bijak dan pedagang yang hanya ingin mencari untung saja. Banyak pedagang yang jika ditanya kualitas barang dan deskripsi barang saat diproduksi atau saran, mereka akan menunjukan barang yang ditaruh dengan harga mahal, atau barang yang murah tapi kualitasnya tak sebagus saat pertama kali sampai di toko. Tapi disini, pedagang sangat mahir dan sangat berkompeten. Harga yang diberikan juga seimbang, jarang sekali harga barang yang tiba-tiba meledak, pasti ada tangga yang jelas kenapa barang tersebut  melonjak harganya.


[]


Setelah memastikan semua bahan makan sudah kubeli dan tidak ada yang ketinggalan. Aku segera keluar dari area pasar dan berjalan kaki ke rumah yang kami sewa untuk menginap selama KKN berlangsung.

Aku banyak menemui orang-orang saat aku berjalan, bertukar senyum dan menanyakan kabar. Untungnya, aku dan masyarakat disini sudah lumayan akrab. Jadi aku tak merasakan canggung saat bercakap-cakap. Dan entah ini sial atau bukan, aku bertemu dengan Pak Asrar, beliau yang keluar dari gang kecil yang menurutku itu jalan menuju rumahnya. Beliau langsung menyapaku, ramah.

“Eh! Galih!”

“Pak Asrar. Udah lama ga ketemu pak, bapak apa kabar? keluarga sehat?”

“Sehat-sehat, alhamdulillah keluarga juga sehat.”

“Kamu, apa kabar? teman-temanmu juga gimana kabarnya?”

“Alhamdulillah saya baik pak, temen-temen juga baik semua,” Jeda ku

“Bapak, mau kemana pagi-pagi gini pak?”

“Oh! saya mau kerumah pak lurah, mau ngurusin KTP anak saya”

“Ngelewatin rumah saya dong pak, yaudah ayo pak kita jalan bareng-bareng.”

Berjalan berdua dengan Pak Asrar bukan lah hal yang buruk. Dan seharusnya tak menjadi hal yang buruk. Pak Asrar ramah, sangat ramah. Kami bertukar cerita tentang pengalaman hidup kami. Dimulai, dengan cerita anak pertama Pak Asrar yang lulus SMA, lalu disusul oleh anak yang keduanya, sampai anak ketiga yang sebentar lagi lulus. Pak Asrar lumayan sedih karna ditinggal kedua anaknya kuliah keluar kota, Pak Asrar juga jarang dikunjungi oleh anaknya karena tugas kuliah yang menumpuk serta dosen yang galak. Pak Asrar bisa saja mengunjungi anaknya yang berada di kota. Tapi beliau bilang tidak semudah itu. Hampir setiap bulan beliau keluar kota untuk menjalani pekerjaannya, waktu yang dihabiskan untuk bekerja juga tidak sedikit, kota yang jauh, transportasi yang minim sehingga menghambat pekerjaan beliau. Beliau juga bilang bahwa, ia senang sekali bisa mengurus KTP anaknya hari ini, meskipun hanya mengambil formulir, setidaknya beliau senang bisa meluangkan waktunya bersama keluarganya.

Jarak dari pasar ke rumah cukup jauh, aku dan pak Asrar juga sempat beristirahat sebentar di warung pinggir jalan. Aku bingung tentang dua hal saat ini, bagaimana aku dan Lay bisa tidak lelah berjalan kaki saat berangkat tadi? yang kedua, bagaimana Lay pulang? jalan kaki atau naik ojek?

Di warung itu, aku dan Pak Asrar berbincang-bincang mengenai tawaran pekerjaan yang sempat aku tolak. Masih agak ragu untuk mengiyakan atau sekedar mencoba lowongan tersebut. Kata pak Asrar, beliau bukan bekerja di kementerian apapun, beliau bekerja di perusahaan swasta dibidang Jasa. Dan untuk pertama kalinya, aku mendengar cerita yang beliau alami selama bekerja diperusahaan itu.

[Bab Selanjutnya]

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 28, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KITA BERCERITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang