Aku adalah sosok yang tak pernah percaya dengan yang namanya cinta pada pandangan pertama. Bagiku, cinta itu harus ada prosesnya. Dari awal jumpa, berkenalan hingga tumbuh debaran dalam dada tiap kali berjumpa. Jadi, rasanya tak masuk akal jika ada yang bisa langsung merasakan cinta saat pertama kali jumpa. Bagaimana bisa? Mengenal pun tidak.
Teman-teman bahkan sering mengolokku, kata mereka, "Jangan-jangan kamu nggak pernah kenal namanya cinta?" Aku hanya tertawa mendengar celoteh mereka yang terdengar seperti angin bagiku.
....
Siang itu begitu terik, sampai ruangan kerjaku yang berpendingin pun seperti kena imbas. Aku melangkah keluar kantor untuk mencari angin. Kebetulan juga perutku keroncongan. Selepas rapat dengan beberapa tamu penting tadi, aku lupa untuk makan. Beberapa berkas masih menumpuk di meja dan harus segera ditanda tangani, termasuk beberapa lembar surat keputusan hasil rapat tadi.
Kakiku baru saja menjejak anak tangga terakhir, saat mendengar teriakan seorang wanita dengan kursi roda di meja resepsionis.
"Ada apa, May?" tanyaku pada petugas resepsionis yang terlihat sudah kewalahan menghadapi wanita itu.
"I—ibu ini, Pak. Dia bersikeras untuk bertemu Bapak, padahal sudah saya bilang kalau Bapak sedang sibuk." Maya terbata-bata menuntaskan kalimat penjelasannya. Aku mengangguk mengerti, kemudian memberi kode pada Maya untuk meninggalkan kami berdua.
Gurat kemarahan tampak jelas di wajah wanita itu. Aku menoleh ke arah kanan dan kiri, juga ke arah pintu, tetapi tak mendapati seseorang pun datang bersamanya. Hebat sekali dia, dalam kondisinya yang seperti ini dia datang sendiri kemari. Sorot mata yang tajam, membuat jantungku berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.
"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Aku bertanya seraya sedikit membungkuk menunjukan rasa hormatku pada seorang customer.
"Apa anda pimpinan di kantor ini?" jawabnya tegas.
"Betul. Apa ada yang bisa saya bantu, Bu? Mari silakan, kita bicara di sana saja, supaya lebih santai." Aku melangkah maju hendak membantunya mendorong kursi roda, tetapi dihalaunya.
"Wah, wanita yang mandiri sekali." Aku berdecak kagum dalam hati. Diam-diam rasa kagum mulai menyelinap dalam hatiku.
"Pak Danu, langsung saja. Saya mau mengajukan komplain. Paket saya seharusnya sudah sampai beberapa minggu yang lalu di Riau, kenapa sampai hari ini belum juga tiba?" ucapnya dengan nada suara yang sudah mulai meninggi.
Wajah putih itu mulai terlihat sedikit memerah sekarang. Namun, kenapa aku mendadak geli melihat wajah marahnya. Lucu saja, baru kali ini aku rasanya aku melihat seorang wanita marah-marah di hadapanku. Apalagi, masalahnya begitu sepele.
"Sebentar, Bu. Saya cek dulu datanya. Ada nomor resinya?" Tangan lentiknya segera merogoh tas tangan kecil berwarna hitam yang dia pangku. Setelahnya, dia mengangsurkan secarik kertas ke hadapanku. Aku menerimanya, lalu berjalan ke arah meja resepsionis. Hal sepele seperti ini, Maya pun bisa menyelesaikannya. Entah kenapa, aku bahkan merasa seperti orang bodoh. Rela menunda memenuhi hak perut, demi melayani perempuan judes di sana.
"Ini sudah diterima, Pak. Nama penerimanya Widya. Ini datanya ada." Maya memutar layar empat belas inci di hadapannya ke arahku.
"Tolong di print, May. Biar aku tunjukkan padanya." Segera saja Maya melaksanakan perintahku.
"Bu, ini paketnya sudah diterima. Nama penerimanya Ibu Widya. Sudah saya print, silakan dicek." Selembar kertas aku sodorkan padanya. Dia menerimanya, masih dengan wajah yang mengguratkan kemarahan.
"Saya tidak kenal dengan yang namanya Widya. Keluarga saya di sana juga tidak ada yang namanya Widya. Kalau paket saya hilang bagaimana? Apa perusahaan ini mau tanggung jawab?"
Astaga, perempuan ini! Apakah dia baru pertama kali mengirim paket atau memang tidak tahu atau .... Ah, mengesalkan, tetapi kenapa aku senang?
"Coba ditelepon saja keluarganya, Bu. Mungkin waktu paket tiba, keluarga Ibu sedang tidak di rumah. Jadi diterima tetangga dekat rumah." Aku masih berusaha menjelaskan dengan sopan padanya.
"Sebentar saya telepon dulu keponakan saya!" ketusnya seraya merogoh kembali ke dalam tasnya.
Dia membalik posisi kursi roda, menempelkan ponsel di telinga, sementara satu tangannya memutar roda membuat posisinya menjauh. Tak lama kemudian, dia berbalik lantas mendekat kembali ke arahku. Raut wajahnya terlihat sedikit berbeda sekarang. Tidak semarah tadi, kepalanya juga sedikit tertunduk. Seperti menahan malu.
"Maaf, Pak. Ternyata, paketnya sudah diterima ponakan saya. Dan Widya itu tetangga baru di sebelah rumah Kakak saya. Mereka baru saling kenal, jadi paketnya baru diantar kemarin malam." Kali ini dia berucap dengan wajah yang sedikit menyunggingkan senyum.
"Sekali lagi, saya minta maaf," lanjutnya.
"Tidak apa-apa, Bu Mirna."
"Jangan panggil saya bu, Pak. Saya belum menikah, belum pantas dipanggil bu," ucapnya sembari kembali menaikkan garis bibirnya.
Senyum manis itu, entah mengapa justru membuat sebongkah daging dalam dadaku berdetak tak menentu. Ah, rasa apa ini?
"Baik, Pak. Terima kasih, kalau begitu saya pamit. Sekali lagi maaf," ucapnya kemudian hendak memutar posisi kursi rodanya.
"Eh, tunggu." Aku mencoba menahannya. Dia pun menghentikan tangannya yang berusaha memutar roda pada kedua sisi kursi yang menopang tubuhnya.
"Boleh aku simpan nomor teleponmu, Nona?" tanyaku tanpa basa basi. Dia hanya diam, tetapi raut wajahnya menunjukan rasa tak suka dengan pertanyaanku barusan.
"Tidak usah! Tidak perlu juga, saya tidak akan menjawab panggilan dari nomor tak dikenal!" Dia bergerak cepat meninggalkanku yang masih diam mematung.
"Lihat saja, Mirna! Aku akan mendapatkanmu!" ucapku dalam hati.
Setelahnya, aku menertawai diriku sendiri. Aku duduk di sofa sambil menggelengkan kepala, heran. Seorang Danu yang tidak pernah percaya dengan yang namanya cinta pada pandangan pertama, hari ini seperi menjilat ludahnya sendiri.
Aku bersumpah dalam hati, dia akan menjadi cinta pertama dan terakhirku.
*bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta tak Kenal Rupa
General FictionDanu yang tak percaya adanya cinta pandangan pertama, harus bertekuk lutut pada pesona Mirna di pertemuan pertama mereka. Mirna seorang gadis berkebutuhan khusus, mengalami trauma dalam hubungan dengan seorang pria. Berhasilkah cinta mereka?