Rerum dan Lectan menggunakan jubah hitamnya mulai menyusup keluar area akademi. Keamanan di Alexandria melemah sekitar pukul sebelas malam sampai tiga pagi. Itu adalah kesempatan yang sangat baik bagi mereka untuk pergi tanpa resiko yang berarti. Sebelumnya Rerum dan Lectan telah diskusi ulang mengenai strategi dan beberapa hal lainnya. Lectan telah berjanji akan menceritakan keresahannya kepada Rerum mau tidak mau agar dapat membantu misi pribadinya. Mereka berjalan deengan cepat menembusi angin yang cukup kencang.
“Hey.”
Rerum harus sedikit berteriak saat mengucapkannya supaya dapat terdengar orang disampingnya.
“...”
“Bagaimana caraku memanggilmu?”
“Terserah.”
“Kukira kita telah menjadi teman. Aku akan memanggilmu Lex kalau begitu.”
“...”
“Lex, apa yang telah kau ketahui dan tidak aku ketahui?”
“Kau sama seperti yang lainnya. Tidak dapat melihat dan buta.”
“Apa maksudmu? Kalau begitu hanya kau satu satunya yan tidak buta?”
“Aku sama butanya. Tapi aku punya tongkat untuk membantuku berjalan ke arah yang benar.”
“Tongkat seperti apa?
“Itu adalah buku dan pengetahuan.”
Semakin kata-kata diucapkan dari mulut Lectan semakin membuat Rerum tertarik kepada pria pendek disampingnya ini. Rerum merasa menemukan dunianya yang baru melalui Lectan. Dia sangat aneh namun otentik. Hati Rerum terlalu bersemangat untuk menanyakan lebih banyak hal kepada Lectan. Terlalu banyak pertanyaan muncul dikepalanya. Intuisinya mengarah seluruhnya ke arah Lectan. Rasanya kepingan puzzle dikepalanya terlalu berantakan, dan dia juga merasa Lectanlah yang akan membantunya menyelesaikan papan puzzle miliknya.
“Bukankah selama ini IPOGR telah mengajarkan kita segala pengetahuan yang kita butuhkan? Aku juga suka membaca buku di Loure. Mengapa kita tetap buta?”
“Belum segalanya kawan. Buku apa yang kamu baca? Semua buku yang tidak berisi penalaran abstrak terhadap kuantitas atau angka atau tidak berisi sebuah penalaran eksperimental mengenai kenyataan dan keberadaan adalah omong kosong. Sebab buku-buku itu tidak berisi apapun kecuali cara berpikir yang menyesatkan dan sebuah ilusi.”
“Wow. Jika kau mengatakannya di hadapan petinggi Genuss kau akan dikeluarkan. Atau mungkin dipenggal. ”
“Aku tau persis. Itulah mengapa aku diam selama ini.”
“Darimana kau mendapatkan kata-kata bijak itu?”
“Aku mendapatkannya dari sebuah buku. Kata itu diucapkan oleh seorang intelektual di masa lalu. Namanya adalah Hume.”
“Baiklah kau harus memberikanku beberapa buku yang harus kubaca nanti.”
“Tentu saja. Itu akan meringankanku juga.”
“Hahaha kau lucu, Lex.”
Obrolan mereka bagaikan mesin waktu yang membawa mereka sampai ke tujuan mereka tanpa terasa. Mereka telah sampai di pasar kota. Tanpa tindakan lain lagi Lectan menuntun Rerum masuk ke sebuah toko buku tua bernama Agape itu.
“Disinilah tempat buku-buku baik itu bersemayam.”
Rerum masih terpaku dengan tempat itu. Seluruh dindingnya adalah buku. Meskipun tidak terlalu besar, Rerum merasa bahwa tempat itu hidup. Rerum berkeliling Agape dan selalu berdecak setiap melihat buku-buku yang sangat menarik matanya.
“Baiklah, harus kuakui aku harus berterimakasih padamu, Lex.”
“Terserah. Sekarang kita bahas dulu buku itu kawan.”
“Ah kau benar. Aku sampai lupa. Jadi itu sebenarnya buku apa?”
“Sebelumnya kau harus berjanji agar tidak mengatakan ini kepada siapapun.” Lantas Rerum memberi isyarat menutup mulutnya dengan kunci lalu kemudian dibaunngya kunci itu.
“Buku itu berniat melawan sistem tatanan dunia Genuss.”
“Baik, itu memang pantas dirahasiakan. Lalu apa?”
“Dituliskan bahwa jiwa warga Pearlth telah lama mati oleh karenanya kita telah hidup di dunia yang seperti penjara. Pearlth kini seperti sebuah mata koin yang telah kehilangan harganya. Pustaka yang dahulu kita buat kini telah berbalik melukai tangan tuannya sendiri. “
“Apa maksudnya itu?”
“Maksudnya adalah warga pearlth telah kehilangan jiwanya yang paling bermakna. Warga Pearlth telah kehilangan instrumennya yang paling penting.. Sesuatu itu terletak di dalam kepala dan hati setiap warga. Warga Pearlth telah hidup seperti zombie yang memakan otak manusia normal. Kemudian dikatakan di beberapa halaman akhir akan ada seorang revolusiner yang akan memberantas zombi-zombi perusak itu.”
“Itu sangat aneh dan abstrak. Bagaimana bisa warga Pearlth adalah zombie”
“Jika itu aku tahu. Zombie akan selalu mengejar warga hidup dan memakan otaknya. Itu persis sebagaimana posisiku. Petinnggi Genuss dan warganya akan membunuhku jika aku tidak seperti mereka.”
“Aku rasa aku dapat mengerti.”
Rerum mengangguk-anggukan kepalanya mengerti.
“Terimakasih.”
“Hanya itu saja?”
“Aku ingin tahu apa kegunaanmu disini.”
“Ah kau benar. Kini giliranku hehe.”
“Silahkan.”
“Aku rasa, aku bisa membantumu di urusan teknis. Jika kau berniat untuk meluruskan niatmu dan mewujudkannya terhadap warga Pearlth maka aku bisa membantumu.”
“Itu adalah ide yang brilian.”
“Kalau begitu apa rencana kita?”
“Kita harus menghancurkan sistem Genuss. Kita harus menghancurkan penjara yang mengekang kita. Kita harus melepaskan para tahanannya. Semua ketidak adilan dan klasifikasi bodoh itu harus dihancurkan.”
“Caranya?”
“Kita harus punya kekuatan untuk mengendalikan radio dan semua sistem siaran. Kita harus punya kekuasaan untuk mengawasi kelancaran sirkulasi kota.”
“Itu artinya kita akan mengambil alih kedudukan para Dominus?”
“Tepat sekali.”
“Kau gila. Itu adalah sesuatu yang tidak mungkin. Kita hanyalah murid disalah satu akademi yang mereka dirikan mereka.”
“Tepat sekali. Oleh karenanya kita adalah senjata terbaiknya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Pearlth Planet. [End]
FantasíaSebuah novel fantasi filsafat. Mencoba mensimulasikan dunia yang buta.