Tristan membanting stir ke kiri, tepat di depan Lycka yang ada di Jalan Lengkong Kecil. Dia melirik ke halaman kafe itu, ada banyak pengunjung hari ini. Dan itu artinya, Valya akan sangat sibuk begitu turun dari mobil. Ada bagian dari dirinya yang tidak rela membiarkan Valya pergi, tetapi tidak ada kepentingan lagi di antara mereka.
“Makasih udah anter gue sampai depan kafe,” ucap Valya sambil melepas sabuk pengaman. “Kalau gitu—”
“Jadi, siapa yang sebenarnya sahabat lo? Kinan atau cowoknya?” tanya Tristan tiba-tiba. Memang, terkadang mulutnya lebih dulu beraksi dibandingkan otak. Pertanyaan payah dia keluarkan supaya bisa duduk di samping Valya lebih lama. Bego banget lo, Tan!
Tangan Valya terhenti. Pertanyaan itu berhasil membuatnya tidak jadi turun. Valya kembali menyandarkan punggungnya di back seat dan melirik Tristan. “Kinan. Dia yang sebenarnya jadi sahabat gue dari dulu. Cuma, gue juga berhubungan baik sama pacarnya.”
“Mereka pacaran dari lama, ya? Kayaknya udah saling nyaman banget, enggak ada jaim-jaimnya. Terus, kadang Kinan juga malah kelihatan kayak temenan sama Fabian.” Tristan tersenyum, menutupi kebodohannya yang hakiki. Di saat seharusnya dia membahas tentang hubungan mereka, justru sibuk mengorek informasi tentang Kinan dan pacarnya.
“Kita emang pernah jadi teman waktu SMA. Cuma, Fabian beda kampus sama kita dan sempet hilang kontak lumayan lama. Mereka ketemu enam bulan yang lalu, terus jadian tiga bulan kemudian. Jadi, wajar kalau kadang mereka terlihat kayak sahabat di momen tertentu.”
“Ternyata baru tiga bulan? Gue kira udah lama.” Tristan menganggukkan kepala, paham dengan penjelasan Valya. Namun, ada sesuatu yang sedari tadi mengganjal hatinya. Bukan tentang Valya, melainkan tentang Kinan. “Tapi, lo ngerasa, gak, kalau Kinan berubah sikap gitu? Waktu pertama ketemu sama gue dia orangnya asik, banyak ngomong juga. Tapi, pas udah beli lipstik, dia jadi agak pendiam. Kenapa, ya?”
Valya terdiam saat itu juga. Ternyata, bukan hanya dia yang menyadari perubahan sikap Kinan, Tristan juga. Bahkan, Valya juga yakin, beberapa kali sahabatnya itu mencuri pandang padanya dengan tatapan dalam. Kinan terlihat kecewa padanya. Valya sudah berusaha untuk mengingat, tertapi dia tidak merasa telah melakukan kesalahan. Selama di BIP tadi, dia lebih banyak bicara dengan Tristan.
“Biasa, lah, namanya juga cewek. Suasana hatinya emang gampang berubah.” Valya tersenyum tipis. Lalu, dia membuka pintu, berniat benar-benar turun dari mobil. Namun, lagi, Tristan menahannya.
“Nih, buat lo,” ucap Tristan sambil memberikan sebuah paper bag kecil. “Gue tadi nanya sama Kinan, katanya lo suka hal yang sederhana tapi cantik. Dan warna kesukaan lo adalah ungu. Jadi, gue beli ini aja.”
Meski ragu, tangan Valya tetap terulur untuk menerima paper bag itu. Isinya adalah sebuah ikat rambut ungu bermotif floral putih. Persis seperti yang digambarkan Tristan, sederhana tapi tetap cantik. Perempuan itu tersenyum sambil melirik Tristan yang sudah membusungkan dadanya.
“Makasih. Gue suka sama ikat rambutnya.”
“Yes!” pekik Tristan, tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. “Harus dipakai, lho. Supaya kepala lo isinya gue doang. Tenang aja, gue enggak akan bosen buat keliling di kepala lo.”
“Apaan, sih?” Valya menggelengkan kepala. Terkadang, ia tidak habis pikir, selalu ada saja gombalan yang keluar dari bibir laki-laki itu. “Udah, ah, gue mau turun. Bisa-bisa sepupu gue ngambek kalau gue kelamaan di sini.”
Kali ini, Tristan tidak lagi menahan kepergian Valya. Dia hanya melemparkan flying kiss dengan penuh percaya diri pada perempuan itu. Dan setelah Valya benar-benar masuk ke kafenya, Tristan berteriak keras sambil memegang dadanya yang berdebar hebat. Jatuh cinta memang seindah ini.
“Oh, jadi lo pergi sama cowok?” tanya Anggun sambil melirik ke luar. Tepatnya pada mobil sedan putih yang masih terparkir di depan kafe. “Siapa? Pacar lo? Atau baru PDKT?”
“Cuma temen,” singkat Valya sambil berlalu begitu saja. Dia tidak punya waktu, harus bersiap terjun ke dapur.
Anggun berdecak sambil terus mengikuti arah langkah Valya. Jelas dia tidak percaya dengan jawaban sepupunya itu. Jika hanya teman, mengapa lelaki itu sampai tersenyum lebar saat bicara pada Valya?
“Lo sama dia lagi backstreet, ya? Kok, backstreet segala? Masih takut sama bokap lo?”
Valya membuang napas kasar sambil melirik Anggun dengan malas. “Temen, Gun. Cuma temen. Gue udah jawab jelas banget tadi.” Valya menarik apron dan segera memakainya. Dia selalu malas jika Anggun sudah mulai ingin tahu mengenai kehidupannya. “Udah, balik ke depan, sana.”
“Kalau pacaran juga gak apa-apa kali. Lo udah dia puluh lima, bukan anak kecil lagi,” cetus Anggun sambil pergi dari hadapan Valya. Dia kembali ke meja kasir dan menatap kepergian mobil sedan putih itu. Laki-laki yang duduk di kursi kemudi sangatlah tampan. “Itu cowok tipe gue banget,” gumamnya tanpa sadar.
Sementara di ruang ganti, Valya kembali memikirkan perubahan sikap Kinan tadi. Dia segera merogoh sling bag ungu kesayangannya dan mencari kontak Kinan. “Tapi, itu anak selalu butuh waktu sendiri kalau lagi marah. Dia pasti tambah bete kalau gue telepon sekarang. Gak usah kali, ya? Kan, dia sama Fabian.” Valya hendak memasukkan ponsel ke dalam tas. Namun, kembali ragu. “Tapi, gimana kalau dia sendiri sekarang? Bisa aja Tante Astika belum pulang, 'kan?”
Tekad Valya untuk menelepon Kinan sudah bulat. Jika Kinan marah, dia tinggal memberi fusilli kesukaan anak itu. Maka, urusannya akan beres. Jempol Valya sudah siap menekan ikon panggil, tetapi tertahan karena notifikasi dari aplikasi Instagram. Kinan baru saja membuat cerita. Dengan cepat Valya menekan notifikasi tersebut.
“Yan, lihat sini, dong. Serius-serius banget kayak lagi rapat paripurna,” sahut Kinan dalam video tersebut. Kamera diarahkan pada Fabian yang ada di seberang meja, sibuk dengan buku gambar di tangannya. “Sayang, lihat sini dulu.”
Fabian akhirnya menoleh. Dia menarik sudut bibirnya selebar mungkin. Lalu, memasang wajah datar. “Kamu jangan gerak, dong. Katanya mau aku gambar, tapi main HP mulu. Kapan jadinya kalau kamu gak bisa diem?”
Terdengar tawa renyah Kinan. Tawa yang penuh kebahagiaan. “Ya udah, aku diem, nih. Gambar yang cantik, ya. Awas aja kalau gak mirip.”
Video itu berakhir. Sekarang, Valya bisa mengembuskan napas lega. Kinan baik-baik saja. Dia akan selalu baik-baik saja selama ada Fabian di sampingnya. Tawa bahagia sahabatnya itu terus terngiang di telinga Valya.
Terlepas dari masa lalunya bersama Fabian, Valya akan selalu bahagia untuk kebahagiaan Kinan. Karena bagaimana pun juga, mereka adalah sahabat. Sudah seharusnya Valya bahagia untuk Kinan dan Fabian. Bukankah begitu?
*
*
*Maaf kemarin gak bisa update. Kucing di rumah lahiran, harus jadi bidan dadakan, deh.
Dan semoga kalian suka dengan chapter ini, ya.
Bini Ceye,
19.02, 12 November 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilemma [Tamat]
RomanceCinta bisa datang karena terbiasa, beberapa orang setuju akan hal itu. Cinta juga bisa menyelinap diam-diam dalam interaksi dua insan yang kata orang 'tidak seharusnya mereka jatuh cinta'. Sejatinya, cinta adalah perasaan suci yang membawa perdamaia...